Advertisement

OPINI: Jokowi & Estafet Kepemimpinan

Stefanus Arief Setiaji, Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana Jakarta
Jum'at, 13 Mei 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Jokowi & Estafet Kepemimpinan Stefanus Arief Setiaji, Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana Jakarta

Advertisement

Nyawiji dadi siji 2024 Manut Jokowi.” Kalimat dalam bahasa Jawa itu terpampang besar di salah satu sudut Jogja. Kalimat itu diusung oleh Rejo Semut Ireng, kelompok sukarelawan pendukung Joko Widodo di dua kontes Pemilihan Presiden pada 2014 dan 2019.

Nyawiji dadi siji dapat dimaknai menjadi satu atau menyatu. Sedangkan manut Jokowi dapat dipahami sebagai mengikuti perintah atau arahan Jokowi. Jika diartikan secara keseluruhan, pesan yang dibawa oleh Rejo Semut Ireng itu pada 2024 kelompok itu tetap jadi satu dan mengikuti perintah Jokowi.

Advertisement

Perintah tersebut dapat diterjemahkan dalam konteks Pilpres 2024. Sikap yang seolah menjadi penanda bahwa siapa yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan nasional pada 2024, bisa jadi ditentukan oleh dukungan Jokowi terhadap calon penerusnya.

Setidaknya ada dua alasan yang membuat posisi Jokowi cukup menentukan dalam peta politik Pilpres 2024. Pertama, sampai saat ini tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai Presiden relatif masih cukup terjaga.

Mengutip survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 26 April 2022, masyarakat yang puas (gabungan antara sangat puas dan cukup puas) terhadap kinerja Presiden sebesar 59,9%. Sementara itu, publik yang tidak puas (gabungan kurang puas dan tidak puas sama sekali) sebesar 38,6%.

Dilihat dari sisi sebaran wilayah, tingkat kepuasan atas kinerja Jokowi dengan baseline di atas 50% tecermin di Sumatra, Jawa Tengah & Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua.

Alasan kedua, Jokowi tentu sangat berkepentingan dengan sejumlah megaproyek yang sudah dicanangkan di masa pemerintahannya. Salah satu yang menjadi perhatian khalayak adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Sebagai tokoh yang memutuskan untuk menggeser Ibu Kota dari Jakarta ke Kaltim, Jokowi tidak ingin megaproyek itu terhenti begitu saja yang akhirnya menjadi beban politik bagi dirinya dan orang-orang di sekelilingnya di masa depan.

Dengan demikian, siapa yang menjadi Presiden ke depan setidaknya memiliki visi sama dengan Jokowi untuk melanjutkan pebangunan IKN. Bahkan, IKN bisa jadi akan menjadi isu krusial dalam dinamika kampanye Pilpres mendatang.

Sebagai Kepala Negara, Jokowi mulai menunjukkan tanda-tanda atas kepentingan politiknya ke depan dalam beberapa pertemuan dengan sejumlah tokoh beberapa waktu terakhir.

Tanda pertama adalah ketika Jokowi meninjau persiapan perhelatan Formula E di Ancol Jakarta pada akhir April lalu. Di sana, Jokowi bertemu dengan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

Jauh sebelum menjadi Gubernur DKI, Anies merupakan orang “dekat” Jokowi di Pilpres 2014 dan pernah dipercaya menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional selama kurang lebih dua tahun.

Dalam berbagai survei, Anies masuk sebagai salah satu tokoh dengan elektabilitas tinggi untuk menjadi calon presiden 2014, bersama beberapa tokoh lain seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Saat Lebaran 2022, Jokowi juga menerima kunjungan silaturahmi Prabowo Subianto di Gedung Agung Yogyakarta. Prabowo menjadi satu-satunya ketua umum partai politik yang diterima Jokowi saat Lebaran lalu.

Dari dua pertemuan dengan Anies dan Prabowo, apa yang dapat dibaca?

Rasanya Jokowi sangat sadar bahwa dua nama itu punya kans sebagai penerus estafet kepemimpinan nasional setelah dirinya. Boleh jadi, Jokowi tengah mengukur sejauh mana keberterimaan pendukung loyalnya terhadap Anies Baswedan yang selama ini dianggap sebagai rival politiknya.

Jokowi tentu saja sudah sudah mampu mencium basis pemilih Anies Baswedan. Kelompok pemilih Anies, dapat digambarkan mayoritas merupakan oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Pascapertemuan itu, dinamika di media sosial terkait dengan pertemuan Jokowi dan Anies terlihat cukup panas.

Hal itu dapat menjadi tanda bahwa basis pemilih Jokowi belum bisa 100% menerima kehadiran Anies sebagai calon presiden mendatang. 

Demikian halnya dengan Prabowo. Sebagai rival Jokowi dalam dua kontes Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo masih memiliki pendukung yang solid. Survei Indikator Politik menempatkan Partai Gerindra sebagai parpol kedua dengan elektabilitas tertinggi setelah PDI Perjuangan.

Bedanya, Prabowo mampu membuka diri untuk berkoalisi dengan Jokowi di pemerintahan periode 2019—2024. Sejauh ini, Prabowo juga mampu menjaga komitmen untuk membantu pemerintah dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan.

Para pendukung Jokowi pun sudah tidak sekeras pada dua pilpres sebelumnya terhadap sosok Prabowo yang sudah menjadi bagian dari pemerintahan di periode 2019—2024 sebagai Menteri Pertahanan.

Pertanyannya, apakah Jokowi akan memberikan dukungan kepada dua tokoh itu di Pilpres 2024?

Jawabannya, belum tentu. Dalam konteks kekuasaan, ada banyak hal yang tentu perlu dipertimbangkan. Kekuasaan menurut Michel Foucault dipandang sebagai relasi atau hubungan yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis.

Sebagai Presiden yang lahir dari rahim PDIP, Jokowi bisa jadi masih mempertimbangkan kelayakan kandidat yang bakal diusung oleh partai berlambang banteng moncong putih itu.

Dengan magnet ketokohan yang masih kuat, Jokowi bakal menjaga sebaik mungkin relasi yang sudah dibangun dalam 10 tahun pemerintahannya dengan para elite politik dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.

Jika membaca suasana hati internal PDIP yang masih terbelah antara memberi rekomendasi kepada pemilik elektabilitas tertinggi Ganjar Pranowo, atau memberi jalan bagi putri mahkota Puan Maharani, keputusan akhir tentu saja akan ditentukan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Belakangan, tanda-tanda PDIP untuk membuka jalan bagi Puan Maharani memang lebih dominan. Di daerah pemilihan Puan Maharani kawasan Surakarta dan sekitarnya, baliho besar sosok Puan masih menonjol dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain.

Hal ini dapat dikatakan perjuangan untuk memasarkan Puan saat ini menjadi target utama. Namun, PDIP juga realistis dengan elektabilitas Puan Maharani yang masih di kisaran 1,1%.

Sehingga, Pilpres 2024 sasaran PDIP besar kemungkinan bukan untuk menempatkan kandidatnya sebagai calon presiden. Mungkin cukup dengan posisi calon wakil presiden.

Soal siapa calon presidennya, selain diserahkan kepada Megawati, Jokowi tampaknya akan turut menentukan posisinya. Bisa saja dari tokoh alternatif yang namanya tak masuk dalam daftar elektabilitas teratas.

Jadi, pascaperjumpaan Jokowi dengan Anies dan Prabowo, dalam waktu-waktu mendatang tampaknya akan banyak pertemuan Jokowi dengan kandidat potensial capres 2024 dalam suasana informal. Bisa saja, Jokowi ngobrol empat mata dengan mantan Kapolri M. Tito Karnavian atau mungkin Jokowi jalan bersama Panglima TNI Andika Perkasa.

Dengan cara itu, masyarakat akan diajak untuk menerka-nerka siapa sosok yang dinilai layak menjadi pemimpin nasional di pilpres mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Prameks Jogja-Kutoarjo, Jumat 29 Maret 2024

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 03:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement