Advertisement

OPINI: Cemas Menuju Indonesia Emas

Eliza Mardian
Sabtu, 08 Juni 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI:  Cemas Menuju Indonesia Emas Eliza Mardian - JIBI

Advertisement

Pembatalan kenaikan UKT atau uang kuliah tunggal oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi terkesan seperti untuk meredam amukan mahasiswa dan masyarakat. Pembatalan kenaikan UKT ini hanya akan bersifat sementara, sebab peraturan dan revisi Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi yang semakin mengarah kepada komersialisasi pendidikan tidak di otak-atik.

Sewaktu-waktu UKT bisa naik lagi dan terkesan seperti bom waktu. Usut punya usut, pemberlakuan UKT ini bermula dari perubahan kebijakan menjadikan status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Kebijakan PTN-BH memberikan kewenangan kepada setiap perguruan tinggi negeri untuk mengelola sumber dayanya, termasuk penentuan biaya pendidikan. Kampus yang semula hanya berfokus pada proses pembelajaran dan pengembangan diri mahasiswa, kini dipaksakan harus pandai mencari pendanaan untuk menutupi biaya operasional.

Advertisement

Meski ada kebijakan mandatory spending untuk sektor pendidikan sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tetapi yang dialokasikan untuk perguruan tinggi hanya 0,6% dari APBN. Alokasi tersebut jauh di bawah rekomendasi UNESCO yang minimal 2%.

Kecilnya anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi mendorong setiap kampus harus mencari pendanaan lain, salah satunya lewat UKT. Besaran UKT setiap kampus negeri berbeda-beda, tergantung biaya operasional dan diversifikasi sumber pendapatan. Kampus-kampus yang kerap dijuluki “kampus favorit” memiliki biaya operasional yang relatif lebih mahal untuk menjaga eksistensi dan kualitas mutu pendidikan.

Kampus yang biaya operasional mahal dan tidak banyak melakukan diversifikasi pendapatan inilah yang akhirnya lebih banyak dibebankan kepada masyarakat lewat besaran UKT yang mahal. Lebih dari separuh biaya operasional kampus digunakan untuk perawatan dan membangun fasilitas kampus, gaji dosen dan lainnya. Hanya saja, kenaikan UKT ini tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan fasilitas kampus yang dirasakan mahasiswa dan juga penerimaan gaji para dosennya.

Mengacu pada hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus terhadap 1.200 dosen aktif pada kuartal I/2023, ditemukan bahwa mayoritas gaji dosen masih di bawah Rp3 juta, di mana 76%-nya memiliki pekerjaan sampingan.

Dosen dengan seabrek kewajibannya pun masih harus membagi sumber dayanya untuk mengerjakan pekerjaan sampingan. Dosen adalah ujung tombak dalam meningkatkan kualitas mahasiswa. Jika harus terus membagi fokus, apa yang akan terjadi dengan kualitas pendidikan ke depan?

Visi Emas 2045
Indonesia memiliki visi Emas 2045: Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Dalam dokumen Indonesia Emas 2045, tertuang beberapa sasaran utama yakni menjadi negara berpendapatan tinggi, tingkat kemiskinan menuju 0%, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, daya saing sumber daya manusia (SDM) meningkat dan penurunan GRK menuju net zero emission.

Di negara mana pun, SDM menjadi motor penggerak pembangunan. Arah kebijakan yang ditempuh untuk menghasilkan SDM berkualitas adalah peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan, pengembangan, sikap dan etos kerja, penguasaan teknologi, inovasi dan kreativitas serta kesehatan. Kualitas SDM saat ini akan menentukan Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi atau akan terjebak selamanya di negara berpendapatan menengah (middle income trap/MIT).

Indonesia bercita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi. Hanya saja sisa waktu bagi Indonesia untuk keluar dari MIT kurang lebih hanya 13 tahun lagi. Hal ini mengacu kepada studi Felipe (2012) menyebutkan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk bisa keluar dari MIT adalah 42 tahun, Indonesia sudah masuk middle income sejak 1996. Proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang mengenyam pendidikan tinggi pada 2023 saja hanya 10,15%.

Masih relatif sedikit. Dengan paradigma kebijakan pemerintah yang saat ini belum memprioritaskan pendidikan tinggi dan bahkan menganggap hanya sekadar pilihan, apakah cita-cita Indonesia emas optimistis tercapai? ataukah kita perlu harap-harap cemas? Semestinya kebijakan pemerintah sejalan dengan tujuannya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bukan malah sebaliknya.

Setiap jenjang pendidikan harus dipandang sama pentingnya. Jika pun pendidikan tinggi di gratiskan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, itu kurang lebih membutuhkan anggaran sekitar Rp73,5 triliun per tahun, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan anggaran program makan siang bergizi dan IKN. Memiliki pemimpin yang menganggap pendidikan adalah investasi, bukan sekadar beban biaya tentu berkah bagi Indonesia.

Eliza Mardian
Peneliti Core Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Musim Kemarau Petani di DIY Diminta Tetap Menanam Padi

Jogja
| Rabu, 26 Juni 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Film Dokumenter Karier Bermusik Penyanyi Rossa Segera Diluncurkan

Hiburan
| Selasa, 25 Juni 2024, 23:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement