Advertisement

OPINI: Prospek Investor Milenial

Ryan Kiryanto, Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan
Senin, 26 Juli 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Prospek Investor Milenial Karyawan melintas di dekat layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (29/6/2021). Bisnis - Fanny Kusumawardhani

Advertisement

Peningkatan belanja konsumen, perkembangan ekonomi digital dan kelompok investor milenial yang pesat diyakini dapat menggerakkan pasar modal setelah pandemi Covid-19 berlalu. Di tengah stagnasi aktivitas bursa saham, muncul kelompok investor milenial berjumlah jutaan memasuki arena bursa untuk mencoba meraih keuntungan.

Pada awalnya mereka mencoba peruntungan dalam horizon jangka pendek seraya belajar berinvestasi cerdas melalui pendekatan fundamental, teknikal dan kombinasinya. Ketika aktivitas konsumsi terbatas lantaran pembatasan sosial, mereka memiliki ‘simpanan lebih’, sering disebut dengan idle fund yang mendorong mereka mencari kebiasaan baru di masa pandemi.

Advertisement

Di sinilah bursa saham menjadi opsi menarik bagi mereka yang memiliki level literasi pemanfaatan perangkat teknologi informasi yang mumpuni.

Dari pengalaman empiris, investor global mengamati tiga kecenderungan besar sebagai pemicu investasi. Pertama, lonjakan belanja konsumen. Pendorong paling nyata pertumbuhan ekonomi dan harga saham adalah kelanjutan pengeluaran konsumen yang kuat berkat stimulus fiskal bagi masyarakat konsumen berpenghasilan rendah.

Bursa di Amerika Serikat (AS) misalnya, terus melejit pasca peluncuran vaksin dan pembukaan kembali kegiatan ekonomi yang mendorong pengeluaran untuk berbagai jasa, terutama dari konsumen kelas atas.

Euforia bursa saham AS juga dipicu optimisme bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun ini mampu mencapai 7,1%.

Kedua, perkembangan ekonomi digital. Kendati masyarakat mengkonsumsi makanan dan minuman lebih banyak dan masuk ke gedung bioskop tetapi dunia tidak akan pernah kembali seperti sebelum pandemi.

Kekuatan transformasi digital mendominasi lingkup konsumen dan dunia usaha sejak sebelum pandemi. Artinya, pandemi justru mempercepat tren digitalisasi ekonomi. Banyak pelaku usaha mengubah model bisnis selaras dengan perubahan perilaku konsumen.

Di sisi lain teknologi digital juga berkembang secara masif dan dimotori para inovator, termasuk perusahaan pemula (startup). Adopsi teknologi lebih luas seperti komputasi awan, alat kolaborasi, otomatisasi, dan data analitik telah mengakselerasi pertumbuhan plaftorm e-commerce dan e-services.

Perubahan lanskap perekonomian di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang kian bernuansa digital tersebut merupakan strategi penyesuaian diri dengan kenormalan baru. Apa yang disebut dengan low touch economy kini menjadi nyata.

Adanya pandemi mendorong karyawan bekerja dari rumah (work from home/WFH). Imbasnya, para pengusaha harus menambah anggaran untuk belanja perangkat keras teknologi. Diyakini penyebaran teknologi akan segera terjadi di seluruh sektor.

Ketiga, generasi baru kelompok investor milenial. Penggunaan media sosial yang masif mengenai dunia investasi portofolio telah mendorong mereka membanjiri bursa saham di seluruh dunia. Pun demikian di Indonesia. Tren yang jauh lebih besar telah tiba, yakni perluasan basis investor ekuitas dengan kiprah generasi muda.

Dengan intensifnya investor milenial beraktivitas di rumah melalui kanal digital, pengetahuan tentang saham menjadi lebih baik. Tak salah jika mereka menjatuhkan preferensi pada saham teknologi, telko, kesehatan, keuangan, sport equipment, makanan dan minuman.

Maraknya investor milenial ini juga terjadi di bursa saham domestik (BEI), tecermin dari penghimpunan dana di pasar modal per 9 Juli 2021 yang mencapai Rp92,68 triliun dari 84 penawaran umum.

Jumlah investor juga meningkat. Jumlah single investor id per 30 Juni 2021 menembus 5,6 juta investor atau naik 44,42% dibandingkan dengan Desember 2020 sebanyak 3,88 juta investor. Hadirnya investor pemula didorong optimisme pemulihan krisis kesehatan dan ekonomi.

Mereka melihat upaya pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) bersinergi melanjutkan kebijakan stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan alokasi anggaran PEN 2021 sebesar Rp699,4 triliun (lebih besar dari 2020 yang Rp695,2 triliun).

Lebih-lebih saat ini anggaran PEN-2021 ditambah Rp45,3 triliun menjadi Rp744,7 triliun setelah diterapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali serta sejumlah daerah lainnya.

Kebijakan moneter akomodatif melalui kebijakan suku bunga acuan yang rendah dan kebijakan restrukturisasi kredit yang diperpanjang hingga Maret 2022 untuk memberikan ruang bagi pelaku usaha bertahan dan melanjutkan usahanya menjadi sentimen positif bagi para investor.

Sebelum peningkatan kasus harian dan PPKM Darurat, sinyal pemulihan ekonomi mulai

terlihat, salah satunya tecermin dari Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang mencetak rekor tertinggi pada Mei 2021 di 55,3. Lalu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2021 sebesar 104,4, tertinggi sejak pandemi.

Ditunjukkan juga dengan pertumbuhan penjualan ritel dan peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat berdasarkan data Google Spending and Mobility.

Untuk mendorong gairah bursa saham, otoritas bursa terus berupaya keras mendorong basis investor domestik berpartisipasi dalam instrumen pembiayaan jangka panjang dan perluasan basis investor ritel, utamanya investor milenial, melalui pendirian perusahaan efek daerah maupun instrumen investasi lainnya yang mendorong minat mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ada 17 Ruas Jalan Kawasan Wisata Rusak di Gunungkidul

Gunungkidul
| Selasa, 19 Maret 2024, 15:07 WIB

Advertisement

alt

The Stories Season 4: The Last Chapter Siap Mengudara di Ramadan 2024

Hiburan
| Selasa, 19 Maret 2024, 13:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement