Advertisement

Promo November

Rempang Lagi Rempong, Pers Lokal Sakit Gigi?

Ahmad Djauhar
Senin, 25 September 2023 - 07:07 WIB
Arief Junianto
Rempang Lagi Rempong, Pers Lokal Sakit Gigi? Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Gambar Harian Jogja - Hengky Kurniawan

Advertisement

JOGJA—Berita tentang rencana pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau—yang mendapat penolakan dari warga setempat—memadati ruang pemberitaan media nasional bahkan internasional. Uniknya, pemberitaan oleh media lokal dianggap sepi. Setidaknya begitulah pandangan sejumlah ahli pers ketika membandingkan gegap-gempita dari isu tentang Rempang di banyak media nasional dan sunyi-senyapnya persoalan tersebut di sejumlah media lokal.

Mereka, yang merasa sebagai warga asli turun-temurun puak Melayu di Pulau Rempang, menolak mengosongkan lahan dan menyerahkan tanah kelahiran mereka kepada investor. Penolakan ini pun berimbas pada bentrokan antara aparat dan masyarakat. Puluhan orang terluka akibat bentrokan, baik dari Kepolisian maupun masyarakat pemrotes.

Advertisement

Terkait hal tersebut, Kepolisian pun menangkap puluhan orang anggota masyarakat yang berunjuk rasa di depan Kantor BP Batam pada Senin, 11 September 2023. Rentetan peristiwa yang terjadi pun disesalkan banyak pihak, karena pemerintah dinilai represif terhadap rakyat sendiri dan permisif kepada bangsa lain.

Warga Rempang tampaknya memilih bertahan, dan siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, kendati nyawa taruhannya. Pemerintah memberikan ultimatum bahwa pada 28 September mendatang, warga harus hengkang dari permukiman yang yang selama ini menjadi kampung mereka. Menanggapi ultimatum itu, Suardi, Juru  Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang, mengungkapkan warga setempat akan mempertahankan marwah kampung-kampung mereka, terlepas dari apa pun yang dilakukan pemerintah. Sebab, menurut dia, kampung-kampung itu didirikan oleh nenek moyang mereka sejak 1843.

Sejak 2002, masalah Rempang Galang sudah kontroversial. Lahan diberikan kepada PT Dewa Menara Wisata milik Tommy Winata. Warga protes, karena mendengar Rempang mau dibikin tempat judi dengan nama Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE). Lalu, lahan tersebut status quo karena dualisme Pemko Batam dan Otorita Batam. Nah, lahan yang sama mau dibangun pabrik kaca setelah BKPM menyetujui investor PT Megah Elok Graha yang notabene masih milik Tommy. Anehnya, ketika semua praktik judi di Batam diberantas ketika Kapolri dijabat oleh Sutanto pada 2004, lima tahun kemudian—atau pada 2009—Singapura justru membangun dua kasino di Sentosa dan Marina Bay.  

Media Lokal Sepi

“Provinsi Riau, terutama masyarakat Melayu, sedang mengalami masalah. Tetapi saya googling berita dari teman-teman media lokal kok sepi saja,” demikian ujar salah seorang rekan di kelompok obrolan khusus tentang Ahli Pers Dewan Pers. Celetukan itu kontan menyulut diskusi dan obrolan berkepanjangan mengenai kasus yang sedang merebak di Kawasan Batam-Rempang-Galang (Barelang) itu.

Padahal, ujar rekan tadi, populasi media lokal di kawasan itu terhitung luar biasa banyaknya. Hal itu diketahuinya persis saat dirinya sering ikut terlibat dalam kegiatan verifikasi faktual Dewan Pers. Selain itu, pada setiap kegiatan uji kompetensi wartawan UKW oleh Dewan Pers yang sudah berkali-kali diselenggarakan di kawasan itu memperkuat dugaan bahwa populasi media di Kepulauan Riau memang teramat banyak. Jadi, simpul rekan tadi, pers di Kepri sebenarnya sudah well equipped untuk dapat menyajikan informasi maupun kontrol sosial sesuai amanat Pasal 3 pada UU 40/1999 tentang Pers. Namun, fenomena minimnya pemberitaan tentang Kasus Rempang tersebut menyisakan tanda tanya besar.

BACA JUGA: Daftar Crazy Rich di Balik Proyek Rempang Eco City yang Munculkan Konflik

Ketika saya mengetuai Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers selama periode 2019-2022, catatan pada database kami meninjukkan bahwa jumlah media online di Riau maupun Kepri menunjukkan angka yang cukup fantastis, menduduki posisi kedua dan ketiga terbanyak setelah DKI Jakarta.

Fenomena ini juga menjadi pertanyaan rekan-rekan media di Medan, Sumut. Menurut salah seorang praktisi media di Medan, peristiwa begitu besar, memilukan, dan bersinggungan kuat dengan keadilan masyarakat justru minim pemberitaan. Apakah karena pengaruh kekuasaan—pemerintah daerah—begitu besar sehingga kawan-kawan praktisi media di provinsi yang dikenal memiliki jumlah media terbanyak itu diam?

“Kalau memang demikian, mungkin benar kata peneliti jurnalisme Thomas Hanitzh dari Jerman bahwa mayoritas wartawan di Indonesia sudah berpendidikan baik—sarjana, faham tentang jurnalisme, dan punya skill bagus di bidang ini—tapi ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah, apalagi yang memberikan dukungan (finansial) kuat, cenderung memilih diam. Sungguh memprihatinkan,” ujar rekan ahli pers dari Sumut itu.

Bila di-cross check ke survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) Riau dan Kepri tentang bagaimana pengaruh kekuasaan terhadap media, memang berkorelasi kuat. Karena, ‘kekuasaan’ dalam konteks ini berwujud iklan, kemitraan, kerja sama pencitraan, dan sebagainya. Uang memang telah menjadi segala-galanya, dan dapat melunturkan idealism jurnalis/lembaga media.

Berdasarkan hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers 2023, yang diselenggarakan Dewan Pers, Provinsi Kepri berada di peringkat 11 dari 34 provinsi di Indonesia dengan nilai 77,41 atau masuk dalam kategori “cukup bebas”. Meskipun mengalami peningkatan peringkat dari tahun lalu dan berada pada peringkat ke-12, nilai IKP Provinsi Kepri 2023 ini turun sekitar 3,54 poin dibandingkan dengan nilai IKP  2022 yang sebesar 80,95 poin. Provinsi Kepri pernah meraih skor tertinggi untuk Indeks Kemerdekaan Pers 2021, yakni dengan angka 83,30 poin, menjadikannya sebagai provinsi dengan kemerdekaan pers terbaik secara nasional.

Amanah profesi

Masalahnya, kini tidak sedikit media yang menggantungkan hidup dari dana pemerintah. Bukan dari iklan umum. Kehidupan sosial kekeluargaan juga menyebabkan orang media enggan terhadap sesamanya. Sebab banyak media juga ikut menikmati kondisi yang terjadi sekarang. Fakta pemberitaan dari pelbagai media di Kepulauan Riau dan Riau tentang kasus Rempang yang sangat minim itu jelas membuat orang-orang pers prihatin, karena media tidak menjalankan fungsi mereka dengan baik sebagaimana amanah profesi

Banyak situs web yang dikerjakan oleh ‘hanya’ dua orang, lalu mereka minta diverifikasi Dewan Pers. Untuk ‘menghidupi’ media tersebut, mereka mengandalkan dana pemerintah. Bagaimana media dapat jalankan fungsi sesuai amanah profesi. Mereka puas beroleh pemasukan sebulan Rp10 juta saja. Dari dana humas pemerintah daerah itulah, mereka hidup, sehingga tidak perlu repot-repot mengejar berita yang bersifat korektif, misalnya. Mereka juga tidak perlu pontang-panting melakukan reporting, karena semua produk pemberitaan bersumber dari release Pemda tadi. Berita pun hanya satu copy dibagi ramai-ramai.

Salah satu contoh ‘berita positif’ media di Kepri muncul tatkala kasus Rempang merebak, isinya kurang lebih mengabarkan bahwa seluruh Forkompinda—Forum Komunikasi Pimpinan Daerah—Provinsi Kepri menyepakati dilakukannya pembangunan eco city tersebut.

Sayangnya, kata seorang ahli pers setempat, peristiwa penggusuran dan perlawanan masyarakat cenderung dikesampingkan. Dampak terhadap pekarangan, kebun rakyat, dan perkuburan nyaris tidak pernah dibahas, padahal itu semua dapat menimbulkan gejolak baru di kemudian hari. ‘Berita positif’ tersebut bersumber dari acara jumpa pers gubernur dan wali kota, tidak dilengkapi peristiwa lapangan.

Wartawan penulis berita itu, tutur ahli pers yang lain, lebih doyan mengonsumsi informasi dari acara jumpa pers, tinggal hadir, catat sana-sini, dan tanya-tanya sekenanya, enggak berkeringat. Makanya, menurut dia, peristiwa besar di lapangan menjadi kurang menarik dan kurang diberitakan.

Sudah begitu, lanjutnya, si wartawan tadi minta gaji besar pula, dan tentu saja gaji ke-13 plus fasilitas asuransi BPJS, padahal pekerjaannya cuma ‘menaikkan’ press release. “Enak banget zaman sekarang jadi wartawan, enggak ada effort-nya sama sekali. Malah pemilik medianya yang ‘merana’ mikirin gimana supaya bisa tetap dapat menggaji karyawan agar tidak terkena semprit oleh “Dewan Pers dan/atau Disnaker.”

Seorang wartawan senior di daerah bercerita bahwa dalam sebuah jumpa pers dia pernah mengritik pemda terkait apa yang disampaikan oleh sang aparat. Dia bermaksud mencocokkan data dan realita di lapangan, yang terkadang tidak sesuai dengan fakta. Si wartawan yang merupakan koresponden media nasional tadi justru menghadapi konsekuensi bahwa dia malah dimusuhi oknum-oknum wartawan yang merupakan ‘piaraan’ Pemda. Mentang-mentang kepala daerah dari bendera—partai—kuning, lucunya sejumlah oknum wartawan manut ketika disuruh mengenakan kaos atau busana bernuansa kuning. 

Ahmad Djauhar

Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prakiraan Cuaca BMKG Jumat 22 November 2024: DIY Hujan Ringan Siang hingga Malam

Jogja
| Jum'at, 22 November 2024, 05:37 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement