Advertisement
OPINI: Perizinan Usaha & Masa Sulit

Advertisement
Bagi dunia usaha, melewati tahun ini cukup sulit. Tahun depan yang diramal gelap pun tidak mudah akibat ketidakpastian perekonomian global memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Untuk bisa bertahan, dunia usaha dituntut untuk inovatif serta dibutuhkan situasi yang mendukung.
Salah satu yang dibutuhkan dunia usaha adalah terkait perizinan usaha. Perlu ada kepekaan sense of crisis untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada dunia usaha yaitu dengan perizinan yang lebih fleksibel di antaranya dengan penerbitan peraturan perizinan, penerbitan izin baru, penerbitan izin pelaksanaan usaha, dan pengawasannya.
Dalam hal penerbitan peraturan perizinan yang berfungsi sebagai alat pengendalian harus dapat diukur tingkat efektivitas dan cost-benefit dari pengaturannya. Ada kalanya antara tujuan yang hendak dicapai tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya. Misalnya, verifikasi izin impor bahan baku industri, untuk mencegah kebocoran pada izin yang diberikan, pemerintah menerbitkan izin untuk melakukan verifikasi setiap perusahaan yang melakukan importasi.
Meskipun dalam sejumlah peraturan terkait verifikasi teknis tidak disebut sebagai izin, tetapi menurut penulis bersifat wajib karena menjadi bagian dari proses perizinan yang menentukan boleh atau tidaknya sebuah aktivitas usaha.
Sedangkan untuk verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga, akibatnya izin menjadi lebih lama dan mahal.
Perusahaan yang selama ini tertib dan patuh terhadap hukum menjadi korban dari para pelaku usaha nakal karena baik yang tertib hukum maupun nakal pada akhirnya sama-sama dikenakan disinsentif berupa izin verifikasi yang lebih lama dan mahal.
Di sisi lain, apabila izin tersebut dimaksudkan untuk menjadi barrier bagi importasi, maka jika tidak tepat akan menjadi beban bagi dunia usaha yaitu ketika industri lokal belum bisa mengonversi kebutuhan atas produk impor.
Untuk memenuhi pasar lokal yang cenderung didominasi oleh konsumen dengan orientasi price taker, maka dibutuhkan bahan baku yang sesuai dengan segmentasi tersebut. Skala usaha di dalam negeri yang didominasi oleh IKM dan UKM maka supplier juga harus bisa memenuhi order dalam jumlah mini dengan harga yang masih tetap kompetitif.
Kondisi industri hilir pada masa pascakenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi juga akan menjadi catatan penting karena kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Di sisi lainnya, jika pengaturan perizinan tidak dilakukan secara tepat akan mendorong kenaikan harga jual yang berpotensi makin menekan inflasi.
Menyadari bahwa izin ini dapat menjadi beban bagi dunia usaha, maka untuk menunjukkan keberpihakan terhadap dunia usaha, beberapa perizinan digratiskan. Meskipun pelaksana perizinan adalah pihak ketiga, biaya penerbitan izin masih tetap ada sehingga biaya ini kemudian akan menjadi beban bagi APBN.
Keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap industri nasional telah ditunjukkan dalam bentuk alokasi anggaran sebesar Rp400 triliun belanja negara untuk dimanfaatkan oleh industri. Namun, dalam pelaksanaannya harus dijauhkan dari birokrasi perizinan yang berbelit dan mahal. Dengan pengaturan birokrasi perizinan yang fleksibel penulis berkeyakinan bahwa belanja pemerintah dapat terserap lebih optimal dan akan menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi nasional.
Inflasi di negara-negara tujuan ekspor dan potensi inflasi akibat kenaikan BBM di dalam negeri pada gilirannya berdampak pada penurunan daya beli dan akhirnya akan mempengaruhi kapasitas produksi industri nasional. Sampai pada saat daya tahan dunia usaha makin tergerus, maka akan berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam hal ini pemenuhan terhadap upah minimum merupakan syarat bagi perusahaan boleh beroperasi. Sehingga bagi penulis, ketentuan tersebut menjadi bagian dari administrasi perizinan usaha. Dalam masa sulit dan gelap juga dibutuhkan fleksibilitas pengupahan terutama untuk menyikapi terjadinya penurunan kapasitas dan jam kerja serta mencegah terjadinya PHK.
Penurunan demand di tingkat global dan pasar lokal yang memengaruhi kapasitas produksi perusahaan, bebannya akan makin berlipat bagi industri-industri padat karya. Namun, melakukan PHK akan menjadi beban bagi dunia usaha ketika pasar mulai pulih arena harus melakukan rekrutmen dan pelatihan lagi dari awal.
Bagai buah simalakama bagi industri padat karya, di satu sisi daya tahan perusahaan tergerus karena pandemi Covid-19 dan perang di Eropa sejak Februari 2022 mulai menekan konsumsi sehingga menjaga tidak terjadi PHK akan sangat berat.
Meskipun fleksibilitas menjadi kunci daya tahan bagi dunia usaha, tetapi upaya tersebut perlu dilakukan dengan payung hukum. Bagi industri berorientasi ekspor, payung hukum diperlukan untuk bisa mendapatkan order ditengah lesunya pasar global. Karena umumnya buyer produk ekspor Indonesia mensyaratkan pada regulation compliance. Sehingga dengan payung hukum bagi fleksibiltas perizinan dan kemudahan berusaha akan dapat menjaga daya saing industri nasional.
BACA JUGA: Kementerian BUMN Bersama Telkom Bagikan 1000 Paket Sembako Murah di Batulicin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Peringati Hari Lahir Bung Karno, Bakesbangpol DIY Gelar Sarasehan Pancasila bersama Pemuda
Advertisement

Disanjung Simon Cowell, Ternyata Putri Ariani adalah Siswi SMK Seni di Bantul
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement