Advertisement

OPINI: Memaknai (Lagi) Subsidi BBM

Gustofan Mahmud & Intan Pratiwi, Analis Kebijakan Akuntansi Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI)
Senin, 04 Juli 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Memaknai (Lagi) Subsidi BBM Ilustrasi SPBU

Advertisement

Konflik Rusia-Ukraina yang berkepanjangan telah mengerek harga minyak mentah global hingga bertengger di atas US$100 per barel. Angka ini jauh melampaui harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang diasumsikan sebesar US$63 per barel di 2022.

Untuk menutup selisih antara asumsi dan realisasi harga minyak tersebut, pemerintah mengajukan revisi anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Khusus BBM, tambahan anggaran subsidi yang diusulkan adalah Rp72 triliun, dari semula hanya Rp11,3 triliun menjadi Rp83,3 triliun.

Advertisement

Membengkaknya anggaran subsidi BBM membuat was-was sejumlah pihak karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kemungkinan bisa jebol. Kekhawatiran tersebut masuk akal apabila subsidi yang dimaksud sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, dalam kasus BBM praktiknya sangatlah berbeda. Subsidi di sini adalah selisih antara harga minyak mentah yang terbentuk oleh mekanisme pasar internasional dengan Harga Jual Eceran (HJE) di Indonesia.

Ukuran 1 barel sama dengan 159 liter dan dengan mengacu pada kurs APBN 2022 (Rp14.350/US$), maka harga pokok pengadaan per liter BBM hanya Rp902,516 (10/159 x 14.350) atau dibulatkan menjadi Rp903 per liter. Artinya, dengan HJE BBM subsidi jenis Pertalite sebesar Rp7.650 per liter, pemerintah masih memiliki kelebihan uang tunai sebesar Rp6.747 per liter-nya.

Namun, alur berpikir pemerintah terkait harga pokok pengadaan BBM tidaklah demikian. Seolah-olah semua minyak mentah harus dibeli dari pasar internasional yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Pada saat tulisan ini dibuat, harganya sudah mencapai US$120 per barel.

Dengan alur logika tersebut, terbentuklah bensin Pertalite dengan harga pokok Rp12.000 per liter. Angka ini diperoleh atas dasar harga minyak mentah global Rp10.830 per liter (120/159 x 14.350) ditambah biaya LRT Rp903 per liter, sehingga diperoleh total Rp11.733 per liter atau dibulatkan menjadi Rp12.000 per liter.

Karena HJE Pertalite Rp7.650 per liter, pemerintah merasa rugi Rp4.350 per liter-nya (Rp12.000—Rp7.650). Dengan kata lain, pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang membeli bensin Pertalite sebesar Rp4.350 untuk setiap liternya. Angka ini agaknya sesuai dengan anggaran subsidi Pertalite yang disebutkan di banyak media yakni berada di kisaran Rp4.000—Rp4.500 per liter.

Penentuan harga pokok BBM yang dianut pemerintah sejatinya didasarkan pada teori replacement value. Teori ini mengatakan bahwa harga pokok suatu barang sama dengan harga beli yang berlaku di pasar. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk mempertahankan substansi barang meskipun harganya naik saat pembelian selanjutnya (substansialisme).

Sebagai contoh, tahun ini konsumsi minyak mentah diperkirakan mencapai 1,2 juta barel per hari (bph). Namun, pemerintah menargetkan lifting minyak 2022 hanya 703.000 bph, sehingga masih ada selisih 500.000 bph lagi yang harus diimpor. Berhubung harga minyak di pasar internasional melejit, dana yang diperlukan jadi membukit.

Untungnya, pemerintah sudah mengantisipasinya dengan mengambil harga pasar minyak internasional sebagai harga pokok BBM. Dengan demikian, berapa pun harga yang berlaku di pasar, pemerintah tetap dapat mempertahankan substansi dalam bentuk impor BBM 500.000 bph, dan karenanya kebutuhan konsumsi minyak 1,2 juta bph tetap terpenuhi.

Kalaupun tujuannya seperti itu, tidak relevan mengatakan bahwa APBN jebol. Tidak relevan juga merasa rugi karena telah menggelontorkan dana Rp4.350 per liter untuk subsidi BBM. Toh dengan HJE Pertalite Rp7.650 per liter, pemerintah masih bisa menikmati laba senilai Rp6.747 per liter.

Dengan kata lain, kerugian yang diderita oleh pemerintah karena telah menyubsidi BBM bukanlah dalam bentuk uang tunai yang hilang (real cash money loss), melainkan dalam bentuk kesempatan yang hilang untuk memperoleh untung dengan memasang HJE Pertalite di atas harga pasar minyak global (opportunity loss).

Untuk memastikan validitas tesis di atas, kita dapat memeriksa kembali APBN 2022 sebagai contoh. Di situ sejatinya tercatat bahwa pemerintah masih menerima surplus BBM senilai Rp121,914 triliun meskipun telah menganggarkan subsidi BBM senilai Rp11,3 triliun (anggaran awal).

Perinciannya adalah sebagai berikut. Pemerintah memperoleh dua angka pemasukan uang tunai dari BBM, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar Rp47,3135 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Migas senilai Rp85,9006 triliun, sehingga diperoleh total penerimaan dari BBM sejumlah Rp133,214 triliun. Dikurang dengan pengeluaran subsidi BBM senilai Rp11,3 triliun, maka menghasilkan kelebihan uang tunai/surplus sekitar Rp121,9141 triliun.

Jika dikurang dengan anggaran subsidi BBM Rp83,3 triliun sebagaimana yang diusulkan pemerintah, surplusnya pun masih sekitar Rp49,914 triliun. Belum lagi, kalau kita menghitung peningkatan PPh dan PNBP Migas akibat kenaikan harga minyak mentah, tentu surplus yang diperoleh menjadi lebih besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Catat! Ini Jadwal dan Lokasi SIM Keliling di Jogja Sabtu 27 April 2024

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 05:17 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement