Meningkatkan Kemampuan Pengontrolan Diri melalui Puasa Ramadan
Advertisement
Dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman mengatakan bahwa kesuksesan manusia akan lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan pengontrolan diri daripada sekedar kecanggihan dalam menggunakan kemampuan intelektualnya. Pengontrolan dirilah yang menentukan apakah seseorang itu menjadi pemarah atau penyabar, bertindak adil atau bertindak zalim, bertindak bijaksana atau ngawur, bertindak jujur atau berdusta. Ibadah puasa di bulan Ramadan sebenarnya dapat menawarkan kesempatan bagi kaum Muslim untuk meningkatkan kemampuan pengontrolan diri terhadap berbagai syahwat yang sering membuat manusia mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.
Yang pertama, puasa dapat melatih kita melakukan kontrol terhadap syahwat ‘Farji’ atau syahwat biologis. Dalam kehidupan yang semakin permisif dan maraknya penggunaan internet, pornografi dan pornoaksi telah menyebabkan berbagai kerusakan seperti kehamilan di luar nikah, perselingkuhan, pemerkosaan, dan runtuhnya institusi keluarga dan perkawinan sebagai lembaga syah yang diatur agama. Dalam skala yang lebih besar, robohnya institusi keluarga akan menghancurkan moral generasi muda. Maka Rasulullah mengajarkan kepada para pemuda: “Wahai segenap pemuda, barang siapa di antara kamu memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya ia bersegera untuk menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa tidak mampu menikah, maka hendaknya ia berpuasa, Karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi perisai baginya (HR. Bukhari dan Muslim).
Advertisement
Yang kedua, puasa dapat melatih kita melakukan kontrol syahwat perut. Saat ini, kita dimanjakan oleh perkembangan dunia kuliner yang pesat. Berbagai ragam makanan dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki kekuatan finansial. Walaupun di satu sisi, peningkatan industri kuliner adalah wujud perkembangan ekonomi masyarakat, individu perlu melakukan pembenahan terhadap pola konsumsi yang berlebihan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad menasihatkan: “Tidak ada sesuatu wadah yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus mengisi perutnya lebih dari itu, maka sepertiganya adalah makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya (HR. Tirmidzi)”. Ramadan memberi kesempatan kita untuk melakukan moderasi dalam makan dan minum.
Yang ketiga, puasa dapat melatih kita melakukan kontrol syahwat lisan. Dalam konteks keluarga dan masyarakat, lisan yang tidak terkontrol adalah sebab dari perceraian di keluarga, perpecahan di masyarakat bahkan perang antara negara. Dengan perkembangan teknologi dunia maya, syahwat lisan sekarang diperluas lagi dengan kebebasan orang untuk mengunggah statusnya di media sosial. Komentar-komentar yang kasar dan tidak beretika terbukti telah menjadi sumber bagi rusaknya kohesi sosial masyarakat kita. Dengan berpuasa, alih-alih kita diajarkan untuk bicara yang tidak produktif, kita diajarkan oleh Ramadan untuk memperbanyak zikir, membaca Al Qur’an dan berdakwah secara positif dan produktif dengan lisan kita.
Pamungkas, puasa dapat melatih kita membenahi syahwat kekuasaan. Pada era euforia politik dan demokrasi saat ini, kompetisi untuk merebut kekuasaan semakin masif. Namun Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa politik yang tidak disertai dengan prinsip-prinsip moral akan menghancurkan sebuah bangsa. Kekuasaan yang diilhami oleh nilai-nilai Ramadan adalah kekuasaan yang digunakan untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat; bukan kekuasaan yang digunakan untuk memperkaya diri dan kelompok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement