Advertisement
OPINI: Bangkitkan Industri Tekstil
Advertisement
Maraknya fenomena thrifting di Indonesia karena dipicu masyarakat menyukai barang-barang branded tetapi dananya terbatas. Secara harfiah, kata thrifting mempunyai arti hemat, sehingga mereka yang membeli barang branded bekas dengan harga jauh lebih murah dan kualitasnya masih layak pakai dianggap melakukan thrifting.
Perilaku memakai barang-barang branded kerap kali dikaitkan dengan naiknya status sosial karena memakai barang-barang branded dengan harga sangat fantastis dianggap kaya. Tak heran jika aktivitas thrifting cukup hits dan banyak diminati, karena orang bisa membeli barang-barang branded bekas tersebut dengan sangat murah. Karena itu, banyak pelaku bisnis memanfaatkannya dengan membuka usaha thrifting.
Advertisement
Akibat perilaku thrifting ini, volume impor pakaian bekas meningkat tajam sehingga merugikan perekonomian Indonesia. Pertama, impor pakaian bekas menggerus 15% pangsa pasar produsen tekstil domestik. Kedua, impor barang bekas juga menambah tumpukan sampah lebih banyak di Tempat Pembuangan Akhir. Ketiga, impor pakaian bekas bersifat ilegal karena sebenarnya sudah dilarang pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas dan Permendag No.18/2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor.
Alasan pemerintah melarang impor pakaian bekas didasarkan atas aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan. Keempat, impor pakaian bekas di Indonesia tidak membayar bea dan cukai karena memang dilarang sehingga selundupan pakaian bekas akan merugikan negara.
Tingginya permintaan masyarakat terhadap pakaian bekas ini menciptakan peluang bisnis baru di Indonesia. Apalagi, bisnis jual beli pakaian bekas memang menggiurkan karena pedagang meraup keuntungan tiga kali lipat bahkan lebih. Dari berbagai observasi di lapangan, sebagian besar pedagang mengaku sudah balik modal hanya dengan menjual 20% dari ratusan lembar pakaian bekas yang dibelinya.
Pedagang dapat menjual pakaian bekas dengan berbagai kualitas dengan kisaran harga dari Rp15.000 sampai Rp 250.000 per lembar, padahal mereka hanya mengeluarkan modal sekitar Rp14 juta untuk satu bal yang terdiri 200-300 lembar pakaian bekas. Kemudian, sisa pakaian bekas yang tidak terjual dibuang pedagang. Padahal pakaian bekas yang dibuang adalah sampah yang sulit dimusnahkan karena mengandung bahan kimia yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengurai zat kimianya.
Ketika Pemerintah menindak tegas larangan impor pakaian bekas ke Indonesia, para pedagang tersebut resah karena mereka kehilangan mata pencahariannya. Tidak hanya itu, importir pun mulai berteriak karena mereka mengeluarkan modal lebih besar daripada pedagang.
Para importir biasa membeli satu pack atau sekitar 250 bal pakaian bekas dengan harga paling murah sekitar Rp800 juta. Mereka pun menanggung kerugian miliaran, namun itu tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung dari sisi penerimaan negara, kesehatan dan lingkungan. Belum lagi produsen tekstil lokal, industri konveksi UMKM maupun skala besar juga dirugikan.
Ada sekitar 520.000 pekerja yang menggantungkan nasibnya pada industri tekstil di Indonesia. Para pekerja tekstil domestik juga pasti terdampak karena banjirnya impor pakaian bekas ke Indonesia mengakibatkan tren penjualan produk tekstil domestik menurun.
Perlu upaya serius untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, gerakan memberantas penyelundupan impor pakaian bekas. Banjir impor pakaian bekas sebagai bukti lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan Indonesia. Wilayah Indonesia yang sangat luas bukan kata permisif untuk alasan kebocoran impor pakaian bekas. Pemerintah bisa melakukan tracking dengan cara mengikuti jejak aktor (follow the actor) importir pakaian bekas.
Kemudian upaya serius untuk mendeteksi kemungkinan manipulasi kode Harmonized System (HS) juga harus dilakukan. Mengingat kode HS ini menentukan apakah barang tersebut bisa masuk atau tidak ke suatu negara dan seberapa besar pajak yang harus dibayar atas barang tersebut.
Selain itu, pelonggaran izin impor Angka Pengenal Impor Umum (APU) untuk saat ini sebaiknya dihentikan sementara untuk mencegah kemungkinan impor pakaian bekas. Sebaiknya pemerintah memprioritaskan izin impor Angka Pengenal Impor Produsen (API-P). API-P hanya diberikan kepada perusahaan yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
Kedua, menggaungkan gerakan cinta produk dalam negeri sehingga produk tekstil dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak hal yang perlu dibenahi. Agar bisa meraih pangsa pasar domestik, maka tekstil dan produk tekstil (TPT) haruslah kompetitif baik dalam harga maupun kualitas. Biaya produksi produk TPT di Indonesia memang relatif lebih tinggi dibandingkan produk tekstil serupa dari negara lain, akibatnya harga produk TPT Indonesia lebih mahal.
Hal ini disebabkan utilitas mesin produksi TPT di Indonesia hanya berkisar 49%, sementara utilitas negara lain berkisar 70%-84%. Oleh karena itu mesin-mesin produksi TPT perlu diremajakan agar kapasitasnya meningkat. Kemudian, untuk bisa memproduksi dengan harga relatif murah maka perlu mengedepankan bahan baku lokal. Namun jika memang bahan bakunya harus impor, maka sebaiknya produsen diberikan kemudahan untuk mengimpor bahan baku dan memberi subsidi agar bahan bakunya lebih murah.
Ketiga, melakukan restrukturisasi industri TPT nasional dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusia di bidang tekstil, keberadaan pendidikan tekstil di Indonesia hanya ada 10-12 jurusan tekstil. Sedangkan Amerika Serikat memiliki 111 universitas yang membuka jurusan tekstil, India sekitar 108 universitas, Tiongkok sekitar 61 universitas dan Pakistan berkisar 60 universitas.
Selanjutnya, dibutuhkan regulasi yang mendukung bangkitnya industri TPT nasional. Revisi Permendag No.64/2017 menjadi Permendag No.77/2019 dinilai masih lebih memfasilitasi impor. Penyederhanaan perizinan dan penyediaan infrastruktur pendukung industri TPT juga sangat diperlukan produsen TPT domestik.
Sebagai contoh dengan memberikan diskon pembayaran listrik sebesar 10% untuk industri kecil menengah (IKM) produsen TPT dan memberikan subsidi ekspor bagi IKM sebesar 5-20% untuk produk TPT serta berbagai insentif lainnya baik fiskal maupun non fiskal.
Tekanan global yang menghimpit industri TPT Indonesia, order dari luar negeri berkurang sebesar 30%. Pasar ekspor produsen TPT Indonesia telah direbut produsen TPT negara lain. Mereka berharap bisa menjadi menjual produknya di dalam negeri, namun 45% dari pasar domestik pun telah dipenuhi produk TPT negara lain. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah harus membangkitkan industri TPT Indonesia kembali berjaya dan menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Esther Sri Astuti
Direktur Program Indef Dosen FEB Universitas Diponegoro
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024
Advertisement
Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement