Advertisement
OPINI: Hilirisasi dan Pembiayaan
Advertisement
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, ekonomi Indonesia ke depan akan berfokus pada hilirisasi komoditas, digitalisasi ekonomi, dan ekonomi hijau atau ramah lingkungan.
Hilirisasi komoditas artinya kita harus mampu mengurangi ketergantungan ekonomi dari sisi ekspor yang hanya berjualan komoditas dengan harga yang sangat fluktuatif, karena sangat ditentukan kekuatan pasar.
Advertisement
Digitalisasi ekonomi perlu diwujudkan utamanya akibat adanya tekanan pandemi yang mengubah pola bisnis untuk semakin mengurangi interaksi antarpelaku (peopleless), sehingga semua transaksi akan lebih banyak dilakukan melalui platform digital.
Adapun dengan ekonomi hijau Indonesia harus mampu melepaskan ketergantungan pada energi fosil. Sesuai rencana pada 2060 penggunaan batu bara dan energi fosil akan berkurang menjadi sekitar 15% saja dibandingkan dengan saat ini yang masih 85%.
Semua upaya tersebut akan membutuhkan investasi dan pembiayaan yang sangat besar. Sebagai contoh, ekspor bauksit harus dihentikan mulai 2022, timah batangan pada 2024, dan tembaga pada 2023. Kondisi tersebut harus dijawab dengan pembangunan smelter.
Di bidang ekonomi hijau, pada 2031 semua PLTU berbahan bakar batu bara harus dihentikan dan berganti dengan energi baru terbarukan (EBT). Diperlukan pula pabrik pengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai pengganti liquified petroleum gas (LPG) yang sekaligus akan menghemat belanja negara hingga Rp20 triliun, karena LPG yang sebagian masih diimpor harganya jauh lebih tinggi daripada harga DME.
Fokus hilirisasi saat ini adalah pada industri berbasis bahan tambang dan mineral (feronikel), migas dan batu bara, serta agro (sawit). Pada hilirisasi berbasis bahan tambang dan mineral difokuskan pada program pengembangan industri smelter.
Pada hilirisasi industri berbasis migas dan batu bara, sedang berlangsung pembangunan proyek gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Kutai Timur, dan Meulaboh, Aceh. Proyek-proyek ini diharapkan dapat mengolah batu bara menjadi methanol sebanyak 4,5 juta ton per tahun.
Penerapan hilirisasi industri berbasis agro berupa ekspor dari olahan sawit yang didominasi produk hilir cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Kontribusinya terhadap ekspor cukup signifikan yang ditunjukkan oleh rasio volume ekspor bahan baku (CPO) sebesar 9,27%, sedangkan produk hilirnya 90,73% (Agustus 2021).
Dari sisi ragam produk hilir juga meningkat dari hanya 54 jenis pada 2011 menjadi 168 jenis tahun ini. Hilirisasi komoditas kelapa sawit dan minyak kelapa sawit juga dikembangkan untuk pasar global dengan berbagai keperluan.
Salah satu pencapaian program pengembangan industri bahan bakar nabati yang terus dilaksanakan sepanjang 2020 melalui program mandatory biodiesel 30% (B30) telah menyerap sekitar 10,2 juta ton CPO sebagai bahan baku.
Selain itu juga berperan sebagai demand management, menyerap oversupply produksi CPO dunia, dan mempertahankan harga CPO dunia, termasuk menjaga harga beli tandan buah segar di tingkat petani tetap tinggi.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat menghemat devisa dari pengurangan impor BBM diesel sekitar Rp38,3 triliun, penciptaan nilai tambah CPO sebesar Rp13,19 triliun, dan pengurangan emisi gas rumah kaca setara CO2 sebesar 16,98 juta ton.
Nilai tersebut dapat semakin besar jika telah terbangun keterpaduan rantai pasok. Sebagai contoh, pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini lebih banyak diikuti pertumbuhan industri hulu seperti industri fatty acid, fatty alcohol, dan methyl ester. CPO belum dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilir seperti farmasi, kosmetik, surfactant, dan kimia dasar organik.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menetapkan target investasi pada 2022 sekitar Rp1.200 triliun. Target ini dibutuhkan sebagai salah satu pendorong tercapaianya pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4%—6%.
Lima kebijakan akan menjadi fokus. Pertama, promosi untuk meyakinkan investor bahwa Indonesia ramah terhadap investasi. Pemerintah telah menerbitkan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang diharapkan akan meningkatkan transparansi, efisiensi, kecepatan dan kepastian.
Kedua, menindaklanjuti upaya promosi investasi dengan membantu investor mengurus layanan perizinan. Sesuai PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pengurusan perizinan sudah harus berbasis elektronik via Online Single Submission (OSS).
Ketiga, membantu financial closing bila investor membutuhkan bantuan. Keempat, Layanan end to end kepada investor hingga investasi terlaksana. Kelima, membantu pendampingan sampai tahap produksi.
Dengan target investasi Rp1.200 triliun, apabila diasumsikan porsi pinjaman bank dan non bank adalah 65% maka peluang pembiayaan bagi bank dan non bank pada 2022 diperkirakan Rp780 triliun. Belum lagi memperhitungkan bila dalam investasi tersebut terdapat perusahaan asing yang membawa modal dari negaranya 100%. Alhasil, peluang bank dan non bank untuk memberikan pinjaman modal kerja akan lebih besar lagi.
Bank dan non bank akan lebih mudah membidik pembiayaan investasi apabila target pemerintah tersebut diselaraskan dengan rencana hilirisasi komoditas seperti diuraikan di atas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024
Advertisement
Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement