Menjaga Harga Cabai Tetap Pedas
Advertisement
Cabai merupakan warna keseharian makanan Indonesia, dan masyarakat sangat akrab dengan cita rasa pedas dari komoditas tersebut. Hampir tiada hari tanpa makanan pedas yang menghiasi meja makan masyarakat Indonesia. Karenanya, ‘buah’ dari tanaman asal Amerika Tengah dan Selatan—yang dibudidayakan lebih dari 5.000 tahun silam—itu menjadi salah satu komoditas strategis bagi negeri ini.
Sejumlah menu makanan, kendati tidak pedas, tetap memakai cabai, misalnya pecel, gado-gado, soto, lalaban, balado, penyetan, hingga gorengan, atau bahkan tambahan sambal ketika kita makan sehari hari. Tak lengkap rasanya makan besar tanpa ada cabai. Bahkan, sejumlah orang dari belahan dunia lainnya sempat terheran-heran menyaksikan betapa masyarakat Indonesia—dan Asia Tenggara pada umumnya—begitu mencintai cabai, hingga makan buah sekalipun juga menggunakan cabai, misalnya rujak.
Advertisement
Cabai yang selama ini jadi salah satu bahan utama pencipta rasa pedas tersebut berasal dari tanaman genus Capsicum. Cabai memiliki berbagai jenis di antaranya cabai rawit (Capsicum frutescens), cabai merah dan cabai keriting (Capsicum annum L) serta cabai hijau (Capsicum annum var. annuum).
Gegara cabai, tingkat inflasi pernah terkerek. Misalnya, ketika harga cabai menyentuh angka Rp150.000 per kg beberapa tahun silam. Namun, tidak jarang pula harga komoditas pedas ini menyentuh titik nadirnya ketika ‘terjun bebas’ menjadi di bawah Rp10.000 per kg, sehingga sejumlah petani yang mangkel dan tidak puas dengan harga cabai yang mereka hasilkan tersebut pernah beberapa kali secara demonstratif ramai-ramai membuang begitu saja hasil budi daya mereka itu.
Namun, harga cabai yang pernah membubung tinggi itu ternyata menimbulkan dampak kurang baik pula. Di kawasan Sleman bagian utara, misalnya, pernah terjadi perampokan cabai di sawah. Karena harganya begitu menggiurkan, satu-dua orang nekat merampok tanaman yang dibudidayakan dengan tidak gampangan tersebut dengan cara membabat tanaman cabai di sawah, alih-alih merontokkan ‘buah’ cabainya.
Kalau sudah demikian, petani cabai hanya dapat gigit jari, karena tidak ada harapan memanen lagi. Padahal, selama dibudidayakan dengan baik, tanaman cabai—terutama jenis rawit—dapat dipanen hingga puluhan kali. Pengalaman saya membudidayakan cabai, dengan memberinya nutrisi dan membebaskannya dari berbagai jenis hama, sudah dipanen 40 kali pun masih terus berbuah.
BACA JUGA: Rempang Lagi Rempong, Pers Lokal Sakit Gigi?
Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara efektif untuk menjaga agar harga cabai tetap ‘pedas’ ketika pasar mengalami oversupply, seperti terjadi pertengahan Agustus lalu, ketika cabai dari pemanen dihargai kurang dari Rp10.000 per kg sebagai pedoman dasar agar pembudidaya tanaman itu mencapai keimpasan modal alias break-even point atas ongkos penanaman hingga pemanenannya.
Proses penting
Penanganan pasca-panen tanaman cabai pada dasarnya merupakan proses penting dalam menjaga kualitas dan nilai ekonomi dari hasil panen. Tanaman cabai, yang termasuk dalam keluarga tumbuhan Solanaceae, merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai jual tinggi di pasar lokal maupun internasional. Oleh karena itu, penting untuk memahami langkah-langkah yang benar dalam menangani pasca-panen tanaman cabai agar dapat mempertahankan kualitas dan nilai ekonomi dari hasil panen tersebut.
Langkah pertama dalam penanganan pasca-panen tanaman cabai adalah memilih waktu yang tepat untuk panen. Tanaman cabai sebaiknya dipanen saat buah sudah matang sepenuhnya. Buah yang sudah matang memiliki ukuran dan warna yang khas, serta mudah lepas dari tangkai. Panen pada saat yang tepat akan memastikan buah memiliki rasa pedas yang optimal dan dapat bertahan lebih lama setelah panen.
Setelah dipanen, cabai sebaiknya segera dibawa ke tempat pengolahan atau pusat distribusi. Penundaan proses ini dapat menyebabkan penurunan kualitas dan nilai ekonomi dari hasil panen. Penting juga untuk menjaga kebersihan pada proses transportasi agar buah tidak terkontaminasi oleh kotoran atau bahan lain yang dapat mempengaruhi kualitas buah.
Setelah sampai di tempat pengolahan atau pusat distribusi, langkah selanjutnya dalam penanganan pasca-panen cabai adalah pemisahan buah yang berkualitas dengan buah yang cacat atau tidak layak jual. Buah yang cacat atau tidak layak jual sebaiknya dipisahkan agar tidak mempengaruhi kualitas dan nilai ekonomi dari buah yang masih berkualitas. Pemisahan ini juga bisa dilakukan berdasarkan ukuran buah, di mana buah besar biasanya memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah kecil.
Setelah pemisahan, cabai dapat diolah lebih lanjut atau disimpan dalam kondisi yang tepat. Jika cabai akan diolah menjadi produk olahan seperti saus, sambal, atau bumbu masak lainnya, proses pengolahan harus dilakukan menggunakan bahan dan peralatan yang higienis. Kebersihan adalah faktor penting dalam menjaga kualitas produk olahan dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang bisa merusak produk.
Jika cabai akan disimpan, penting untuk menjaga suhu dan kelembapan yang tepat. Cabai sebaiknya disimpan pada suhu yang rendah, antara 10 hingga 13 derajat Celsius, dan kelembapan yang rendah, kisaran 70 hingga 75%. Suhu dan kelembapan yang tidak tepat dapat menyebabkan penurunan kualitas, kerusakan, dan pembusukan pada buah.
Pada sampai saatnya cabai akan dipasarkan, pastikan untuk menyortir kembali secara teliti. Ini akan membantu memastikan bahwa hanya buah yang berkualitas yang akan dikirim ke pasar. Proses penyortiran kembali tersebut juga dapat membantu meningkatkan nilai ekonomi dari hasil panen karena buah yang memiliki ukuran, warna, dan bentuk yang seragam cenderung memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Dalam rangka meningkatkan kualitas penanganan pasca-panen tanaman cabai, pelatihan dan penyuluhan kepada petani dan pelaku usaha pertanian sangat penting. Di sinilah perlunya negara hadir melalui petugas penyuluh pertanian untuk memberikan uluran tangan demi membantu mereka—para pembudidaya tanaman pangan dan/atau hortikultura—agar tetap memperoleh nilai ekonomi yang relatif tinggi. Kalau tidak demikian, masyarakat akan enggan menggeluti bidang pertanian.
Pengetahuan tentang teknik penanganan pasca-panen yang benar dapat membantu petani dan pelaku usaha pertanian mengoptimalkan kualitas dan nilai ekonomi dari hasil panen mereka. Selain itu, pengembangan infrastruktur pendukung seperti fasilitas pengolahan dan penyimpanan dengan suhu terkontrol juga perlu diperhatikan agar proses penanganan pasca-panen cabai dapat dilakukan dengan baik.
Ahmad Djauhar
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement