Ramadan Meneguhkan Prioritas Hablun Minallaah
Advertisement
Pada Ramadan kali ini mari sejenak kita bermuhasabah, barangkali kita pernah bersikap atau melakukan perbuatan yang menurut kita baik dan benar, namun sejatinya tidak baik di mata Allah SWT. Salah satu contohnya adalah ketika ada aksi pawang hujan atau banyak yang menyebutnya dengan istilah cloud engineer pada ajang MotoGP Mandalika kemarin. Banyak yang mengkritik hal tersebut dengan mengatakan bahwa negara Indonesia yang mayoritas muslim namun masih mempercayai hal-hal yang sifatnya takhayul dan syirik pada even level internasional tersebut.
Anehnya, tidak sedikit pula yang mendukung dan membelanya. Menjadi aneh, karena banyak muslim yang mendukungnya. Alih-alih menolaknya, justru malah mendukung dan menganggapnya sebagai kearifan budaya nusantara.
Advertisement
Contoh lainnya, seorang teman yang tinggal dan bekerja di Spanyol pernah menanyakan, ketika diundang makan-makan oleh rekannya dan rekannya tersebut menyuguhinya wine apakah boleh meminumnya sedikit sebagai tanda persahabatan dan untuk menghormatinya? Tidak banyak, hanya sedikit saja. Fenomena seperti ini memang banyak dijumpai di negara-negara dengan mayoritas nonmuslim, Eropa misalnya. Bahkan, di Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan mayoritas muslim terkadang kita jumpai hal tersebut.
Saya jawab, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada!" (HR At-Tirmidzi). Di semua tempat dan situasi. Di Indonesia, di Eropa, maupun di belahan dunia lainnya, seorang muslim diharuskan untuk memegang teguh ajaran agamanya dan berlaku sesuai koridor yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Ketika Allah SWT mengharamkan sesuatu, maka tidak ada alasan lain yang membuatnya menjadi halal (boleh), bahkan alasan kemanusiaan sekalipun. Tidak ada alasan karena untuk menghormati, menghargai, ataupun toleransi terhadap orang lain karena sejatinya bentuk hormat dan toleransi itu harus muncul dari dua sisi, bukan hanya dari satu sisi saja.
Jika kita menghargai undangan makan dari seorang rekan atau kerabat dengan menghadirinya dan bermuamalah dengannya dengan penuh keramahan dan keakraban, maka dari sisi lain teman atau kerabat tersebut pun harus menghargai dan menghormati kita, termasuk menghormati keyakinan dan prinsip kita.
Hablun minan-naas (hubungan dengan sesama manusia) yang semestinya kita pahami adalah prinsip bermuamalah dan berhubungan baik dengan sesama umat manusia dengan tidak melupakan atau bahkan berseberangan dengan hablun minallaah (hubungan dengan Allah). Hablun minallah harus kita jadikan sebagai prinsip dan pedoman utama dan tertinggi yang harus kita pegang dan manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harus lebih kita utamakan ketimbang lainnya. Maka, pantaskah kita berbuat sesuatu untuk mendapatkan kebahagiaan dan keridaan manusia dengan cara yang tidak halal tadi, sedangkan perbuatan tersebut justru membuat Allah tidak rida terhadap kita? Padahal, sebagai hamba-Nya kita wajib berpedoman pada ayat Al-Quran yang berbunyi: "Qul inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi Rabbil 'aalamiin." (Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam). (QS Al-An'am: 162)
Ramadan datang untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang keliru tersebut. Ketika Allah SWT mengatakan bahwa puasa Ramadan adalah untuk-Ku, maka kalimat tersebut menjadi sebuah peneguhan bahwa meskipun puasa Ramadan memiliki nilai dan nuansa sosial kemanusiaan, namun jangan dilupakan bahwa core of the core dan tujuan utama darinya adalah mendapatkan keridaan Allah SWT, Rabb Sang Maha Pencipta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kejati DIY Ungkap Belum Ada Persiapan Khusus untuk Pemindahan Terpidana Mati Mary Jane
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement