OPINI: Kemenangan Tradisi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kemenangan Prancis atas Kroasia 4-2 di partai final Piala Dunia 2018 tempo hari telah memupus harapan banyak orang akan munculnya juara dunia baru. Keberhasilan menjuarai Piala Dunia kali ini semakin mengukuhkan posisi Prancis di jajaran elite sepak bola dunia dengan trofi Piala Dunia dan Piala Eropa.
Apabila kita lihat dari berbagai sudut pandang, Prancis memang sangat layak menjadi juara. Meskipun tanpa pemain bintang yang menonjol sebagaimana Argentina dengan Lionel Messi, Brasil dengan Neymar da Silva Santos Junior, atau Portugal dengan Cristiano Ronaldo, secara tim kemampuan para pemain Prancis dapat diandalkan.
Advertisement
Hampir seluruh pemain Prancis bermain di liga-liga utama Eropa, seperti Antoine Griezmann dan Raphael Varane di Liga Spanyol, Paul Pogba dan Olivier Giroud di Liga Inggris, serta Blaise Matuidi di Liga Italia. Pemain-pemain yang hanya merumput di liga domestik pun—seperti Kylian Mbappe dan Nabil Fekir—kualitasnya tidak kalah dengan rekan-rekan mereka karena Ligue 1 Prancis juga merupakan salah satu liga terbaik di Eropa.
Kolektivitas tim yang berisikan pemain-pemain terbaik liga Eropa inilah yang menjadi kunci keberhasilan Prancis dan juga tiga tim lain yang lolos ke semifinal. Selain kekuatan tim yang merata di semua lini, faktor mental juga menjadi kunci keberhasilan Prancis.
Kroasia yang menjadi lawan Prancis di final memang belum pernah juara di major event. Meskipun demikian, negara ini lama dikenal sebagai kuda hitam yang telah sering membantai tim-tim unggulan sebagaimana dialami Argentina di babak penyisihan dan Jerman di Piala Dunia 1998.
Para pemain Kroasia juga banyak yang menjadi tulang punggung klub-klub papan atas di liga Eropa, seperti Luka Modric di Real Madrid, Ivan Rakitic di Barcelona, dan Mario Mandzukic di Juventus, sehingga secara teknis kekuatan kedua tim cukup berimbang.
Situasi ini dapat dilihat hingga pertengahan babak pertama ketika skor sama kuat 1-1, namun ketika ketinggalan 1-2 akibat hukuman penalti, terlihat sekali para pemain Kroasia tidak bisa menguasai diri. Mereka terlalu bernafsu menyerang untuk menyamakan kedudukan. Mereka melupakan pertahanan yang berakibat bersarangnya dua gol dari Pogba dan Mbappe.
Mental pemain Kroasia terlihat mudah sekali drop setelah dua kali tertinggal. Pada babak sebelumnya situasi semacam ini juga pernah dihadapi seperti ketika melawan Rusia dan Inggris, tetapi ini adalah partai final dengan lawan dan tekanan yang dihadapi jauh lebih berat.
Prancis hampir tidak menghadapi tekanan mental karena terus memimpin pertandingan dengan mencetak gol terlebih dahulu dan sukses memaksimalkan tendangan penalti. Ketangguhan tim nasional Prancis ini sebenarnya sudah terlihat pada Piala Eropa dua tahun lalu ketika mereka mampu melaju sampai babak final sebelum secara mengejutkan dikalahkan oleh Portugal di kandang sendiri.
Keberhasilan Prancis ini tentu saja menjadi prestasi sang pelatih, Didier Deschamps. Ia orang ketiga yang mampu memenangi trofi Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih setelah Mario Zagallo dari Brasil dan Franz Beckenbauer dari Jerman.
Sebenarnya faktor-faktor positif yang ada pada Prancis juga dimiliki tim-tim lain seperti Argentina dan Brasil. Tim nasional dua negara ini juga diperkuat pemain dengan ketrampilan individu yang luar biasa, yakni Messi dan Neymar.
Ronaldo juga bisa disejajarkan dengan dua pemain ini, hanya saja Portugal secara tim tidak setangguh Argentina dan Brasil. Keberadaan pemain bintang yang diharapkan memberikan kontribusi besar pada tim ternyata justru menimbulkan dampak negatif karena pemain bersangkutan menjadi tumpuan harapan untuk meraih kemenangan yang pada akhirnya menjadi beban mental yang mengganggu performa di lapangan.
Kita lihat begitu banyak meme di media sosial yang mengolok-olok Messi karena gagal mengeksekusi tendangan penalti atau Neymar yang terus berguling-guling di lapangan karena menjadi sasaran pelanggaran pemain lawan. Sebelum pertandingan melawan Kroasia, Messi tampak begitu tertekan sedangkan Neymar sampai menangis ketika Brasil dengan susah payah berhasil mengalahkan Meksiko.
Tidak maksimalnya performa pemain kunci ini menjadi salah satu biang keladi kegagalan Argentina dan Brasil di perdelapan final dan perempat final. Selain faktor mental, masalah kebersamaan tim juga menjadi penyebab kegagalan yang lain. Ini salah satunya terjadi pada tim nasional Jerman.
Datang sebagai juara bertahan dengan reputasi mentereng ternyata Jerman justru bermain buruk dan hanya menang sekali melawan Swedia dan kalah dua kali masing-masing dari Meksiko dan Korea Selatan sehingga tersingkir di fase grup.
Banyak orang mengatakan ini adalah kutukan bagi sang juara bertahan karena kejadian yang sama juga dialami Prancis di Piala Dunia 2002, Italia pada 2010, dan Spanyol pada 2014. Sebenarnya apabila kita cermati, sebelumnya sudah terjadi gesekan di tim nasional Jerman yang disebabkan pertemuan politis pemain keturunan Turki, Mesut Ozil, dengan Presiden Erdogan.
Ini tentu saja cukup mengganggu konsentrasi dan keutuhan tim menjelang Piala Dunia 2018. Ingar bingar liga domestik ternyata tidak menjadi jaminan bagi sebuah tim untuk menjadi juara. Buktinya ada pada Spanyol dan Inggris sebagai penyelenggara kompetisi liga sepak bola terbaik di dunia.
Spanyol memiliki masalah dengan regenerasi karena masih mengandalkan beberapa veteran Piala Dunia 2010 seperti Sergio Ramos, Andres Iniesta, dan Gerard Pique. Pergantian pelatih secara mendadak dari Julen Lopetegui ke Fernando Hierro juga menimbulkan permasalahan tersendiri.
Inggris meski memiliki tradisi sepak bola yang kuat tidak pernah benar-benar melahirkan tim yang hebat dengan kemampuan pemain yang merata di segala lini. Konon, ini justru disebabkan karena klub-klub Liga Primer Inggris lebih percaya pada jasa pemain-pemain asing daripada memberi kesempatan kepada pemain lokal untuk berkembang.
Adalah suatu ironi ketika negara kompetisi liga terbaik di dunia justru kesulitan mendapatkan pemain-pemain terbaik bagi tim nasionalnya. Contoh lain yang lebih ekstrem dapat dilihat pada Jerman yang gagal lolos dari babak penyisihan dan Italia yang bahkan tidak lolos kualifikasi.
Bundesliga Jerman dan Liga Serie A Italia termasuk lima besar kompetisi sepak bola terbaik di Eropa. Kroasia dan Belgia yang liga domestiknya tidak begitu populer justru bisa melaju hingga partai semifinal dan final. Penyebabnya tidak lain karena banyak di antara para pemain yang justru ”bersekolah” di luar negara mereka.
Harus Bersabar
Hasil Piala Dunia kali ini sekali lagi menunjukkan bahwa tim yang lolos ke partai puncak dan berpeluang menjadi juara adalah dari negara-negara yang memiliki tradisi sepak bola yang kuat. Tim-tim Asia dan Afrika yang sedang berusaha membangun tradisi persepakbolaan mereka tampaknya masih harus bersabar.
Dari 10 negara Asia dan Afrika yang tampil, hanya Jepang yang mampu lolos ke babak kedua. Korea Selatan yang tak pernah absen sejak 1986, kali ini harus tersisih di fase grup meskipun sempat membuat kejutan dengan mengalahkan Jerman 2-0 di partai terakhir babak penyisihan.
Harapan Afrika pada Mesir yang diperkuat pemain Liverpool yang sedang naik daun—Mohamed Salah—pupus seiring kekalahan Mesir di tiga pertandingan fase grup melawan Uruguay, Rusia, dan Arab Saudi. Ini tentu saja merupakan suatu kemunduran mengingat pada Piala Dunia sebelumnya tim-tim Asia dan Afrika mampu menunjukkan prestasi yag lebih baik.
Kala itu Korea Selatan menjadi semifinalis ketika bersama-sama Jepang menjadi tuan rumah pada 2002 dan Kamerun yang melaju hingga perempat final Piala Dunia 1990. Apa boleh buat, Piala Dunia kali ini telah ”gagal” memberikan kejutan dengan tampilnya Prancis sebagai juara karena negara ini memiliki hampir seluruh faktor yang dibutuhkan untuk menjadi juara.
Secara sederhana Prancis mempunyai tradisi persepakbolaan yang kukuh sebagaimana Brasil, Italia, Jerman, dan Argentina. Selain memiliki banyak pemain yang berlaga di klub-klub papan atas Eropa, liga domestik Prancis juga menjadi salah satu yang terbaik dan menjadi jujugan pemain-pemain kelas dunia.
Status juara Eropa dua kali dan Piala Dunia sekali juga menjadi modal dasar yang mengangkat moral tim. Terakhir, dukungan pemerintah dan antusiasme masyarakat Prancis terhadap sepak bola juga menjadi faktor pendukung lain yang tidak bisa diabaikan.
*Penulis adalah dosen di Jurusan Sastra Inggris IAIN Surakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Solopos
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement