Advertisement

OPINI: Quality War China & Produk Perikanan

Alexander Luankali, Pengamat Mutu dan Supply Chain Pangan/Produk Kelautan Perikanan
Selasa, 28 Juni 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Quality War China & Produk Perikanan Pekerja membersihkan dan memotong ikan tuna untuk diekspor di tempat pengolahan UD. Nagata Tuna, Banda Aceh, Aceh, Jumat (26/1/2018). - ANTARA/Irwansyah Putra

Advertisement

General Administration of Custom of the People’s Republic of China (GACC) memeriksa dan menemukan "jejak Covid" di kemasan luar produk perikanan Indonesia. GACC melakukan suspensi approval number eksportir perikanan Indonesia dan meminta Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sebagai Otoritas Indonesia untuk melaksanakan cooperation agreement 27 November 2019, memperbaiki sistem jaminan mutu dan sistem telusur.

Perbaikan teknis oleh KKP dan bantuan diplomasi KBRI-Beijing ditempuh. Pada Juni 2022 telah dilakukan pertemuan bilateral ke-14, tetapi belum signifikan memengaruhi kebijakan GACC karena 20 perusahaan belum bisa ekspor. Kondisi ini membuat pelaku perikanan nasional bertanya sebegitu hebohnya ‘jejak Covid’ atau ada maksud lain.

Advertisement

Pandemi 2019 membuat China memperketat kebijakan ekspor-impor produk makanan untuk memproteksi kesehatan penduduknya sebagai prioritas dan lumrah. Namun, tulisan ini menerangkan kebijakan China menggunakan ‘jejak Covid’ di permukaan kemasan luar produk perikanan merupakan quality war terhadap Indonesia. Quality war adalah melakukan perubahan dengan soft power, mentransformasikan manajemen bisnis dengan cara-cara fundamental (Jeremy Main,1994).

Quality war untuk pemulihan citra diri China di mata dunia sebagai new global leader yang peduli pada isu global safety concern, China bukan negara yang rentan dari isu bio-security (kasus covid), food safety (kasus melamin), dan produk pangan China mampu bersaing di global supply chain.

Quality war China terhadap Indonesia dievaluasi dari empat instrumen seperti tren neraca perdagangan ekspor-impor produk perikanan, kajian ilmiah, kajian manajemen dan kajian sensitivitas. Tren neraca perdagangan produk perikanan Indonesia ke seluruh dunia Chapter HS Code 03 tahun 2017—2021 mengalami kenaikan di 5 negara tertinggi pengimpor produk perikanan Indonesia, termasuk China. Meskipun masa Covid-19, tren perikanan Indonesia menunjukkan sentimen positif.

Sebaliknya, ekspor produk perikanan China ke tujuh negara tertinggi pengimpor produk perikanan China Chapter HS Code 03 mengalami tren menurun. Nilai ekspor produk perikanan China menunjukan sentimen negatif berkorelasi dengan upaya China memulihkan citranya bukan sebagai negara rentan isu safety concern.

China mengaitkan biosecurity concern (Covid-19) dengan food safety concern dituangkan dalam WHO-Joint Report Convened Global Study of Origins of SARS-CoV-2: China Part, Chapter Summary Para 18-19, P.8. China menyimpulkan SARS-CoV-2 bertahan dalam kondisi makanan beku, kemasan, dan rantai dingin, maka naiknya indeks kasus di China berasal dari rantai dingin produk beku yang diimpor China dari negara lain. Apakah ‘jejak Covid’ adalah isu food safety itu sendiri? Perlu ditelaah dengan kajian ilmiah.

Kajian Ilmiah memverifikasi informasi yang dituduhkan GACC tentang kebenaran risiko. Dokumen WHO/FAO Covid-19 and food safety: guidance for food businesses menjelaskan virus pernapasan tidak dapat ditransmisikan dari makanan dan kemasan makanan; multipikasi coronaviruses membutuhkan inang manusia dan binatang.

Hasil interview para eksportir perikanan meyakinkan proses penanganan produk oleh personel yang sehat, proses pengolahan mengimplementasi konsepsi HACCP, produk dikirim disertai health certificate. Waktu tempuh pengiriman produk ke China 7-10 hari, waktu detensi demurrage 21—27 hari.

Semua keterangan di atas menguatkan bahwa kemungkinan besar ‘jejak Covid’ di kemasan produk beku yang diimpor China, termasuk produk Indonesia, memiliki perjalanan lebih dari sekian hari, sehingga jejak tersebut bukan berasal dari Indonesia. Kemungkinan itu terkontaminasi dalam perjalanan atau saat penanganan di wilayah China.

Kejadian ini menyentuh sensitivity marwah kedaulatan Indonesia, sebab tindakan institusi border menggunakan China Law untuk yuridiksi China, tidak dapat memeriksa di dalam wilayah Indonesia.

Hal ini jangan disamakan dengan Indonesia yang diaudit oleh DG SANTE European Union berpayung pada EC Treaty sebagai international dan regional law yang mengikat dari satu negara ke negara-negara lain (third countries) sebagai pemasok produk perikanan ke pasar EU.

Indonesia perlu menghentikan quality war ini dengan mempertimbangkan tiga rekomendasi sebagai berikut. Pertama, bila pertemuan ke-15 tidak terjadi perubahan signifikan, segera bertarung diplomasi perdagangan multilateral regime GATT/ World Trade Organization (WTO) sebagai pilihan karena isu yang dipakai oleh China lemah secara kajian ilmiah, cenderung bersifat hambatan perdagangan dan intervensi Kedaulatan.

Kedua, penguatan sistem mutu dan komunikasi risiko.

Ketiga, membentuk tim ad hoc antarkementerian untuk alternatif pasar selain China.

Ketiga rekomendasi ini menunjukkan kepada dunia bahwa perdangangan internasional adalah mutual interest, mengedepankan tindakan ilmiah dan transparansi sesuai kaidah rezim WTO.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Kilogram Bahan Baku Petasan Disita Polres Bantul

Bantul
| Kamis, 28 Maret 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement