Advertisement
OPINI: Disparitas Harga BBM & Ketahanan Energi
Advertisement
Perang Rusia-Ukraina telah memberikan pengaruh ketidakpastian bagi sektor energi global, termasuk Indonesia. Rusia adalah salah satu produsen energi terbesar di dunia, khususnya bagi Eropa. Ketika konflik Rusia-Ukraina terjadi, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian bagi pasokan energi dari Rusia ke Eropa sehingga memicu kenaikan harga energi, khususnya minyak mentah (crude). Data dari World Bank memperlihatkan crude jenis Brent pada Maret lalu mencapai US$115,59 per barel naik sekitar 56% dibanding posisi Desember 2021 sebesar US$74,31 per barel.
Bagi negara yang memiliki sumber daya minyak besar atau dikenal sebagai negara-negara petrodollar, kenaikan harga crude memang menguntungkan. Kenaikan harga crude membuat pendapatan mereka meningkat, tidak hanya dinikmati oleh negara (melalui APBN-nya) juga dinikmati oleh korporasi perminyakan. Kondisi tersebut tidak berlaku bagi negara-negara yang tidak memiliki surplus minyak. Indonesia termasuk negara yang berpotensi merugi akibat kenaikan harga minyak tersebut, karena statusnya sebagai net oil importer.
Advertisement
Tingginya harga minyak menyebabkan nilai impor migas Indonesia meningkat. Secara makro, kondisi ini akan memberikan tekanan negatif bagi neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan fiskal kita melalui kenaikan subsidi energi. Sedangkan secara mikro, kenaikan harga minyak membawa implikasi bagi korporasi migas secara beragam.
Dari sisi mikro korporasi, kenaikan harga minyak memberikan dampak positif bagi korporasi di bisnis hulu migas (upstream). Setidaknya, kenaikan harga minyak ini mengembalikan pendapatan mereka yang hilang selama pandemi Covid-19 akibat lemahnya demand dan rendahnya harga minyak. Sedangkan bagi korporasi di bisnis midstream dan downstream (hilir), kenaikan harga minyak ini menjadi tantangan. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi kilang pengolahan (midstream), berupa kenaikan biaya bahan baku (crude). Sedangkan dari sisi hilir, kenaikan biaya produksi di kilang menyebabkan kenaikan harga beli BBM yang dibayar oleh korporasi di bisnis ritel BBM.
Meskipun terjadi kenaikan biaya produksi di kilang, ternyata respons dari korporasi di bisnis hilir (ritel BBM) berbeda-beda. Korporasi ritel swasta telah lebih awal menyesuaikan harga jual BBM-nya. Sedangkan Pertamina, karena kedudukannya sebagai BUMN, tidak dapat menaikkan harga jual BBM-nya mengikuti harga pasar. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan disparitas harga yang sebenarnya merugikan semua pelaku usaha di bisnis ritel BBM. Korporasi ritel swasta kehilangan konsumen karena harga BBM-nya jauh lebih tinggi dibanding harga BBM Pertamina. Pertamina juga merugi karena harga jual BBM-nya masih di bawah harga keekonomian.
Di Pertamina sendiri, disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi (Premium dan Pertalite) dengan BBM non-subsidi (Pertamax) juga menjadi persoalan yang pelik. Disparitas harga yang tinggi menyebabkan terjadinya peralihan konsumsi BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi. Konsekuensinya, kuota BBM bersubsidi terlampaui. Pada tahun ini, kuota Pertalite yang menjadi jenis BBM khusus penugasan dinaikkan dari 23,05 juta kilo liter (KL) menjadi 28,50 juta KL. Kondisi ini tidak hanya menambah kenaikan subsidi pemerintah, juga berpotensi memberikan tekanan bagi keuangan Pertamina.
Kita menyadari bahwa pemerintah tidak mungkin menyerahkan harga BBM Pertamina mengikuti harga minyak yang kini berada di level tinggi, karena pertimbangan dampaknya. Namun, kita juga perlu memikirkan solusi agar Pertamina mampu menjalankan perannya menjaga ketahanan energi nasional di tengah krisis energi global saat ini. Harga minyak yang sangat tinggi berisiko bagi Pertamina, bila mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan BBM domestik. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya mengoptimalkan produksi kilang domestik dengan dukungan crude yang maksimal.
Sejak 2018, Kementerian ESDM telah mengeluarkan kebijakan mengenai prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pada 2019 lalu, kebijakan tersebut cukup efektif mengoptimalkan kegiatan produksi kilang domestik. Berdasarkan Annual Report 2019 Pertamina, pengolahan crude domestik oleh kilang Pertamina pada 2019 meningkat menjadi 75% dibandingkan 2018 sebesar 62%. Sehingga, pembelian crude impor oleh Pertamina pada 2019 menurun 36% dibandingkan 2018.
Kebijakan tersebut sangat relevan terutama saat menghadapi isu geopolitik seperti saat ini, di mana harga crude impor lebih mahal dibandingkan harga crude domestik. Dorongan terhadap implementasi kebijakan tersebut tidak hanya positif bagi Pertamina, tetapi juga bagi pemerintah. Melalui kebijakan ini, pemerintah dapat memperoleh penghematan devisa atas pengurangan impor crude. Kebijakan ini juga membantu pemerintah dalam pengamanan lifting nasional.
Sedangkan Pertamina, melalui kebijakan tersebut, dapat memaksimalkan pembelian crude domestik sehingga dapat meningkatkan margin hilir dan ketahanan supply crude. Ini mengingat, crude domestik lokasinya lebih dekat dengan kilang Pertamina, sehingga freight cost dapat ditekan. Pada akhirnya, bila produksi kilang domestik lebih optimal dan biaya lebih murah, kita dapat mewujudkan tercapainya ketahanan energi dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
BEDAH BUKU: Warga Gamping Diajak Belajar Menjaga Keharmonisan Keluarga
Advertisement
Ndarboy Genk Rilis Sendiri, Ekspresi Cinta dengan Sentuhan Koplo Jatim
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement