Advertisement

OPINI: Politik Adiluhung Atur Harga BBM

Abdul Munir Sara
Sabtu, 03 September 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Politik Adiluhung Atur Harga BBM Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018). - JIBI/Dwi Prasetya

Advertisement

Menteri Keuangan dalam siaran pers 26 Agustus 2022 berujar anggaran Rp502 triliun untuk subsidi BBM plus kompensasi tahun 2022, bila tidak untuk subsidi dapat digunakan untuk membangun 3.333 rumah sakit (biaya Rp150 miliar per RS), 227.886 (biaya Rp2,19 miliar per SD), 3.501 ruas tol baru (biaya Rp142,8 miliar per km) dan 41.666 puskesmas (biaya Rp12 miliar per unit).

Pesan yang ingin disampaikan ke publik adalah BBM subsidi yang dialokasikan cenderung menguap ke kelompok yang tak berhak dan tidak produktif. Di balik argumen pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM subsidi adalah beban fiskal akibat bocornya subsidi tersebut ke kelompok Rumah Tangga (RT) mampu, selain disebabkan oleh transmisi fluktuasi harga minyak acuan atau Indonesian Crude Price (ICP) dan dampak kurs.

Advertisement

Pemerintah berada pada trade off antara mempertahankan harga BBM subsidi dengan segala konsekuensinya, atau mengerek harga BBM (mendekati keekonomian). Tampaknya, dari argumen dan gestur, pemerintah lebih condong pada mengerek harga BBM jenis Research Octane Number (RON) 90 mendekati keekonomian agar mengurangi tekanan lebih lanjut dalam dompet APBN.

Dalam outlook belanja subsidi 2022, subsidi BBM plus kompensasi akan lebih besar dari Rp502,4 triliun menjadi Rp698,0 triliun, atau bertambah Rp195,5 triliun (meningkat 39%). Harga, kurs, dan peningkatan konsumsi akan membuat subsidi BBM plus kompensasi energi 2022 lebih tinggi dari alokasi.

Kombinasi dari transmisi harga minyak dunia, kurs, dan bocornya penyaluran BBM subsidi membuat pemerintah perlu menata kembali kuota BBM yang tersisa saat ini agar tidak membengkak dan melampaui kesanggupan APBN. Dari data Menkeu, saat ini, sisa kuota Pertalite adalah 6,21 juta KL, dari total 23,05 juta KL atau sudah terpakai 16,84 juta KL. Sementara untuk solar dari kuota 15,10 juta KL, tersisa 5,22 juta KL atau sudah terpakai 9,88 juta KL. Bila rata-rata konsumsi Pertalite 2,5 juta KL dan solar 1,5 juta KL, maka diperkiraan dua jenis BBM subsidi ini akan habis di bulan Oktober 2022.

Risikonya bila kedua jenis BBM tersebut habis sebelum akhir tahun, maka pemerintah perlu menambah kuota. Dan bila melampaui kesanggupan dompet APBN, maka pemerintah harus berutang lagi. Lantas bila bengkaknya subsidi BBM plus kompensasi ini tak ter-cover di tahun 2022, maka akan dibebankan di tahun 2023, saat di mana pemerintah diwajibkan oleh UU melakukan disiplin fiskal dengan defisit APBN di bawah 3% dari PDB.

Dari dilema inilah, tata kelola (governance) BBM subsidi perlu diatur kembali oleh pemerintah melalui adjustment policy. Menekan potensi kebocoran BBM subsidi sebagai problem krusial. Bocornya BBM subsidi pada kelompok yang mampu begitu signifikan bila ditilik dari data pemerintah.

HIGH POLITIC

Besarnya kebocoran BBM subsidi pada kelompok RT mampu, merefleksikan keroposnya moralitas bernegara kita sebagai bagian elementer high politics atau politik adiluhung. Bila korupsi secara etik bermakna mengambil sesuatu bukan haknya yang berakibat pada merugikan keuangan negara, maka menggunakan sumber daya ekonomi seperti BBM subsidi oleh kelompok yang mampu secara ekonomi, adalah definisi yang setara dengan korupsi per se. Di sinilah high politics atau politik adiluhung bekerja. Memberikan seruan moral terkait keharusan siapa yang berhak menerima BBM subsidi plus kompensasi.

Dalam kerangka high politics itulah, negara sejatinya hadir dalam tata kelola penyaluran BBM subsidi. Melahirkan kebijakan preventif, memperkecil lubang bocornya BBM subsidi. Tanpa kerangka kerja negara, tata kelola penggunaan BBM subsidi tak akan berjalan baik, dan selama itu pula APBN akan terus menerus memikul beban subsidi energi, akibat “salah urus.” Subsidi kepada masyarakat miskin tak bisa dihilangkan sama sekali, karena merupakan tugas konstitusional APBN.

Sudah dua dekade ini, problem bocornya subsidi BBM selalu menjadi government toxic. Selain karena anasir-anasir politiknya yang lebih kencang, ambiguitas memilih kebijakan distribusi subsidi BBM antara subsidi ke orang atau barang atau berdasarkan best practice, menjadi soal yang terus menerus gagap dijawab. Padahal potensi kebocoran dan dampaknya ke ruang fiskal “dipastikan terjadi dan nyata.”

Maka penolakan Badan Anggaran DPR RI terkait penambahan kuota BBM subsidi tahun ini beralasan agar regulator dan operator BBM perlu melakukan pembatasan. Sistem dan tata kelola penyaluran perlu dilakukan dengan baik agar subsidi tepat sasaran. Dengan demikian, sisa kuota Pertalite 6,21 juta KL dan Solar 5,22 juta KL dapat meng-cover permintaan hingga akhir 2022.

Bila pemerintah menginginkan subsidi lebih produktif atau diperuntukan bagi pembangunan rumah sakit; puskesmas, gedung sekolah, ruas tol baru, dan belanja produktif yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, maka sejatinya pemerintah sefrekuensi dengan ekspektasi DPR yakni perbaikan tata kelola penyaluran BBM subsidi agar tepat sasaran.

Lebih dari itu, kerjanya high politics dalam kebijakan pengelolaan sumber daya fiskal diperlukan. Sistem atau infrastrukturnya perlu dibangun. Memastikan kebijakan bekerja pada prinsip-prinsip moral dan kesalehan bernegara; sebagaimana high politics per se.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Budayawan di Jogja Dilibatkan Pembuatan Maskot Pilkada 2024

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement