Advertisement
OPINI: Kepatuhan Pajak dan Rekonsiliasi Kala Pandemi
Advertisement
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja mengumumkan tercapainya target penerimaan pajak dalam realisasi sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu sebesar 103,9%, karena sampai dengan 31 Desember 2021 jumlah neto penerimaan pajak yang berhasil dihimpun mencapai Rp1.277,5 triliun melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp1.229,6 triliun.
Publik telah menantikan keberhasilan ini selama 12 tahun lamanya. Lebih dari satu dekade berbagai terobosan dilakukan untuk mendongkrak penerimaan pajak, termasuk reinventing policy, pengenaan pajak final atas penghasilan usaha kecil dan menengah, serta pengampunan pajak.
Advertisement
Namun hasil yang diharapkan tak kunjung datang, sehingga pemerintah terpaksa membiayai defisit belanja tahunan dengan pinjaman serta penerbitan surat utang baru yang jumlahnya secara akumulasi mencapai Rp6.711,5 triliun pada September 2021.
Terlebih, keberhasilan ini diraih di masa pandemi yang mengakibatkan perekonomian nasional sempat terperosok ke jurang resesi sampai dengan awal 2021, sehingga memberikan sinyal yang kuat kepada stakeholders bahwa proses pemulihan ekonomi nasional telah berjalan pada jalur yang benar.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan juga mengumumkan dimulainya Program Pengungkapan Sukarela (voluntary disclosure program) sejak 1 Januari 2022 hingga 6 bulan ke depan atau berakhir pada 30 Juni 2022.
Program yang diamanatkan oleh UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini memberikan kesempatan kedua kepada para wajib pajak peserta program Pengampunan Pajak yang lampau untuk melaporkan harta bersih yang luput dari pelaporan surat pernyataan harta serta membayar pajak penghasilan final dengan tarif bervariasi 6% sampai dengan 11%.
Program ini juga memberikan kesempatan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak ikut serta dalam program Pengampunan Pajak untuk melaporkan harta bersih yang belum pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan membayar pajak final 12% sampai dengan 18% demi menghindari sanksi yang lebih besar jika ditemukan oleh Ditjen Pajak di kemudian hari.
Jika diamati cermat, terdapat dua pesan moral utama yang ingin disampaikan oleh otoritas fiskal dalam memulai tahun yang baru. Pertama, tetap optimistis dan tangguh dalam menghadapi masa-masa sulit. Kedua, semangat rekonsiliasi dan gotong-royong dalam membiayai pemulihan ekonomi. Pandemi tentunya membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat secara multidimensi.
Dari sisi ekonomi, pandemi mengakibatkan perekonomian nasional sempat mengalami pertumbuhan negatif dan masuk ke lembah resesi sejak pertengahan 2000 hingga awal 2021. Dari sisi sosial, pandemi membuat jurang ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar.
Menurut Badan Pusat Statistik, rasio gini pada September 2020 mencapai 0,385 yang didorong oleh peningkatan kemiskinan akibat pemutusan hubungan kerja yang jumlahnya mencapai 2,76 juta jiwa. Namun, pandemi juga membuka peluang bagi sektor dan model ekonomi baru yang lebih efisien, inovatif, dan mendukung gaya hidup sehat.
Model bisnis berbasis virtual serta sharing, gig, dan circular economies mendapatkan ‘panggung’ untuk menjadi pemain masa depan yang mendisrupsi bisnis konvensional. Sektor-sektor inilah yang kemudian menjadi sumber pertumbuhan baru dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi. Dalam konteks ini pesan pertama menjadi sangat relevan.
Kegigihan para petugas pajak dalam mengumpulkan penerimaan sepanjang tahun yang dikombinasikan dengan reformasi kebijakan dan perbaikan sistem administrasi secara simultan dapat menjadi inspirasi bagi para pelaku ekonomi untuk terus melakukan inovasi dan menangkap peluang bisnis baru agar dapat bertahan di masa krisis.
Pesan kedua tak kalah penting. Pemberitaan yang masif tentang skema penggelapan pajak dalam dokumen Pandora Papers sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Publik yang saat ini sedang menderita akibat krisis Covid-19 tentunya tidak dapat menerima apabila uang pajak yang seharusnya dapat digunakan untuk pengadaan fasilitas kesehatan atau subsidi bahan pangan bagi masyarakat miskin malah dilarikan ke berbagai negara tax havens.
Oleh karenanya, diperlukan upaya rekonsiliasi untuk mengembalikan rasa keadilan di masyarakat sekaligus menyediakan ruang bagi semua pihak untuk bergotong-royong membayar ‘ongkos’ penanganan pandemi.
Krisis pada hakikatnya adalah modal sosial untuk melakukan perbaikan. Sejarawan Belanda Rutger Bregman (2019) mengatakan bahwa saat terjadi bencana atau krisis, manusia selalu memunculkan sisi terbaik dirinya.
Semoga semangat optimisme dan rekonsiliasi membuat khalayak menemukan sisi terbaik dalam membayar pajak serta semua aspek lain di kehidupan bernegara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024
Advertisement
Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement