Pre-Wed Berbuah Petaka Bromo
Advertisement
Pernah menyaksikan acara pembuatan foto pra-mantenan atau yang lebih dikenal publik sebagai pre-wed photo ‘dirayakan’ besar-besaran dengan membakar gunung? Ya, ini benar-benar terjadi pekan ini, namun beritanya mungkin tenggelam oleh hiruk-pikuk berita politik yang memang lebih ‘panas’ dari terbakarnya Bukit Teletubbies di Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS).
Disebut Bukit Teletubbies karena perbukitan di kawasan Sabana Watangan atau Pusung Tumpeng yang termasuk dalam area wisata Laut Pasir Gunung Bromo.Probolinggo, Jawa Timur, itu memiliki kontur mirip perbukitan yang terdapat pada film seri anak-anak Teletubbies dan sempat popular di sebuah kanal televisi nasional beberapa tahun silam. Lokasi tersebut cukup terkenal sebagai destinasi wisata karena instagrammable alias cakep untuk lokasi berfoto, baik swafoto/selfie ataupun groupie.
Advertisement
Wisata Gunung Bromo dapat diakses melalui empat pintu masuk. Pertama, dari Probolinggo, di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Kedua, dari Pasuruan di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari. Ketiga, dari Kabupaten Lumajang, dan keempat dari pintu masuk Jemplang, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Kawasan Gunung Bromo merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Timur. Pada 2022, tercatat jumlah kunjungan ke destinasi itu sebanyak 318.919 wisatawan, 310.418 pengunjung di antaranya merupakan wisatawan Nusantara dan 8.501 wisatawan asing.
Kawasan Bromo memiliki banyak spot yang disukai wisatawan, mulai dari kawah, danau, bukit, padang savana, lautan pasir, sampai puncak gunung untuk menikmati Matahari terbit dan terbenam.
Petaka kebakaran Bromo itu bermula pada tengah hari 6 September 2023, ketika sesi pengambilan foto pra-mantenan menggunakan Bukit Teletubbies sebagai latar belakang dan dilengkapi asap tebal dari flare sebagai feature foto yang diharapkan atistik nan eksotis tersebut. Malang tak dapat diolak, mujur tak dapat diraih, demikian bunyi pepatah. Dari lima buah flare yang disiapkan sebagai penghasil asap, keempatnya bekerja dengan baik, namun satu di antaranya mejen alias tidak hidup dan justru meletup dan menimbulkan percikan api.
Flare, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suar, memiliki arti nyala api (suluh, pelita) untuk tanda (isyarat). Suar juga berarti obor atau suluh untuk memikat ikan. Suar adalah salah satu bentuk piroteknik yang menghasilkan cahaya sangat terang atau panas tinggi tanpa menghasilkan ledakan. Umumnya, suar digunakan untuk memberi tanda pada pelaut ketika malam hari, penerangan, dan alat pertahanan militer.
BACA JUGA: Manajer Wedding Organizer Jadi Tersangka Kasus Kebakaran di Bromo
Akhir-akhir ini, suar sering digunakan untuk kepentingan selebrasi karena dianggap dapat menghasilkan efek cahaya merah terang yang eksotis dan menarik jika dijadikan sebagai latar belakang ketika berfoto-ria, kendati sejatinya peralatan itu semula lebih banyak dipakai untuk kepentingan militer.
Akibat insiden suar pra-mantenan tadi, hingga 9 September, api belum dapat dipadamkan. 50 hektare padang sabana pun berubah menjadi padang abu sepanjang mata memandang. Hal itu sempat direkam oleh seseorang menggunakan drone dan di-posting di kanal video populer Youtube.
Baru Dibuka Kembali
Balai Besar TNBTS dikabarkan telah beberapa kali menutup sejumlah akses wisata akibat kebakaran hutan dan lahan dalam sepekan terakhir. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kawasan Perum Perhutani yang berdekatan dengan TNBTS sudah tertangani. Wisata Bromo dari jalur Pasuruan baru dibuka kembali 5 September atau sehari sebelum petaka terkait foto pra-mantenan tadi.
Kondisi udara di kawasan wisata Bromo, menurut Balai Besar TNBTS, memburuk akibat banyaknya karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan kebakaran areal tersebut. Kebakaran imbas insiden prewedding itu jelas berpotensi melumpuhkan ekonomi setempat. Banyak entitas usaha yang terpaksa menutup kegiatan bisnis mereka selama bencana itu terjadi. Paparan asap dari kebakaran itu berpotensi menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di desa terdekat yang terdampak, yaitu Ngadisari dan Ngadirejo (di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo).
Si penanggung jawab acara foto pramantenan itu, oleh polisi, dijerat ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar. Bahkan, terhadap yang bersangkutan dapat pula dikenakan pasal berlapis yakni berkegiatan tanpa izin di hutan lindung. Bisa-bisa, ancaman hukumannya adalah pidan 10 tahun dan denda Rp10 miliar berdasarkan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Roy Suryo, fotografer senior anggota Himpunan Seni Foto Amatir, yang juga mantan dosen fotografi di UGM & ISI Jogja, mengecam tindakan gegabah yang dilakukan oleh wedding organizer, fotografer, maupun pasangan calon pengantin yang mengakibatkan kebakaran TNBTS itu.
Bagaimana tidak? Menurut tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi pada Pemerintahan SBY itu, di era teknologi yang sudah sangat maju di bidang fotografi saat ini, “tindakan yang mereka lakukan sangat ceroboh dan (maaf) bodoh. Sebenarnya, kejadian [musibah] tersebut tidak perlu terjadi sama sekali. Tidak perlu menggunakan perangkat pembuat asap dan api (flare) sungguhan yang berbahaya. Bahkan lebih ekstrem lagi kalau mau tidak perlu harus jauh-jauh berfoto di area konservasi tersebut.” ujarnya kepada saya melalui pesan teks berkaitan dengan kasus tersebut.
Kalau hanya ingin berfoto dengan latar belakang asap dan api, menurut dia, sebenarnya mereka cukup berfoto atau berpose saja di lokasi mana saja dan hasilnya diedit menggunakan komputer, dan saat ini terdapat aneka software untuk mengolah gambar. Bahkan kalau mau lebih praktis (dan murah) lagi, mereka cukup berfoto-foto di studio dengan latar belakang polos yang nantinya dapat "diganti" dengan foto nyala suar dari library foto yang tersedia secara melimpah.
Jangankan menggunakan api flare yang relatif serius dan besar, api kecil dari punting rokok saja dapat ‘melenyapkan’ sebuah hutan. Apalagi di gunung, biasanya, di musim kemarau panjang alias ketiga ngangkang seperti sekarang ini, rerumputan berubah seperti halnya jerami kering. Saat beroleh titik api kecil saja, itu sudah dapat memantik kebakaran padang rerumputan kering tersebut.
Lebih kasihan lagi tentunya adalah pasangan calon pengantin, yang karena aktivitas pre-wed mereka menimbukan bencana yang boleh dikatakan tidak kecil itu. Tentu saja tidak lucu kalau nanti mereka beranak-cucu dan menceritakan kisah pra-mantenan berbuah petaka tersebut yang tentu saja akan menjadi kenangan—atau bahkan mimpi—buruk sepanjang hayat.
Ahmad Djauhar
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kasus ASN Ikut Kampanye Pilkada Ditangani Bawaslu Bantul
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement