Memahami PPh 22 Tarif 0,5% bagi Rekanan Instansi Pemerintah
Advertisement
Saat ini, transaksi belanja pengadaan barang dan/atau jasa oleh instansi pemerintah banyak dilakukan melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah, atau lebih dikenal dengan istilah SIPP. SIPP adalah sistem informasi yang digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pengadaan barang dan/atau jasa Instansi Pemerintah melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Di dalam SIPP, tergabung sejumlah ritel daring pengadaan dan marketplace pengadaan barang dan/jasa pemerintah. Berbeda dengan ritel daring pengadaan yang digunakan sendiri untuk melakukan penawaran barang dan/atau jasa, marketplace pengadaan memberikan wadah bagi rekanan untuk memberikan penawaran barang dan/atau jasa kepada Instansi Pemerintah.
Merujuk pada PMK 58/PMK.03/2022, marketplace pengadaan yang tergabung dalam SIPP ditunjuk sebagai pemungut pajak untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak atas penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh rekanan instansi pemerintah. Kewajiban pungut yang sebelumnya diserahkan kepada Instansi Pemerintah, saat ini dibebankan kepada pihak lain, yaitu marketplace pengadaan untuk transaksi pengadaan yang dilakukan melalui SIPP menggunakan mekanisme Uang Persediaan. Salah satu pajak yang dipungut adalah PPh Pasal 22, dengan tarif 0,5% dari seluruh nilai pembayaran yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Advertisement
PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa oleh instansi pemerintah, sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai pajak yang bersifat tidak final untuk diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dipungut, tidak bisa menjadi bagian pelunasan PPh Final. Akan tetapi, untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh marketplace pengadaan (Pihak Lain) dalam PMK 58/PMK.03/2022 ini cukup berbeda. Rekanan yang telah dipungut oleh marketplace pengadaan dapat memperlakukan PPh Pasal 22 yang telah dipungut sebagai kredit pajak, atau bisa juga menjadi bagian dari pelunasan PPh yang bersifat final jika pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan atas penghasilan PPh yang bersifat final.
Rekanan pemerintah yang menawarkan barang dan/atau jasa melalui SIPP mau tidak mau harus memahami PPh Pasal 22 ini. Karena, meskipun pajak penghasilannya telah dipungut dan disetorkan oleh Pihak Lain, ada konsekuensi yang mengikat ke rekanan terkait pemenuhan kewajiban perpajakannya. Selain itu, rekanan juga harus paham aspek perpajakan usahanya, terutama bagi rekanan yang penghasilannya dikenakan PPh Final, di mana atas sebagian jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final, rekanan yang telah dipungut PPh Pasal 22 ini masih harus melunasi sendiri kekurangan PPh Finalnya karena adanya perbedaan tarif PPh Final yang seharusnya dengan tarif pemungutan PPh Pasal 22. Nah, agar penjelasannya lebih lengkap, mari kita bahas secara keseluruhan yang harus dipahami rekanan terkait perlakuan PPh Pasal 22 ini.
Pertama, jika rekanan merupakan wajib pajak yang dikenai tarif umum berdasarkan Undang Undang Pajak Penghasilan dan penghasilan rekanan bukan merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Final, rekanan dapat menggunakan PPh Pasal 22 yang telah dipungut sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan. Bagi rekanan orang pribadi, dapat mencantumkan PPh Pasal 22 yang dipungut pada lampiran II bagian A Daftar Pemotongan dan/atau Pemungutan oleh Pihak Lain formulir 1770. Sedangkan, bagi rekanan berbentuk badan, dapat mencantumkan PPh Pasal 22 yang dipungut pada lampiran III Kredit Pajak Dalam Negeri formulir 1771.
Selanjutnya, jika penghasilan rekanan merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Final, selain atas penghasilan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu atas persewaan tanah dan/atau bangunan, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan usaha jasa konstruksi, rekanan wajib menyetorkan kekurangan PPh Final atas transaksi tersebut paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Selain itu, rekanan wajib melaporkan kekurangan PPh Final tersebut dengan menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi maksimal tanggal 20 bulan berikutnya. Sebagai contoh, atas transaksi sewa tanah dan/atau bangunan instansi pemerintah kepada rekanan melalui SIPP, marketplace pengadaan memungut PPh 22 sebesar 0,5%, kemudian rekanan wajib menyetorkan kekurangan PPh Final sebesar 9,5% ke kas negara dan melaporkannya di SPT Masa PPh Unifikasi rekanan.
Terakhir, jika rekanan merupakan wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan masih dapat menggunakan skema PP 23 Tahun 2018, atas pemungutan PPh 22 oleh Pihak Lain dianggap sebagai pelunasan PPh Final 0,5% sehingga rekanan tidak perlu menyetor sendiri PPh Final berdasarkan PP23 Tahun 2018. Rekanan tinggal menyetor PPh Final untuk masa yang sama atas transaksi lain yang belum dipotong dan/atau dipungut pajaknya, dan melakukan pencatatan omzet untuk dilaporkan dalam SPT Tahunan rekanan. Rekanan juga tidak perlu melakukan pemindahbukuan atas PPh Pasal 22 yang dipungut ke jenis pajak PPh Final untuk dapat diakui sebagai bagian pelunasan PPh Final.
Nah, sudah paham kan perlakuan PPh 22 setengah persen berdasarkan PMK 58/PMK.03/2022 ini? Jadi, PPh 22 yang dipungut Pihak Lain berdasarkan PMK 58/PMK.03/2022 ini dapat digunakan dalam beberapa perlakuan oleh rekanan tergantung skema perpajakan wajib pajak dan jenis transaksinya. Oleh karena itu, yuk pahami dengan baik aspek perpajakan transaksi dan usahanya agar bisa benar dan tepat melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ingat, banyak yang dapat sanksi administrasi pajak bukan karena sengaja melanggar, tapi karena tidak paham kewajibannya sehingga lalai melaksanakan. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Prameks Stasiun Tugu Jogja-Kutoarjo, Sabtu 23 November 2024
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement