Advertisement
OPINI: Nataru, Krisis Kontainer, dan Cuan Pelayaran
Advertisement
Perayaan dan libur Natal serta tahun baru 2022 makin mendekat. Sayangnya, melihat situasi pelayaran peti kemas saat ini, paling tidak dalam kurun enam bulan terakhir, kegembiraan tahunan itu bisa berujung ambyar. Penyebabnya, pernak-pernik yang selama ini menjadi pelengkap kemeriahan Nataru (natal dan tahun baru) terancam tidak tersedia di toko-toko atau supermarket, karena pasokannya terganggu.
Gangguan pasokan terjadi karena pelayaran peti kemas di belahan AS dan Eropa, khususnya di Inggris masih dibayangi krisis. Adapun krisis pelayaran kontainer ini telah berlangsung sejak virus corona menerpa pada akhir 2019. Sampai derajat tertentu kondisi tetap bertahan. Sempat membaik sebentar tapi lebih banyak memburuknya.
Advertisement
Sejak wabah corona pertama kali merebak di Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada akhir 2019 berikut efek dominonya, banyak pelabuhan atau terminal di Negeri Panda ikut ditutup. Padahal, pelabuhan/terminal yang ada China merupakan destinasi utama bagi operator utama pelayaran peti kemas atau lazim dikenal dengan istilah main line operator (MLO).
Mereka kemudian melakukan delay of transit. Peti kemas yang di-delay ditempatkan sementara di pelabuhan hub di seluruh dunia yang bekerja sama. Beberapa hub yang disiapkan misalnya Bremerhaven (Jerman), King Abdullah (Arab Saudi), dan Busan (Korea Selatan).
Tentu saja ada biayanya. MLO juga melakukan blank sailing atau blanket sailing. Caranya cukup dengan membatalkan (blank) pelayaran pada rute tertentu yang sudah direncanakan.
International Maritime Organisation (IMO) pada awal pandemi pernah mengeluarkan imbauan agar pergerakan kapal tidak perlu dibatasi di tengah wabah corona. Pelabuhan tetap harus dibuka tetapi tetap saja pelayaran menjalankan blanket sailing. Banyak analis memperkirakan di tengah wabah Covid-19 sekitar 6 juta twenty foot equivalent unit (TEU) hilang hingga semester I/2020 akibat pembatalan pengiriman.
Delay of transit dan blank sailing memicu kelangkaan ruang muat kapal kontainer dan disusul dengan kelangkaan peti kemasnya. Kelangkaan ruang muat dipicu oleh menumpuknya kapal di pelabuhan-pelabuhan destinasi ekspor Asia, khususnya AS dan Eropa (Inggris) yang antri menunggu kesempatan sandar.
Bila tidak antri, kapal-kapal ini akan kembali berlayar sesegera mungkin menuju kawasan Asia, termasuk Indonesia, untuk menjemput komoditas ekspor yang diperlukan oleh AS dan Eropa. Antrian ini masih berlangsung hingga tulisan ini diselesaikan.
Kelangkaan peti kemas dipicu oleh tersangkutnya ratusan ribu peti kemas di pelabuhan AS dan Eropa. Menurut pelaku logistik setempat, jumlah tenaga kerja gudang jauh berkurang seiring dengan merebaknya wabah corona.
Operasional truk pengangkut barang dari gudang menuju consignee juga turun tajam. Kini, baru diketahui bahwa di AS jalan raya dan jalur rel kereta api mereka berada dalam kondisi tak terawat dan ini menambah parah situasi yang sudah terjadi sebelumnya.
Namun ternyata tidak semua pihak buntung. Ada yang malah justru mendulang cuan. Mereka ini adalah kalangan pelayaran peti kemas itu sendiri. Kok bisa? Di tengah krisis kontainer yang terjadi MLO tetap bisa dapat cuan dengan memberlakukan blank sailing. Operator pelayaran peti kemas sejatinya merupakan pihak yang ‘selalu’diuntungkan oleh krisis yang ada.
Selama krisis peti kemas MLO juga mendulang pendapatan dari kenaikan freight (uang tambang). Ini soal hukum supply and demand saja sebenarnya. Dengan terbatasnya ruang muat kapal sementara kebutuhan eksportir/importir untuk mengapalkan produk mereka ke pasar relatif tinggi, ongkos tambang dinaikan oleh operator. Kapan lagi ada peluang seperti ini.
Begitu kira-kira kata MLO. Sudah menjadi rahasia umum, freight pelayaran peti kemas sejak lama belum disesuaikan dan baru pada musim Covid-19 ini ada peluang untuk dinaikan.
Alan Murphy, Head of Consultancy Sea Intelligence, mengatakan sudah 10 tahun freight pelayaran peti kemas tidak naik. Menurut firma konsultasi Mckinsey, saat ini freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibandingkan dengan awal 2019. Ini khusus berlaku untuk rute dari China ke Eropa.
Sementara itu, Freightos Baltic Index, sebuah patokan bagi rute-rute pelayaran utama, mencatat freight pada rute China-pantai Barat AS mencapai US$7.000 per satuan kontainer (20 kaki atau 40 kaki). Sementara untuk China-Eropa menyentuh US$10.000.
Cuan bagi operator pelayaran peti kemas juga didapat dari berbagai charge atau surcharge. MLO yang melayani Indonesia misalnya, mereka mengutip terminal handling charge (THC) sebesar US$95 untuk setiap peti kemas 20 kaki, US$145 per peti kemas 40 kaki dan 40 kaki high cube serta US$295 untuk ukuran peti kemas 45 kaki.
THC ini hanya untuk kontainer bertipe dry, open top dan flat rack. Untuk peti kemas tipe reefer lain lagi. Reefer 20 kaki dipatok di harga US$195 serta US$265 untuk reefer 40 kaki dan 40 kaki high cube. Menariknya, MLO hanya membayarkan THC kepada operator terminal peti kemas (THC memang dikutip oleh terminal) sebesar US$83 per peti kemas 20 kaki. Selisihnya lumayan juga.
Masih ada lagi charge yang dikutip oleh MLO di luar ocean freight. Saya cukupkan sampai segitu saja. Yang jelas, ada blessing in disguise bagi MLO di tengah lautan pandemi. Hanya saja barangkali sepertinya mereka menari di atas penderitaan orang lain. Entahlah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement