Advertisement

Korsel Tak Bahagia, Bundir Jadi Solusi

Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar
Minggu, 13 Oktober 2024 - 21:57 WIB
Arief Junianto
Korsel Tak Bahagia, Bundir Jadi Solusi Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan

Advertisement

Jagad media sosial pekan lalu diramaikan topik tentang bangsa yang terbahagia dan paling tak bahagia. Dalam grafik yang dikutip dari release data terbaru Visualcapital.com itu, terpampang cukup mencolok nomor dua esktrem atas adalah Indonesia dan nomor dua ekstrem bawah adalah Korea Selatan.

Terdapat banyak indeks kebahagiaan dunia. Untuk yang terbaru itu, Indonesia bertengger di peringkat kedua di dunia setelah Britania Raya, sedangkan paling tak bahagia setelah Korsel ternyata India.

Advertisement

Visualcapital mengutip data 24 negara di dunia yang dianalisis oleh Ray Dalio, seorang investor dan pengusaha AS yang terkenal. Ia adalah pendiri dan Ketua Bridgewater Associates, salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia.

Sebelumnya, Ipsos Global mengungkapkan hasil survei mereka tentang Global Happiness 2024. Survei tersebut melibatkan 24,269 responden dari 30 negara, termasuk 500 responden di Indonesia. Ipsos Global Happiness Report merupakan laporan yang dirilis untuk memperingati Hari Kebahagiaan Internasional 20 Maret silam.

Ipsos Global adalah sebuah perusahaan riset pasar dan konsultasi multinasional yang berbasis di Paris, Prancis. Perusahaan ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dalam bidang riset pasar. Indonesia berada di peringkat ketiga dalam tingkat kebahagiaan global.

Data Ippos itu menunjukkan bahwa 82% masyarakat Indonesia merasa bahagia, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di Asia Tenggara, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand (79%), Malaysia (77%), dan Singapura (74%). Peningkatan yang signifikan ini terlihat dari perbandingan dengan tahun sebelumnya, di mana Indonesia naik sembilan peringkat dan persentase kebahagiannya meningkat sebesar 3% dari sebelumnya 79% di tahun 2023.

Sedangkan menurut World Happiness Report 2024—juga dalam rangka Hari Kebahagiaan Internasional—peringkat Indonesia kok berada di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang juga masuk dalam cakupan penelitian ya? World Happiness Report 2024 merupakan kerja bersama sejumlah peneliti dan ilmuwan kesejahteraan terkemuka di dunia. Pemeringkatan kebahagiaan dalam penelitian itu didukung oleh data dari Gallup World Poll yang mengukur evaluasi hidup rata-rata individu yang diambil selama tiga tahun dari 2021 hingga 2023.

Tapi tidak apa-apa. Perbedaan versi tersebut secara agregat menunjukkan bahwa Indonesia tetap masuk radar negara-negara yang berbahagia, dan peringkatnya relatif tinggi pula. Lalu, pertanyaannya adalah apa yang membuat orang Indonesia merasa bahagia?

Tingkat kebahagiaan ditentukan oleh beberapa variabel penting yang dianggap sebagai faktor-faktor kebahagiaan itu sendiri. Di antaranya adalah hubungan dengan keluarga atau teman, kesejahteraan, keuangan dan politik, sekolah, pekerjaan, dan kualitas hidup. Individu cenderung merasa sangat puas dalam hubungan dengan keluarga dan teman mereka, sementara tingkat kepuasan terendah ada di aspek politik dan ekonomi negara serta situasi keuangan pribadi mereka.

Kepuasan dalam hubungan keluarga, termasuk dengan orang tua, saudara, dan/atau sepupu, dinilai sangat penting bagi kebahagiaan masyarakat Indonesia, dengan tingkat kepuasan mencapai 89%, melampaui rata-rata global sebesar 76%. Dukungan emosional dari keluarga terdekat yaitu anak (94%) dan pasangan (88%) juga dapat memberikan rasa keamanan dan kenyamanan, sehingga berdampak positif pada kebahagiaan secara keseluruhan. Selain itu, hubungan dengan teman (85%) juga memainkan peran penting dalam tingkat kebahagiaan orang Indonesia.

Terlepas dari hubungan keluarga atau teman, kesehatan fisik juga turut menjadi penentu tingkat kebahagiaan seseorang, dengan sebagian besar masyarakat Indonesia (87%) merasa puas dengan kesehatan fisik mereka. Sementara itu, belakangan ini kesehatan mental juga menjadi faktor penting dalam menentukan kebahagiaan. Data menunjukkan bahwa 83% masyarakat Indonesia merasa puas dengan kesejahteraan kesehatan mental mereka.

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kepuasan pendidikan dan pekerjaan tertinggi, yakni sebanyak 85% masyarakat merasa puas dengan tingkat pendidikan dan dengan pekerjaan yang mereka miliki. Kebahagiaan orang Indonesia tercermin dari mudahnya warga negeri ini untuk tersenyum, termasuk ketika bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya ataupun ketika sedang menghadapi musibah sekalipun.

Hal itu ternyata sangat membekas bagi kalangan masyarakat internasional yang berkunjung ke negeri ini, bahwa orang Indonesia ramah karena hati mereka selalu merasa bahagia. Suasana hati yang bahagia itulah barangkali penyebab rendahnya tingkat bunuh diri di kalangan masyarakat Indonesia.

Tak Bahagia, Pilih Bundir?

Meskipun Korea Selatan dikenal sebagai negara maju dengan teknologi canggih dan ekonomi yang kuat, banyak survei menunjukkan tingkat kebahagiaan penduduknya relatif rendah. Terdapat beberapa faktor kompleks yang berkontribusi pada persepsi ini, misalnya tekanan pendidikan dan karier, jam kerja yang panjang, tekanan sosial yang tinggi, seabreg masalah kesehatan mental, dan faktor ekonomi.

Sistem pendidikan di Korea Selatan sangat kompetitif. Mulai usia dini, anak-anak dihadapkan pada tekanan untuk meraih nilai terbaik agar bisa masuk universitas bergengsi dan memperoleh pekerjaan yang stabil. Karena faktor ketatnya kompetisi tersebutlah, siswa di Korsel sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar, baik di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Selain itu, para orang tua di Korea Selatan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak mereka, sehingga menciptakan tekanan tambahan bagi para siswa.

Di luar berbagai faktor tadi, budaya kerja keras sangat melekat di kalangan masyarakat Korea Selatan. Banyak pekerja menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, bahkan seringkali melebihi batas waktu yang ditentukan. Akibat jam kerja yang panjang itu, banyak orang Korea Selatan memiliki waktu luang sangat terbatas untuk bersantai dan menikmati hidup.

Selain itu, masyarakat Korea Selatan sangat memperhatikan penampilan fisik. Standar kecantikan yang tinggi seringkali membuat orang merasa tidak percaya diri dan tertekan untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Media sosial dan budaya pop Korea Selatan sering kali menampilkan gaya hidup yang mewah dan sempurna. Hal ini dapat membuat orang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri.

Meskipun kehidupan masyarakat Korsel kelihatan ‘gemerlap’, ternyata itu hanya citra di layar kaca yang sering ditampilkan dalam drakor alias drama Korea dan background video klip K-Pop. Ternyata, layanan kesehatan mental di Korea Selatan masih terbatas, terutama di daerah perdesaan. Di era informasi, kesadaran akan kesehatan mental memang semakin meningkat, namun stigma negatif masih melekat pada masalah kesehatan mental di Korea Selatan. Banyak orang enggan mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah atau berbeda.

Hal lain yang sering luput dari pemberitaan adalah fakta tentang ketimpangan pendapatan yang tinggi sehingga menyebabkan perasaan tidak adil dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Faktor biaya hidup di kota-kota besar seperti Seoul juga sangat tinggi, terutama untuk perumahan dan pendidikan.

Memang tidak dapat digeneralisasi. Meskipun survei menunjukkan tren umum, tidak semua orang Korea Selatan merasa tidak bahagia. Ada banyak orang yang menjalani kehidupan yang bahagia dan memuaskan. Pemerintah Korea Selatan dan masyarakat secara umum semakin menyadari masalah kesehatan mental dan kesejahteraan. Upaya untuk mengurangi tekanan dan meningkatkan kualitas hidup, kabarnya, terus dilakukan.

Aspek ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh sebagian warga Korsel itulah yang dianggap mendasari tingginya angka bunuh diri di Negeri Ginseng tersebut. Meskipun tidak semua kasus bunuh diri memiliki satu penyebab tunggal, sejumlah faktor yang berkontribusi pada ketidakbahagiaan masyarakat Korea Selatan, seperti bahasan di atas, memang sangat erat kaitannya dengan tingginya angka bunuh diri. Ditambah lagi dengan rendahnya sikap religiusitas masyarakat di sana, maka tak heran kalau sejumlah penelitian menempatkan Korsel sebagai bangsa yang kurang atau bahkan tidak bahagia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mengatasi Sampah di Pasar, Pemkab Bantul Menyiapkan TPS Semntara di Angkruksari

Bantul
| Rabu, 16 Oktober 2024, 20:27 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Tebusan Dosa, Happy Salma: Kisahnya Saja Sudah Menyeramkan

Hiburan
| Selasa, 15 Oktober 2024, 11:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement