Advertisement

OPINI: Jangan Anggap Sepele Kelaikan Fungsi Gedung, Demi Keselamatan

Ar. Riri Chairiyah, S.T., M.Arch, Dosen Program Studi Arsitektur dari Lab.Health Technology and Development(HTD-Lab) Program Studi Arsitektur UNISA Yogyakarta
Selasa, 30 Desember 2025 - 12:27 WIB
Abdul Hamied Razak
OPINI: Jangan Anggap Sepele Kelaikan Fungsi Gedung, Demi Keselamatan Ar. Riri Chairiyah, S.T., M.Arch,Dosen Program Studi Arsitektur dari Lab.Health Technology and Development(HTD/Lab) Program Studi Arsitektur UNISA Yogyakarta

Advertisement

Serangkaian peristiwa kecelakaan bangunan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir menjadi peringatan keras bagi semua pihak. Kebakaran di dalam bangunan yang merenggut 22 nyawa, runtuhnya bangunan pondok pesantren yang menelan 61 hingga 67 korban jiwa, hingga kejadian gedung tiba-tiba ambruk menunjukkan satu fakta pahit: bangunan gedung yang seharusnya menjadi ruang aman bagi manusia justru dapat berubah menjadi jebakan maut.

Padahal, hampir 90% aktivitas manusia berlangsung di dalam bangunan gedung. Namun, masih banyak pemilik bangunan yang belum menempatkan aspek teknis keselamatan sebagai prioritas utama. Kebutuhan akan perencanaan bangunan yang menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi pengguna kerap dipandang sekadar formalitas administratif.

Advertisement

Regulasi sebenarnya telah jelas. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung beserta perubahannya, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun 2008, menegaskan kewajiban pemilik bangunan untuk memenuhi kelaikan fungsi bangunan gedung. Sayangnya, hingga kini kelaikan fungsi masih sering dipersepsikan sebagai beban regulasi, bukan sebagai instrumen perlindungan nyawa.

Salah satu aspek paling krusial dari kelaikan fungsi adalah keselamatan bangunan gedung. Banyak kegagalan sistem keselamatan yang sebenarnya dapat dicegah, tetapi kerap dianggap sepele hingga berujung tragedi saat bencana terjadi.

Pertama, masih banyak bangunan bertingkat yang hanya dilengkapi satu tangga umum terbuka. Tangga ini sering disalahartikan sebagai jalur evakuasi, padahal fungsi tangga darurat seharusnya dilengkapi dinding proteksi untuk mencegah api dan asap masuk. Dalam kondisi kebakaran, tangga umum justru menjadi jalur tercepat penyebaran asap dan api secara vertikal. Akibatnya, proses evakuasi menjadi sangat sulit. Penelitian Pitts (2001) bahkan menunjukkan 60–80% korban kebakaran meninggal akibat inhalasi asap, bukan karena luka bakar langsung.

Kedua, jumlah tangga darurat yang tidak memadai pada bangunan yang panjang, tinggi, dan berpenghuni padat berpotensi menimbulkan penumpukan massa saat evakuasi. Kondisi berdesakan ini dapat memicu korban jiwa, sebagaimana tercatat dalam Tragedi Victoria Hall pada 1883.

Ketiga, jalur evakuasi yang hanya mengandalkan satu pintu keluar di setiap lantai menciptakan risiko “deadlock” atau jalan buntu. Ketika jalur tersebut terhalang api atau runtuhan, penghuni tidak memiliki alternatif lain untuk menyelamatkan diri.

Keempat, keberadaan sistem proteksi aktif seperti detektor asap dan api menjadi kebutuhan mendesak. Perangkat ini, jika terhubung dengan alarm, mampu memberikan peringatan dini untuk evakuasi, serta mengaktifkan sprinkler secara otomatis guna menekan penyebaran api. Bangunan yang hanya mengandalkan APAR juga berisiko jika pengguna tidak memahami kesesuaian jenis alat pemadam dengan sumber api. Kesalahan penggunaan APAR bahkan dapat memperbesar nyala api, sebagaimana terjadi dalam kasus Tetra Drone pada 2025.

Kelima, titik kumpul evakuasi harus dirancang pada area terbuka yang aman dan mudah dikenali. Lokasinya tidak disarankan terlalu dekat dengan bangunan atau berada di area parkir aktif. Apabila keterbatasan lahan menjadi kendala, pemilik bangunan dapat berkolaborasi dengan lingkungan sekitar untuk menetapkan titik evakuasi kawasan bersama, lengkap dengan penanda yang jelas.

Berbagai persoalan tersebut menegaskan bahwa sistem keselamatan bangunan gedung bukan sekadar pemenuhan regulasi, melainkan jaminan awal keselamatan setiap penggunanya. Pemilik bangunan memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bangunan yang digunakan banyak orang benar-benar aman.

Di sisi lain, para profesional dan ahli teknik bangunan gedung juga dituntut memegang teguh kode etik profesi, bersikap profesional, dan bertanggung jawab penuh terhadap setiap keputusan teknis yang diambil. Keselamatan manusia tidak boleh dikompromikan oleh kelalaian perencanaan maupun kepentingan ekonomi semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Terminal Semin Disiapkan Jadi Rest Area Wisata Pintu Utara Gunungkidul

Terminal Semin Disiapkan Jadi Rest Area Wisata Pintu Utara Gunungkidul

Gunungkidul
| Selasa, 30 Desember 2025, 15:17 WIB

Advertisement

Kanye West Isyaratkan Album Baru Rilis 2026

Kanye West Isyaratkan Album Baru Rilis 2026

Hiburan
| Senin, 29 Desember 2025, 20:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement