Advertisement
OPINI: Risiko Penghapusan Migor Curah
Advertisement
Niat pemerintah untuk menghapuskan minyak goreng curah sangat prematur dan perlu dipertanyakan. Bahkan rencana tersebut boleh jadi sangat aneh secara ekonomi. Bagaimana tidak, pemerintah jelas-jelas tidak berhasil dalam mengendalikan gejolak harga minyak goreng tempo hari, baik minyak goreng curah maupun kemasan. Lalu tiba-tiba pemerintah ingin menghapus minyak goreng curah, yang terbukti sangat bermanfaat sebagai minyak goreng substitusi bagi masyarakat di saat harga minyak goreng kemasan dianggap terlalu tinggi.
Tentu alasan minyak goreng kemasan lebih higienis dibanding minyak goreng curah benar adanya dan tak perlu diperdebatkan. Tapi konteksnya tentu tidak sama, bahkan terkesan jauh panggang dari api. Jika alasan itu digunakan, pertanyaannya kemudian mengapa baru sekarang alasan tersebut dikedepankan, sementara minyak goreng curah sejak dulu sudah beredar dan sudah menjadi minyak goreng substitusi bagi kalangan menengah ke bawah di saat harga minyak goreng kemasan dianggap terlalu membebani daya beli. Bukankah menghapus minyak goreng curah menjadi sangat aneh?
Advertisement
Beberapa waktu belakangan saya melihat bahwa pemerintah tampaknya mulai terbiasa mengakali masyarakat dengan cara seperti ini. Tak ubahnya dengan kebijakan harga BBM, misalnya. Di saat harga Pertamax dinaikkan beberapa waktu lalu, pemerintah justru membatasi pembelian Pertalite. Bahkan kabarnya pemerintah dan Pertamina berniat untuk menghapus varian Pertalite alias secara tidak langsung memaksakan konsumsi varian pertama kepada semua konsumen. Logikanya, pemerintah berani menaikan harga tetapi menutup opsi bagi masyarakat untuk berpaling ke barang substitusinya (Pertalite dan minyak goreng curah), padahal pendapatan masyarakat cenderung konstan.
Bukankah logika semacam itu kemudian menjadi cukup “kejam.” Dengan latar itu, pemerintah berasumsi bahwa pendapatan masyarakat juga ikut naik di saat harga BBM dan minyak goreng naik (berganti ke kemasan), padahal faktanya tidak demikian. Faktanya pendapatan masyarakat konstan, bahkan cenderung tertekan dengan inflasi yang cukup tinggi 2 bulan belakangan, sehingga sangat rasional bagi sebagian besar masyarakat untuk menggantinya dengan barang substitusi, karena harganya relatif lebih murah tapi fungsinya sama.
Keanehan logika pemerintah bisa dirunut seperti berikut. Pertama, di saat masyarakat berteriak harga minyak goreng mahal, apalagi harga minyak goreng kemasan, maka sangat rasional jika masyarakat mencari alternatif barang substitusi yang lebih murah. Namun, justru pemerintah melenyapkan komoditas minyak goreng curah yang menjadi substitusinya. Kedua, dengan latar itu, artinya pemerintah secara halus memaksa masyarakat untuk menelan bulat-bulat minyak goreng kemasan sebagai satu-satunya alternatif yang ada untuk aktivitas menggoreng dengan janji bahwa harga minyak goreng kemasan akan stabil di angka tertentu.
Ketiga, penghapusan minyak goreng curah berarti hilangnya mekanisme kontrol harga minyak goreng kemasan. Jika minyak goreng curah dihapus, maka kedigdayaan minyak goreng kemasan akan bersifat absolut. Harga minyak goreng kemasan akan sulit untuk dikendalikan karena tidak memiliki alternatif pengganti yang akan mengimbangi kenaikan harganya suatu waktu nanti. Katakanlah pada suatu hari nanti harga minyak goreng kemasan mendadak naik, konsumen tidak bisa berpaling ke minyak goreng curah sebagai mekanisme untuk mengurangi permintaan (demand) minyak goreng kemasan agar harganya kembali normal. Dengan kata lain, jika harga minyak goreng kemasan melejit suatu waktu, konsumen mau tak mau harus menerimanya alias menelannya bulat-bulat.
Keempat, track record membuktikan bahwa pemerintah justru kewalahan, bahkan gagal, dalam menetapkan harga jual minyak goreng kemasan di harga Rp14.000. Buah dari penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) tempo hari terbukti hanya sebuah pernyataan menyerah dari seorang menteri perdagangan, buah yang sangat sulit diterima akal sehat. Artinya, tak ada jaminan bahwa harga yang disebut pemerintah, Rp14.000, adalah harga final yang akan sampai ke tangan masyarakat. Dengan lain perkataan, sangat jelas bahwa pengalaman tempo hari menunjukan bahwa memang tidak ada jaminan harga akan “standby” di level yang ditetapkan.
Jadi pemerintah tampaknya hanya menjual janji ini itu untuk melegitimasi penghapusan minyak goreng curah, lalu memberi prioritas pada minyak goreng kemasan dengan dalih faktor kesehatan tetapi melupakan dalih pendapatan masyarakat yang konstan di satu sisi, dan dalih mekanisme kontrol harga minyak goreng kemasan di waktu mendatang di sisi lain. Ujungnya, rakyat mau tak mau harus membelinya tanpa tedeng aling-aling, sembari tak ada jaminan bahwa harga yang dijanjikan pemerintah akan menjadi harga final di pasaran.
Yang jelas, secara ekonomi, penghapusan minyak goreng curah dan pemaksaan pembelian minyak goreng kemasan akan menambah pengeluaran masyarakat alias mengurangi daya beli masyarakat, yang sebenarnya sudah tergerus oleh inflasi tinggi selama 2 bulan belakangan. Jadi yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah membenahi tata kelola minyak goreng agar harganya stabil dan affordable, tetapi justru menyerahkannya kepada mekanisme pasar yang selama ini dikuasai oleh produsen-produsen minyak goreng kemasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
BEDAH BUKU: Warga Gamping Diajak Belajar Menjaga Keharmonisan Keluarga
Advertisement
Ndarboy Genk Rilis Sendiri, Ekspresi Cinta dengan Sentuhan Koplo Jatim
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement