Advertisement

OPINI: UU Cipta Kerja & Regulasi Pajak

Herman Juwono (Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin Indonesia) & Richard Burton (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
Rabu, 21 Oktober 2020 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: UU Cipta Kerja & Regulasi Pajak Sejumlah warga mengurus pembayaran pajak kendaraan bermotor di Kantor Samsat Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (2/6 - 2020). ANTARA

Advertisement

Keraguan menghinggapi sebagian pihak yang menilai mengapa Undang-undang Cipta Kerja cepat disahkan. Padahal, esensinya bukan soal waktu tetapi apakah produk hukum itu sangat diperlukan. Ketika UU Cipta Kerja diputuskan, tak tertutup kemungkinan muncul keraguan dalam memutuskannya.

Itu sebabnya, Derrida (1930—2004) menyatakan ‘sebuah keputusan memerlukan lompatan keraguan untuk melahirkan keputusan’. Keraguan merupakan kelaziman yang muncul dalam setiap keputusan. ‘Justru dengan berfikir dekonstruktif, keraguan atau kebimbangan menjadi faktor menentukan memutuskan sesuatu’. Begitu kata Derrida. Keputusan harus diwujudkan supaya jelas kepastian hukumnya

Advertisement

Dari 76 undang-undang yang dicakup dalam UU Cipta Kerja, tiga di antaranya adalah bidang perpajakan (UU PPh No. 7/1983 jo. UU 36/2008; UU PPN No.8/1983 jo. UU 42/2009; dan UU KUP No. 6/1983 jo. UU 16/2009). Ada 18 Pasal yang diubah dan dua pasal dicabut dari tiga aturan tersebut.

Ketika 18 pasal menjadi bagian yang masuk dalam UU Cipta Kerja, analisisnya menjadi jelas bahwa norma itu patut diselaraskan dalam konteks kepastian hukum yang diinginkan UU Cipta Kerja, karena ia ditujukan pada kepentingan kebutuhan hukum guna menyelesaikan permasalahan sesuai kebutuhan untuk kepastian.

Rumusan norma pajak yang diubah dan masuk dalam UU Cipta Kerja telah memberi warna baru bagi politik hukum penyusunan norma dalam satu undang-undang. Keberadaan UU Cipta Kerja tentu sejalan dengan cara berpikir Derrida guna memutuskan adanya keraguan dalam praktek perpajakan yang selama ini dinilai belum berkepastian hukum.

Keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja adalah contoh perlunya penambahan ayat (1a) dalam Pasal 2 UU PPh bahwa ‘BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan’. Rumusan norma BUT boleh jadi dipandang penting memberi kejelasan kepastian hukum terkait dengan pungutan PPN melalui sistem elektronik (PMK-48/PMK.03/2020).

Rumusan norma lain adalah hitungan sanksi berkaitan dengan pembetulan SPT yang telah disampaikan wajib pajak. Politik hukumnya UU menyerahkan kepada Menteri Keuangan dengan hitungan yang akan diatur lebih lanjut berkaitan sanksi dengan besaran tarif bunga, sehingga pengaturannya lebih luwes.

Rumusan norma lain adalah Pasal 8 UU KUP yang diubah melalui Pasal 113 UU Cipta Kerja. Poin penting sanksi administrasi tampaknya tetap mendominasi dalam cara bekerjanya pajak. Artinya, ruang kesempatan luas diberikan kepada wajib pajak untuk membetulkan SPT sepanjang dilakukan dengan jujur (benar).

Bahkan, kepada wajib pajak diberikan keringanan satu kali lebih kecil berkaitan dengan rumusan norma Pasal 44B mengenakan sanksi administrasi hanya 3 kali (semula 4 kali) dari pajak kurang bayar sebagai pengganti tindakan penghentian penyidikan pidana pajak. Rumusan norma membuktikan negara butuh banyak uang pajak untuk keperluan pembangunan.

Norma Pasal 8 dan Psl 44B menjadi andalan bagi negara merumuskan politik hukum penyusunan norma pajak dalam undang-undang bahwa pengenaan sanksi kepada wajib pajak tetap mengutamakan sanksi administrasi, sedangkan pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).

Namun problem kepastian hukum timbul saat terjadi pidana pajak. Prinsip ultimum remedium sejauh ini tidak memiliki parameter yang jelas, sehingga timbul diskresi hendak memilih Pasal 44B atau memidana wajib pajak.

Pada akhirnya terjadi ketidakpastian hukum rumusan norma yang dapat menjadi dilema hukum bagi penyidik dan juga dapat merugikan wajib pajak. Dengan kata lain, pidana pajak sebagai ultimum remedium atau primum remedium mestinya dirumuskan dalam undang-undang guna menghindari diskresi penyidik.

Namun dapat disadari bahwa pajak bersifat memaksa dan esensinya tidak ditujukan secara fisik tetapi pada harta benda milik wajib pajak. Seperti dikatakan Montesquieu, ‘Pungutan pajak adalah bagian tertentu dari harta milik setiap warga negara yang disisihkan untuk mengamankan atau untuk bisa menikmati secara wajar harta milik yang selebihnya’.

Sekalipun pajak bukan urutan pertama penghambat investasi, pajak tetap menjadi bagian yang diperhitungkan investor. Alhasil, rumusan norma pajak dalam UU Cipta Kerja menjadi harapan memberi kepastian bagi investor. Sejak UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967 dicabut dan diganti dengan UU No. 25/2007, fasilitas perpajakan menjadi bagian tidak terpisahkan untuk dapat diberikan bagi penanaman modal (Pasal 18 ayat 4).

Sekalipun demikian, lahirnya UU Cipta Kerja menimbulkan dua pertanyaan lain. Pertama, apakah regulasi pajak sudah selesai? Kedua, bagaimana nasib regulasi RUU KUP, PPh, dan PPN yang sudah masuk dalam Prolegnas?

Nampaknya belum memperoleh kejelasan hukumnya dari pemerintah. Menurut penulis, mestinya tetap dilanjutkan karena regulasi pajak tidak hanya terkait cipta kerja tetapi memiliki cakupan lebih luas dari itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Sopir Ngantuk, Dua Mobil Adu Banteng di Jalan Jogja-Wonosari hingga Ringsek

Gunungkidul
| Selasa, 19 Maret 2024, 07:57 WIB

Advertisement

alt

Pihak Ryu Joon Yeol dan Han So Hee Akhirnya Mengakui Adanya Hubungan Kasih

Hiburan
| Sabtu, 16 Maret 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement