Advertisement

OPINI: Vandalisme, Kejahatan Visual di Ruang Publik

Sumbo Tinarbuko
Sabtu, 23 Februari 2019 - 08:00 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Vandalisme, Kejahatan Visual di Ruang Publik Petugas Museum Benteng Vredeburg memberishkan cat yang menempel akibat aksi vandalisme pada dinding relief Monumen Serangan Oemoem 1 Maret di kawasan Titik Nol Kilometer, Jogja, Rabu (20/2/2019).-Harian Jogja - Desi Suryanto

Advertisement

Harianjogja.com (19/2/2019) menurunkan liputannya bertajuk: Gawat, Monumen Serangan Oemoem Jadi Sasaran Corat-Coret. Dalam liputan itu dituliskan kabar berita yang menyebutkan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret diserang pelaku vandal.

Di tempat yang sangat bersejarah itu, kaum vandal menorehkan coretan berwujud telapak tangan. Jejak visual coretan warna-warni yang ditinggalkan pelaku vandal itu menimpa relief monumen.

Pelaku vandal kemudian diberi stempel sebagai tukang pembuat kegaduhan visual. Atas kelakuan buruk yang dilakukan pelaku vandal itu, mereka layak dijuluki sebagai penjahat visual. Aktivitasnya menyebabkan terganggunya ekologi visual dan estetika kota di ruang publik. Keberadaannya sama persis dengan teroris visual yang bergerak dalam senyap dengan menebarkan sampah visual iklan komersial dan iklan politik di ruang publik .

Jejak visual
Secara kuantitatif kasus vandalisme yang menjadikan ruang publik sebagai korban kejahatan visual, tercatat meningkat tajam. Kebanyakan pelaku vandal masih menyandang predikat pelajar dan mahasiswa. Mereka menggunakan cat semprot paling murah seharga Rp13.000 dan yang termahal Rp35.000.

Bagi mereka, cat semprot adalah senjata tajam yang senantiasa terhunus guna meninggalkan jejak visual aksi vandalnya. Jejak visual vandal milik mereka biasanya terdiri inisial tiga hingga lima huruf. Inisial tersebut merupakan singkatan nama sekolah, komunitas, atau geng pelaku vandal. Kata atau inisial tersebut menjadi kebanggaan atas eksistensi diri dan kelompoknya. Belakangan ini, selain inisial, mereka juga menambahkan visualisasi ikon yang diyakini sebagai representasi simbol milik kelompok pelaku vandal.

Mereka dengan riang gembira menjalankan aksinya pada malam atau dini hari. Titik kumpulnya di warung burjo atau angkringan. Modus operandinya, setelah menentukan lokasi yang akan divandal, mereka segera menyemprotkan ciri inisial kelompoknya.

Hal itu mereka lakukan secara masif. Demi meningkatkan rating positioning penanda jejak visual eksistensi diri dan kelompoknya, mereka memilih lokasi yang sulit terjangkau. Mereka juga acapkali memvandal fasilitas publik, jembatan dan bangunan heritage. Selanjutnya hasil karya vandalisme tersebut diunggah ke media sosial. Respon positif nan heroik pun bersambut dalam wujud jempol like dan komentar atas aksi kejahatan visual yang mereka lakukan.

Saat mereka menjalankan aksi vandalisme kejahatan visual di ruang publik, acapkali terjadi perang coret-moret antar inisial. Inisial jejak visual yang sudah ada kemudian ditimpa jejak visual lain dari kelompok yang lain. Demikian seterusnya.

Tumpang tindih jejak visual yang berasal dari semprotan cat berwujud inisial pelaku vandal berakhir menjadi teroris visual. Penampakan visual coretan inisial, ikon dan simbol kelompok pelaku vandal,  secara langsung maupun tidak langsung senantiasa meneror siapa pun yang ada di kawasan tersebut.

Ironisnya, pelaku vandal sangat apatis. Mereka tidak peduli. Mereka menjadi mati rasa atas kecaman masyarakat yang menilai kegiatan tersebut ilegal dan meresahkan masyarakat. Secara visual mereka membuat kotor lingkungan pemukiman penduduk. Membuat kekumuhan visual area perkantoran, pusat perbelanjaan, dan fasilitas publik lainnya.

Atas fenomena kegaduhan visual tersebut semakin menguatkan tengara sikap hidup untuk belajar dalam arti yang sebenarnya semakin luntur. Diperparah ketika orang tua tidak memiliki empati dalam urusan pendidikan bagi buah hatinya. Semuanya secara los stang dipercayakan kepada pihak sekolah. Sementara itu, kecenderungan kegiatan belajar mengajar dala konteks pendidikan formal, tidak dipandang lagi sebagai proses mengembangkan diri melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kepekaan rasa
Di sisi lain, tubuh dan pikiran peserta didik (termasuk pelaku vandal) digerogoti virus dekadensi moral yang menyebabkan mereka kurang memiliki kepekaan rasa. Dalam konteks pendidikan formal, seharusnya kepekaan rasa harus dibangun sebagai tuntunan untuk menyelaraskan akal budi dan nalar perasaan peserta didik.  Sayangnya, kepekaan rasa bersalin wajah menjadi kepekokan rasa. Keberadaannya sengaja diabaikan secara sistematis oleh pemerintah.

Pengabaian tersebut tercermin dari kurikulum dan pola pengajaran yang diterapkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal, sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru dan dosen dipreteli tugasnya. Sekarang mereka hanya bertugas sebagai pengajar. Bahkan sekarang mereka diberi tugas pokok sebagai administrator pendidikan.

Dampaknya, materi pengajaran dibonsai dalam kemasan berbagi ilmu. Artinya, para pengajar lebih berkonsentrasi pada pola berbagi ilmu yang diajarkan secara sepihak.  Proses dialogis yang seharusnya dibangun di antara pengajar dan peserta didik tersaji dalam takaran tidak berimbang. Bahkan cenderung indoktrinasi. Peserta didik dinilai pintar kalau mereka menguasai ilmu pasti. Sedangkan ilmu sosial dan bahasa hanya dilihat sebelah mata. Apalagi kesenian. Sudah pasti mereka dikastakan dalam kategori kasta sudra. Apa yang terjadi? Pembaca sudah menyaksikan sendiri.

Masalahnya, atas kasus merebaknya vandalisme kejahatan visual di ruang publik, siapakah yang mesti bertanggung jawab? Bagi instansi yang mengurus keindahan kota tampaknya masalah ini menjadi tidak penting. Mengapa demikian? Karena ditengarai instansi yang mengurus tentang ketertiban dan keindahan kota terkesan mandul. Demikian juga aparat penegak hukum menganggap enteng perkara ini.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah pemerintah hanya sekadar menjawab pertanyaan ini sekadar untuk menenangkan keresahan masyarakat? Lalu siapa yang harus menanggung permasalahan kejahatan visual yang ada di ruang publik? 


*Penulis merupakan pemerhati budaya visual dan dosen Komunikasi Visual FSR ISI Jogja

Advertisement

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Bandara YIA Xpress Sabtu 27 April 2024, Tiket Rp50 Ribu

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 02:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement