Advertisement

OPINI: Malioboro Berpayung Kebudayaan

Yohanes Djarot Purbadi, Anggota ICOMOS Indonesia & Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Lingkungan dan Kawasan, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Jogja
Sabtu, 12 Maret 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Malioboro Berpayung Kebudayaan Yohanes Djarot Purbadi, Anggota ICOMOS Indonesia & Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Lingkungan dan Kawasan, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Jogja

Advertisement

Malioboro mulai digarap, beberapa elemen ditata dan dibenahi. Nama penggal jalan Mangkubumi dikembalikan ke aslinya Jalan Margotomo. Jalan Ahmad Yani kembali menjadi Jalan Margomulyo dan Jalan Trikora menjadi jalan Pangurakan. Malioboro sebagai ikon Kota Jogja memang bagian dari sumbu filosofi kraton Jogja. Anehnya, pembenahan Malioboro dikait-kaitkan dengan pengajuan status Jogja Menuju Warisan Dunia ke UNESCO.

 

Advertisement

Jogja Warisan Dunia

GKR Mangkubumi dalam forum sarasehan bertema City of Philosophy: Kota Jogja Menuju Warisan Dunia (25 Juni 2021) menegaskan keinginan Pemda DIY mengajukan rancangan Kota Jogja yasan ndalem Kanjeng Sinuwun HB-I menjadi Warisan Budaya Dunia Tak Benda ke UNESCO. Tagline-nya Jogja Menuju Warisan Dunia. Inti usulan adalah sumbu filosofi dari Panggung Krapyak, Kraton, hingga Tugu Palputih.

Tujuannya, menghormati dan melestarikan kejeniusan leluhur (Kanjeng Sinuwun HB-I) dalam penciptaan ruang kehidupan berbasis kearifan lokal. Rasa hormat atas kehebatan leluhur dalam menata kehidupan masyarakat perlu dibangun sebagai bagian dari jati diri bangsa. Tujuan lain yang penting, mengintegrasikan sumbu filosofi ke dalam penataan kota Jogja, bahkan pengembangan tata keruangan wilayah DIY keseluruhan kini dan masa depan.

Manfaatnya, sumbu filosofi Kota Jogja lestari, menjadi warisan (pusaka) budaya dan ilmu pengetahuan yang penting. Kebanggaan bangsa dibangun secara rasional dan benar. Keunikan rancangan kota Jogja diakui dunia internasional sebagai bagian dari warisan budaya universal, secara khusus dalam ilmu pengetahuan tata ruang perkotaan berbasis kearifan lokal.

Jika usulan sumbu filosofi diterima, Jogja menjadi satu-satunya kota di dunia yang memiliki tatanan ruang dengan simbolisme fase perjalanan hidup manusia (Brongtodiningrat, 1978). Apabila Sumbu filosofi Jogja berhasil masuk daftar Warisan Budaya Dunia, maka menambah jumlah warisan dunia di Indonesia.

Sumbu Filosofi

Terminologi sumbu filosofi konon adalah terminologi lokal, tidak dikenal di kalangan internasional (UNESCO). Konsekuensinya, dipilih terminologi sumbu kosmologis dalam dokumen pengajuan. Dari sisi otentisitas, terminologi sumbu filosofi sebenarnya sangat layak dipertahankan, karena mengandung pikiran lokal yang asli.

Orientasi kota Jogja versi Kanjeng Sinuwun HB-I terkait dengan relasi gunung (Merapi) dan Laut (Selatan). Ada kaitan dengan legenda kemenyatuan Kraton Mataram dan Kerajaan Segara Kidul di era Panembahan Senopati. Hubungan erat kerajaan daratan (pertiwi) dan lautan (jaladri) dilestarikan melalui upacara labuhan rutin Kraton Ngayogyakarta. Labuhan oleh masyarakat Parangtritis-Parangkusumo selalu bertema Bhekti Pertiwi Pisungsung Jaladri (Sudaryono, 2003).

Sumbu filosofi pada penggal Jalan Malioboro penuh dinamika kehidupan. Malioboro dalam sejarahnya selalu menjadi jantung kehidupan Kota Jogja.

Pada era kerajaan, Malioboro menjadi jalan utama kerajaan. Pada era revolusi pernah menjadi jalan utama ibukota negara Indonesia karena Jogja menjadi ibukota Indonesia.  Gedung DPRD bergaya kolonial dan Kantor Gubernur berlanggam tradisional Jawa ada di kawasan Malioboro.

Pada era kemerdekaan dan pembangunan, Malioboro adalah jantung kehidupan rakyat, toko-toko dan Pedagang Kaki Lima (PKL) hidup bersama. Kehadiran seniman pernah mewarnai Malioboro. Demo-demo bernuansa politik mendapat arti dan nilai khusus jika diadakan di Malioboro. Malioboro kaya dengan lapisan-lapisan sejarah, yang menjadi spirit dan keunikannya. Konsekuensinya, pelestarian sumbu filosofi haruslah sangat memperhatikan dinamika kehidupan di Malioboro dari waktu ke waktu.

Payung Malioboro

Undang-undang keistimewaan (2013) mengamanatkan kebudayaan menjadi salah satu urusan keistimewaan yang harus dikelola. Amanat itu perlu sungguh diperhatikan dan diterapkan sepenuhnya secara konsisten. Apa artinya bagi Malioboro? Mengapa bukan payung pariwisata, yang mampu menjadi lokomotif kesejahteraan masyarakat? Atau payung ekonomi kreatif, yang menjanjikan kemakmuran rakyat?

Dalam pengelolaan Malioboro harus dibedakan antara tujuan dan manfaat. Tujuan utama pembenahan Malioboro adalah melestarikan sumbu filosofi. Ini tentu tepat dikelola dalam ranah kebudayaan. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif harus dilihat sebagai sektor yang mendukung tujuan pelestarian Malioboro. Keduanya harus tunduk pada tujuan ideal, yaitu melestarikan sumbu filosofi kota Jogja, bukan sebaliknya.

Pertemuan Tim Jogja Warisan Dunia dengan ICOMOS Indonesia terjadi 10 Maret 2022 di Kantor Dinas Kebudayaan DIY secara hybrid. Banyak hal didiskusikan dan dibedah, mulai proses pengajuan hingga substansi dokumen. Inti hasil pertemuan, ICOMOS Indonesia mendukung pengajuan status Jogja Warisan Dunia ke UNESCO dengan catatan, pengelolaan Malioboro haruslah menggunakan payung kebudayaan.

Perlulah belajar dari Borobudur dan Pulau Komodo. Semua kegiatan pembangunan yang bertentangan dengan pelestarian sumbu filosofi, mengancam status Jogja Warisan Dunia harus ditolak tegas. Pembangunan infrastruktur harus bijaksana, asesmen UNESCO mampu mendeteksi penurunan nilai keunikan universal (OUV) warisan sejarah.

Pekerjaan rumah berat bukan pada pengajuan status, tetapi perawatannya agar lestari. Instrumen rencana pengelolaan (management plan) harus efektif dan berdaya dalam menjaga keutuhan elemen-elemen kunci. Payung pariwisata, ekonomi kreatif dan lainnya, yang selama ini melekat pada Malioboro, perlu dipikirkan dan ditata ulang jika tidak menjamin kelestarian sumbu filosofi secara berkelanjutan.

Penutup

ICOMOS Indonesia meminta dengan sangat Pemda DIY menggunakan kebudayaan sebagai payung utama pengelolaan Malioboro. Dimensi-dimensi apapun yang kelola di kawasan sumbu filosofi haruslah selalu dilandasi filosofi manunggaling kawula lan gusti dan hamemayu hayuning bawana. Hindari konsep keindahan (beautification) elitis, dan diperkuat konsep ruang kota yang hidup dan indah sejalan dengan spirit takhta untuk rakyat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Rute, Tarif dan Jalur Bus Trans Jogja, Yuk Cek di Sini

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 05:17 WIB

Advertisement

alt

Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement