Advertisement
Mengelola Satria dengan Kualitas Paria
Advertisement
Sejak Lapan alias Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional terbentuk, November 1963, geliat keantariksaan di Indonesia tumbuh secara positif, termasuk memicu kelahiran pelbagai industri strategis nasional. Sayangnya, mulai 2019, hampir semua lembaga riset di negeri ini direorganisasi dan dimampatkan ke dalam wadah baru Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang cenderung menjadi lembaga administratif.
Tonggak keberhasilan Lapan yang pertama ditandai dengan peluncuran satelit pertama milik Indonesia, Satelit Palapa dari Kennedy Space Center milik NASA, Amerika Serikat (AS). Dengan diluncurkannya Satelit Palapa, Indonesia berhasil mencatatkan sejarah sebagai negara pertama di Asia dan ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik, setelah AS dan Kanada.
Advertisement
Satelit bekerja dengan cara uplink dan downlink. Uplink berarti transmisi yang dikirim dari Bumi ke satelit, sedangkan downlink yaitu transmisi dari satelit ke stasiun Bumi. Komunikasi satelit pada dasarnya berfungsi sebagai repeater di langit. Satelit memiliki fungsi untuk meneruskan sinyal komunikasi telepon serta sinyal tayangan televisi di seluruh dunia. Sebelum adanya satelit, sinyal televisi dan komunikasi hanya bisa diteruskan secara lurus, bahkan tidak mampu menembus gedung-gedung tinggi.
Usia satelit relatif singkat, yakni 15-20 tahun untuk satelit jenis Geo Stationery Orbit (GSO) yang berkecepatan sekitar 11.000 km/jam, 10-15 tahun untuk jenis Medium Earth Orbit (MEO) berkecepatan lebih dari 19.000 km/jam, serta 5-10 tahun untuk model satelit Low Earth Orbit (LEO) berkecepatan sekitar 27.000 km/jam. Artinya, setelah melewati batas waktu operasional, satelit tersebut tidak akan berfungsi kembali sehingga akan selalu membutuhkan pembaharuan.
Kenapa satelit tidak jatuh dan dapat terus mengorbit di sekitar Bumi? Karena mereka terkunci pada kecepatan yang cukup untuk melawan tarikan gravitasi orbitalnya. Jika bergerak terlalu cepat, satelit dapat terlempar keluar dari orbit Bumi. Sedangkan jika bergerak terlalu lambat, satelit buatan bisa tertarik gravitasi Bumi sehingga jatuh ke permukaan Bumi.
Satelit ke-18 Indonesia
Belum lama ini, Indonesia kembali mengorbitkan satelit yang ke-18 yakni Satria-1, yang merupakan satelit multifungsi yang dirancang khusus untuk koneksi Internet. Satelit buatan perusahaan Prancis, Thales Alenia Space, memakai platform SpaceBus NEO, yang diluncurkan menggunakan roket milik Elon Mask—SpaceX Falcon 9—tersebut mengorbit pada posisi 146 Bujur Timur yang berada di atas langit Papua, Senin, 19 Juni 2023 pukul 5.21 WIB silam
Durasi misi Satria direncanakan 15 tahun dengan kapasitas Satelit High Throughput. PT Satelit Nusantara Tiga merupakan operator satelit ke-18 Indonesia yang akan memikul fungsi memeratakan akses Internet, terutama keperluan pendidikan, kesehatan, layanan publik, TNI, Polri, dan masyarakat di wilayah 3T alias Tertinggal, Terdepan, dan Terluar. Manfaat bagi sektor pendidikan untuk Satria-1 adalah kemampuannya mendukung layanan Internet cepat dari sekolah tingkat SD, pesantren, hingga perguruan tinggi.
Berdasarkan data pelacak satelit N2YO, Indonesia sebelumnya memiliki 17 satelit yang mengorbit Bumi per 8 Mei 2023. Palapa menjadi satelit pertama Indonesia yang diluncurkan pada 9 Juli 1976 untuk meningkatkan sistem komunikasi seperti telegram, telepon, dan siaran televisi.
Sosok perancang Satria-1 ini layak dibanggakan. Dialah engineer Indonesia Adipratnia Satwika Asmady. Alumnus Eerospace Engineering California Polytechnic State University yang kini bekerja di PT PSN itu tidak lain adalah keponakan dari pakar satelit sekaligus pendiri PT PSN, Adi Rahman Adiwoso.
Biaya investasi pembuatan Satria-1 disebut-sebut membengkak, dari semula US$450 juta (sekitar Rp6,6 triliun) menjadi US$540 juta (sekitar Rp8 triliun). Besarnya angka investasi pembuatan Satria-1 ini memiliki persoalan rumit yang melatarbelakanginya.
Markup Biaya
Seperti halnya aneka proyek lainnya di negeri ini, Proyek Satria-1 ini rupanya tida sekinclong pemberitaannya melalui aneka media. Proyek ini dituding rawan penggelembungan (markup) biaya, akibat ketidaktahuan para aparat penyelenggara negara maupun auditor negara seputar berapa besar biaya sebenarnya.
Ekonom dan pakar kebijakan publik pada Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, memandang peluncuran Satelit Republik Indonesia 1 (Satria-1) dibayangi skeptisme publik akibat korupsi pembangunan infrastruktur BTS 4G yang diduga melibatkan Menkominfo Johnny G Plate. Satelit ini sukses diluncurkan dengan roket Falcon 9 dari SpaceX, berlokasi di fasilitas militer Florida, AS, Juni silam.
Achmad menyebutkan satelit tersebut memang proyek strategis nasional dan sayangnya dibiayai dari utang yang membebani keuangan negara di masa depan. “Porsi pinjaman sebesar US$431 juta atau setara dengan Rp 6,07 triliun,” ujar Achmad yang juga CEO Narasi Institute itu dalam blog pribadinya (https://achmadnurhidayat.id/2023/06/peluncuran-satelit-satria-1-dibayangi-kasus-korupsi-infrastruktur-internet-bts-4g)
Biaya pembuatan dan peluncuran satelit Satria-1 tercatat sebesar US$545 juta atau setara dengan Rp7,68 triliun. Angka tersebut diperoleh setelah dikurangi dengan porsi ekuitas bersumber dari APBN yang “hanya” US$114 juta atau setara dengan Rp1,61 triliun.
Pinjaman untuk membiayai Satria-1 ini memang didanai melalui utang dari berbagai konsorsium intenasional. Sebut saja, lembaga keuangan Prancis yaitu BPI France, Banco Santander, HSBC Continental Europe, dan The Korea Development Bank (KDB), dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). “Proyek Satria-1 rawan markup biaya karena banyak ketidaktahuan [para aparat] penyelenggara negara dan auditor negara seputar berapa biaya sebenarnya dari peluncuran satu satelit,” ucapnya.
Maka dari itu, Achmad menyarankan jaksa penyidik harus mengembangkan kasus korupsi dari BTS 4G ini. Apalagi pemenang tender Satelit Satria-1 merupakan enam entitas yang diumumkan pada 13 Januari 2021. Dari keenam pemenang tender tersebut, mereka akan bertindak sebagai sebagai kontraktor layanan penyediaan kapasitas satelit telekomunikasi dan layanan Internet untuk transformasi digital. Berdasarkan hasil tender, total kapasitas satelit dari enam pemenang sebesar lebih kurang 9 Gbps yang direncanakan untuk melayani lebih kurang 4.574 lokasi layanan akses Internet.
Satria-1 ditargetkan berfungsi secara bertahap mulai Januari 2024. Satelit ini diluncurkan untuk cita-cita yang cukup mulia, yakni menciptakan pemerataan pembangunan, terutama infrastruktur digital di berbagai pusat layanan publik di seluruh Indonesia.
Seorang rekan yang terlibat dalam proyek ini, mengutip studi terbaru yang dilakukan oleh badan layanan umum Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemenkominfo belum lama ini, memaparkan bahwa Satria-1 dengan kapasitas 150 Gbps akan menghadirkan layanan Internet di 50.000 titik fasilitas publik. Persoalannya adalah Proyek BAKTI yang lain yaitu infrastruktur BTS 4G di wilayah 3T, oleh Kejaksaan Agung, dinyatakan dikorupsi dan kini masih dalam penyidikan. Dari anggaran Rp10 triliun, ungkap Kejagung, yang digunakan hanya Rp2 triliun dan diduga dikorupsi Rp8 triliun.
“Dengan dugaan yang sama, besar kemungkinan proyek Satria-1 juga dijadikan bancaan karena proyek strategis tersebut dikelola oleh satuan kerja yang sama di Kominfo,” bisik rekan tadi.
Makanya, lanjut dia, satelit yang dibiayai dengan dana utang itu dikhawatirkan undercapacity alias tidak dapat digunakan secara optimal, mengingat fasilitas pendukung di darat tidak siap karena belum dibangun sesuai direncanakan.
Duh, negeriku, kenapa sering begini ya. Satria merupakan peranti komuniasi terkini berkualitas dunia, tapi dikelola oleh manajemen kalas gembel alias kelas paria.
Ahmad Djauhar
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement