Advertisement

OPINI: Kontroversi Tambang Pasir Laut

Muhamad Karim
Rabu, 07 Juni 2023 - 06:57 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Kontroversi Tambang Pasir Laut Ilustrasi tambang pasir laut

Advertisement

Presiden Jo­kowi telah me­­nerbitkan Per­aturan Pe­­me­rin­tah (PP) No. 26/2023 ten­­tang Pengelolaan Hasil Se­­di­mentasi di Laut, padahal se­jatinya melegalkan kembali pe­­nambangan dan ekspor pasir laut dari perairan Indo­­ne­sia.

Pasalnya, hasil sedimentasi yang dimanfaatkan dalam beleid itu adalah pasir laut dan material sedimen lainnya berupa lumpur. Peruntukkannya yaitu reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah dan prasarana oleh pelaku usaha; dan diekspor asal kebutuhan domestik terpenuhi (Pasal 9). Hingga kini memicu kontroversi berkepanjangan dan penolakan masyarakat sipil dan akademisi. Sayangnya, ragam ketentuan PP 26/2023 mengalami kontradiksi.

Advertisement

Pertama, tujuan pengelolaan hasil sedimentasi (i) menanggulangi sedimentasi agar menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut hingga kesehatan laut, dan (ii) mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan serta rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Kontradiksi dengan ketentuan adanya pengecualian dalam pengelolaan hasil sedimentasi di laut yaitu (i) daerah lingkungan kerja, (ii) kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus, (iii) wilayah izin usaha pertambangan, (iv) alur pelayaran; dan (v) zona inti kawasan konservasi. Terkecuali bagi kepentingan pengelolaan kawasan konservasi (Pasal 3).

Mengapa ada pengecualian? Padahal lokasi-lokasi ini tingkat sedimentasinya amat tinggi dan pastinya bukan pasir laut, melainkan lumpur. Kemudian, pengecualian zona kawasan konservasi tetapi terkecuali pengelolaannya juga.

Kontradiksi PP No. 27/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja No. 6/2023 yang membolehkan alihfungsi kawasan konvervasi pemanfataan strategis nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) juga berdalih “sedimentasi mengganggu” Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Kontradiksi dengan pasal 3 poin c yang mengecualikan alur pelayaran. Alur pelayaran mana?

Lantas, pengecualian lokasi izin tambang. Inilah sarangnya sedimentasi akibat buangan limbah tailing lewat sungai maupun perairan pesisir. Contoh, eks tambang emas Teluk Buyat di Minahasa Utara hingga kini belum pulih dampaknya. Makanya, mustahil meningkatkan daya dukung (carring capasity) dan menjamin keberlanjutan ekosistem laut hingga kesehatannya lewat PPL.

Kedua, tumpang tindih dan rebutan sumber daya pasir laut antarlembaga negara. Sejak 2002 PPL dilarang, tetapi KESDM berpedoman UU Mineral dan Batubara (Minerba) No. 3/2020 dan PP No 96/2021 pasal 2 ayat (d) menerbitkan izinnya, ditambah PP 81/2019 tentang PNBP-KESDM.

KESDM menyebutkan, total izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut berjumlah 59 termasuk perairan di atas 12 mil laut. Komposisinya: 12 IUP aktif berproduksi (eksplorasi), sejumlah 33 IUP lainnya statusnya berproduksi tetapi tidak aktif karena sepi pembeli. Sementara 15 IUP merupakan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) (cnbcindonesia.com 2022). Berarti PPL telah berjalan dan dikategorikan batuan (PP No. 96/2021), contohnya, pulau Rupat, Bengkalis, dan Supermode, Sulawesi Selatan yang menuai protes masyarakat adat dan nelayan.

Hal ini menjadi kontradiksi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkehendak mengelola izin PPL dan ekspornya, pasalnya termasuk PNBP-KKP No 85/2021. Masalahnya, sejak 2002, KKP terikat Kepres 33/2002 dan Permen 117/2003 yang melarang ekspor pasir laut yang diperkuat UU No 27/2007 dan revisinya UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) (Pasal 35 ayat 1). Agar memenuhi ambisinya, KKP menggunakan terminologi “hasil sedimentasi di laut”. Soalnya, PP No 96/2021 ver­­si KESDM, pasir laut salah satu jenis tambang golongan C.

Pemikiran yang menyatakan PPL tidak merusak lingkungan dan memulihkan ekosistem laut amat menyesatkan. Penambangannya legal maupun ilegal justru berdampak (Suroso, 2023): (i) memperparah abrasi dan erosi pantai, (ii) menurunkan kualitas lingkungan laut dan pesisirnya, (iii) meningkatkan pencemaran pantai, (iv) menurunnya kualitas air laut akibatnya tingginya kekeruhan; (v) merusak daerah pemijahan ikan (spawning ground), asuhan ikan (nursery ground) dan menjauhkan daerah penangkapan ikan; (fishing ground), (vi). menimbulkan turbulensi yang menyebabkan peningkatan padatan tersuspensi di dasar laut.

Kemudian, (vii) mempertinggi intensitas banjir rob, khususnya pada lokasi penambangnan pasir laut; (viii) merusak ekosistem terumbu karang dan faunanya; (ix) energi gelombang semakin tinggi ketika menerjang pesisir pantai akibat dasar lautnya dalam dan curam; (x) memicu konflik sosial;(xi) menenggelamkan pulau-pulau kecil. Sepanjang 1976—2002 telah tenggelam 26 pulau di kecil di Indonesia (Bisnis Indonesia, 2023).

Rangel-Buitrago et al (2023) mempertegas dampak langsung global PPL terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi hingga bertentangan hukum setempat serta menimbulkan korupsi. Bahkan, PPL juga kandungan lahirnya “mafia pasir” yang kerap memicu kekerasan akibat membela aktivitas ilegalnya.

Makanya, dibutuhkan paradigma baru yaitu pentingnya menghornati “hak pasir” (sand right). Mustahil membersihkan sedimentasi di hilir (pesisir pantai dan pulau kecil) tanpa mengintegrasikan pengelolaan hulu, daerah aliran sungai (DAS), beserta pastisipasi masyarakatnya supaya kontrovesi PP 26/2023 tak berlarut-larut, Jokowi sebaiknya mencabutnya sekalian melarang KESDM menerbitkan IUP-PPL.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Kilogram Bahan Baku Petasan Disita Polres Bantul

Bantul
| Kamis, 28 Maret 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement