Advertisement

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026 dengan Sudut Pandang Jogja

Usamah Asyqar Araya, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Rabu, 17 Desember 2025 - 01:27 WIB
Galih Eko Kurniawan
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026 dengan Sudut Pandang Jogja Foto ilustrasi pertumbuhan ekonomi. / Freepik

Advertisement

Proyeksi awal 2026, pemerintah kembali optimistis ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran 5%. Narasi ini terdengar meyakinkan, terutama ketika disampaikan melalui berbagai forum resmi.

Namun, bagi masyarakat di Jogja, daerah dengan karakter ekonomi berbasis pendidikan, usaha mikro kecil menengah (UMKM), pariwisata dan ekonomi kreatif, optimisme nasional tidak selalu terasa sampai ke tingkat rumah tangga. Proyeksi nasional kerap tidak sepenuhnya mencerminkan realitas masyarakat di DIY.

Advertisement

Karena itu, pertanyaan pentingnya adalah, apakah proyeksi ekonomi nasional 2026 realistis jika dilihat dari kondisi masyarakat Jogja hari ini? Sebuah wilayah yang ekonominya kuat di sektor jasa tetapi sangat sensitif terhadap fluktuasi global, terutama pada pariwisata, harga pangan, dan lapangan kerja informal.

Tulisan ini berargumen keoptimistisan pertumbuhan nasional memang memiliki dasar tetapi masyarakat Jogja tetap berada dalam posisi yang rentan terhadap ketidakpastian global dan tantangan domestik sehingga dibutuhkan strategi ekonomi yang lebih responsif dan sesuai karakter daerah.

Salah satu risiko terbesar 2026 adalah melemahnya ekonomi dunia, khususnya Tiongkok yang menurunkan permintaan komoditas Indonesia. IMF pada 2025 dalam World Economic Outlook memproyeksikan perlambatan pertumbuhan Tiongkok akibat krisis properti dan melemahnya konsumsi domestik.

Di luar faktor global, Indonesia juga menghadapi sejumlah persoalan internal. Pertama, ketergantungan pada komoditas masih tinggi. Hilirisasi yang selama ini digaungkan belum sepenuhnya inklusif dan masih bergantung pada modal serta teknologi asing. Jika harga komoditas anjlok, pendapatan nasional bisa terpengaruh signifikan.

Kedua, pengangguran muda tetap menjadi masalah. BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka masih didominasi angkatan kerja muda, terutama yang baru lulus pendidikan tinggi. Sementara itu, sektor manufaktur yang biasa menyerap tenaga kerja padat karya belum menunjukkan percepatan berarti.

Ketiga, ketimpangan wilayah masih mencolok. Pertumbuhan ekonomi banyak bertumpu pada Jawa, sementara daerah lain belum merasakan dampak serupa dari proyek pembangunan nasional. Keempat, ruang fiskal yang terbatas menjadi kendala. Kewajiban pembayaran utang dan subsidi energi membuat pemerintah harus berhati-hati dalam mengalokasikan anggaran pembangunan.

Sektor Pariwisata

Namun, 2026 juga menawarkan peluang penting bagi Indonesia. Pertama, ekonomi digital terus berkembang pesat. Dengan pengguna internet yang terus naik, UMKM digital menjadi semakin adaptif dan tahan krisis. Kedua, transisi energi dan teknologi hijau membuka sektor industri baru. Indonesia memiliki posisi strategis dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik sebagai produsen nikel terbesar dunia.

Ketiga, bonus demografi masih menjadi modal utama. Jika pendidikan dan pelatihan tenaga kerja dapat diprioritaskan, generasi muda akan menjadi pendorong produktivitas ekonomi nasional. Keempat, diversifikasi pasar ekspor ke Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika dapat mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.

Bagi warga Jogja yang tidak bekerja di sektor komoditas, isu global mungkin terasa jauh padahal dampaknya tetap nyata melalui tiga jalur. Ketiga jalur itu meliputi harga pangan impor yang naik, menekan pedagang pasar, dan pelaku UMKM kuliner.

Harga BBM berpotensi meningkat ketika konflik global mendorong harga minyak dunia. World Bank mencatat volatilitas harga energi global masih tinggi. Lalu pelemahan rupiah meningkatkan biaya impor bahan baku, termasuk bahan printing, elektronik, dan produk kreatif yang banyak digunakan pelaku industri Jogja. Dengan lebih dari 60% tenaga kerja Jogja berada di sektor jasa, inflasi pangan, dan transportasi langsung memukul keseharian masyarakat.

Jogja sangat bergantung pada sektor pariwisata. Pada 2025, jumlah wisatawan mancanegara belum sepenuhnya pulih ke level pra-pandemi. Jika ketidakstabilan global meningkat, misalnya konflik di Timur Tengah atau Eropa, dampaknya bisa berupa turunnya kunjungan wisatawan asing, berkurangnya pendapatan hotel, restoran, dan homestay serta menurunnya pendapatan pedagang di Malioboro dan pekerja kreatif.

Dengan demikian, proyeksi nasional yang optimis tidak otomatis menjamin pemulihan ekonomi lokal Jogja, terutama sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Pemerintah nasional menempatkan hilirisasi nikel sebagai tulang punggung pertumbuhan. Namun, bagi Jogja, sektor ini tidak berdampak langsung. Industri mineral berat tidak berlokasi di DIY sehingga kontribusinya terhadap lapangan kerja lokal sangat kecil.

Begitu juga dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Meskipun penting secara nasional, proyek ini belum memberikan efek ekonomi signifikan bagi DIY karena rantai suplai dan lokasi proyek tidak terkoneksi langsung dengan perekonomian Jogja.

Jogja justru membutuhkan fokus pada sektor-sektor seperti UMKM, pendidikan dan riset, industri budaya, pariwisata berkelanjutan dan ekonomi kreatif.

Peluang untuk Jogja

DIY termasuk wilayah yang rentan inflasi pangan akibat ketergantungan tinggi pada pasokan beras dari luar daerah. BPS mencatat DIY secara produksi beras berada di bawah kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Ketika El Niño atau gangguan impor terjadi, harga beras langsung melonjak di pasar-pasar Jogja. Pada 2025, mahasiswa, pekerja lepas, dan keluarga muda merasakan dampaknya secara signifikan. Jika ketidakstabilan global pada 2026 kembali menekan pasokan pangan, DIY akan menjadi salah satu wilayah yang paling cepat merasakan kenaikan harga.

Namun, bukan berarti Jogja hanya menunggu dampak negatif. Ada peluang strategis yang bisa diambil. Sebagai kota pelajar, DIY memiliki keunggulan besar di industri kreatif, film, desain, teknologi, dan ekonomi digital. Pertumbuhan sektor ini bisa lebih kuat jika didukung program inkubasi dan kemitraan kampus–UMKM.

Digitalisasi terbukti meningkatkan daya tahan UMKM di era pasca-pandemi. Jogja yang kaya pada kuliner, batik, sablon, dan kerajinan bisa memanfaatkan e-commerce untuk menembus pasar nasional.

Pariwisata berbasis komunitas juga punya peluang. Desa wisata di Sleman, Kulonprogo, dan Bantul bisa menjadi sumber pertumbuhan baru jika dikelola profesional dan berkelanjutan. Bidang energi terbarukan skala komunitas juga punya peluang. DIY dapat menjadi pilot project transisi energi berbasis masyarakat, mengingat konsumsi energi yang relatif kecil tetapi terhubung penuh ke sistem Jawa-Bali.

Agar proyeksi ekonomi nasional benar-benar terasa di Jogja, beberapa langkah strategis perlu dilakukan, yakni memperkuat ketahanan pangan lokal melalui koperasi, urban farming, dan distribusi yang lebih efisien.

Menjadikan UMKM sebagai prioritas utama, dengan pelatihan digital, akses modal, dan perlindungan distribusi. Kemudian diversifikasi pariwisata, tidak hanya fokus pada Malioboro tetapi juga desa wisata dan event seni-budaya. Terakhir, mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif melalui kolaborasi kampus–komunitas–pemerintah.

Laporan Bank Indonesia pada Mei 2025 mencatat konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi DIY. Selain itu, kontribusi DIY terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tetap berada di kisaran 0,90%, sementara kontribusinya terhadap pertumbuhan Pulau Jawa mencapai sekitar 1,56%.

Perekonomian DIY pada 2024 memiliki nilai PDRB sebesar Rp193,51 triliun (harga berlaku) dengan kontribusi sekitar 0,90% terhadap total perekonomian nasional. Meskipun kecil secara nasional, struktur ekonomi Jogja sangat khas: lebih dari 60% tenaga kerja berada di sektor jasa dan konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 61,88% terhadap PDRB daerah.

Sektor utama yang berkontribusi di DIY meliputi industri pengolahan, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kontribusi DIY terhadap pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa mencapai sekitar 1,56%, menegaskan bahwa peran Jogja lebih bersifat regional daripada nasional.

Dengan kontribusi nasional yang relatif kecil dan struktur ekonomi yang bertumpu pada jasa, UMKM, dan pariwisata, dampak pertumbuhan nasional tidak otomatis dirasakan secara signifikan oleh masyarakat Jogja. Oleh sebab itu, strategi ekonomi yang lebih lokal dan responsif menjadi kunci agar manfaat pertumbuhan nasional dapat benar-benar dirasakan masyarakat.

Keoptimisan ekonomi nasional 2026 penting tetapi tidak cukup. Bagi masyarakat Jogja, tantangannya adalah memastikan pertumbuhan nasional benar-benar memberikan perubahan nyata: stabilitas harga pangan, pariwisata yang pulih, UMKM yang berkembang, dan lapangan kerja yang layak bagi generasi muda.

Tanpa memperhatikan kondisi lokal, proyeksi ekonomi hanya akan menjadi angka, bukan realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Jogja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Kronologi Kebakaran Asrama MAN 2 Jogja, Diduga Korsleting Listrik

Kronologi Kebakaran Asrama MAN 2 Jogja, Diduga Korsleting Listrik

Jogja
| Senin, 22 Desember 2025, 08:57 WIB

Advertisement

Jadwal dan Harga Tiket Konser My Chemical Romance Jakarta

Jadwal dan Harga Tiket Konser My Chemical Romance Jakarta

Hiburan
| Minggu, 21 Desember 2025, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement