Advertisement

OPINI: Mengurai Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Raymundo Patria Hayu Sasmita, Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 08 Juni 2023 - 06:37 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Mengurai Penerapan Pajak Karbon di Indonesia Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Dengan disahkannya Undang-undang (UU) No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah Indonesia menambah jenis pajak baru. Objek pajak baru dalam UU HPP ini adalah carbon tax atau pajak karbon.

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, yaitu atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Konsep dasar pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi dan bahan bakar fosil.

Advertisement

Pajak ini dirancang untuk mengubah perilaku tinggi emisi menjadi rendah emisi oleh perusahaan dan individu dalam proses produksi dan juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil.
Dunia Sepakat memerangi Pemanasan Global. Berlakunya pajak karbon ini sebagai bentuk andil Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas dunia internasional dalam memerangi dampak perubahan iklim global. Tentu saja, pajak karbon menjadi “hadiah” bagi pegiat isu lingkungan dan masyarakat yang sadar akan pentingnya kesehatan lingkungan.

Selain untuk menjawab isu perubahan lingkungan, pajak karbon juga mampu menjadi suatu instrumen penerimaan Negara. Menteri keuangan, Ibu Sri Mulyani, mengatakan bahwa pemungutan pajak untuk emisi karbon merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan pendapatan negara sembari melakukan transformasi.

Dalam UU HPP, disebut tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Sebenarnya tarif tersebut jauh lebih kecil dari usulan awal yaitu Rp75. Dengan tarif Rp30, Indonesia termasuk negara dengan tarif pajak karbon terendah di dunia.

Subjek Pajak Karbon

Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Barang yang mengandung karbon adalah barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon, seperti bubur kayu (pulp) dan kertas; semen, pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara, dan petrokimia.

Dengan kata lain, subjek pajak akan membayar pajak berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi atau berdasarkan jumlah emisi yang dilepaskan sesuai hasil pengukuran dan verifikasi. Dengan kebijakan ini, bahan bakar yang kandungan karbonnya tinggi, seperti batu bara, dapat dikenakan tarif pajak karbon yang lebih tinggi daripada gas alam.

Dengan model ini, suatu pembangkit listrik yang menggunakan batu bara akan membayar pajak karbon yang relatif tinggi, sedangkan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan tidak akan membayar pajak karbon karena emisi gas rumah kacanya nol.

Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon yang berasal antara lain dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah. Subjek pajak harus menghitung dan melaporkan jumlah emisi gas rumah kaca dan besaran pajak karbon yang harus dibayarkan di akhir tahun pajak.

Ketika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tentu di saat itu juga akan menghasilkan banyak emisi CO2. Pajak karbon merupakan salah satu instrumen untuk mencegah peningkatan emisi karbon atau CO2 di Indonesia. Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam mempersiapkan aturan pajak karbon, salah satunya adalah pergerakan ekonomi.

Rencana Penerapan

Pajak karbon rencananya diterapkan pada April 2022 lalu, bersamaan dengan diterapkannya perubahan tarif PPN. Namun, implementasi ini mengalami penundaan hingga tak menentu kapan akan benar-benar diterapkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan ditundanya penerapan pajak karbon di Indonesia dikarenakan situasi ekonomi yang masih rentan, serta adanya ancaman krisis pangan dan energi.

Perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat dilanda pandemi Covid-19 masih membutuhkan waktu untuk dapat berdiri tegak dan back on track. Insentif pajak Covid-19 yang sedikit demi sedikit dilonggarkan pun tentu akan memberikan dampak bagi iklim usaha masyarakat, ditambah lagi dengan penerapan tarif PPN 11%. Pelaksanaan pajak karbon diundur juga mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik.

Penerapan pajak karbon ini akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Menkeu mengatakan pemberlakuan pajak karbon nantinya akan turut berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, termasuk OJK. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu menjelaskan penundaan dilakukan dikarenakan pemerintah ingin menyiapkan aturan turunan yang konsisten dan baik.
Terakhir, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan penerapan pajak karbon akan mulai berlaku pada 2025. Meskipun penerapan pajak karbon ditunda, hal ini tidak menghentikan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beralih ke energi terbarukan.

Pajak karbon dapat menjadi rem dalam penggunaan energi kotor atau tidak terbarukan. Dana dari pajak karbon dapat digunakan untuk mendorong pengembangan dan penggunaan energi bersih atau terbarukan. Sebagaimana disebutkan di atas dan telah diatur dalam Peraturan Presiden No.55/2019, pemerintah berkomitmen untuk mempercepat peredaran kendaraan bermotor listrik di Indonesia demi menggantikan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Kedua pengaturan ini menjadi satu kesatuan program pemerintah yang bersamaan menjadi rencana jangka panjang menuju target net zero emission.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kabupaten Sleman Prioritaskan Pembangunan Pertanian

Sleman
| Kamis, 25 April 2024, 10:57 WIB

Advertisement

alt

The Tortured Poets Departement, Album Baru Taylor Swift Melampaui 1 Miliar Streaming di Spotify

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 09:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement