Advertisement

OPINI: Populisme Ekologi

Delly Ferdian
Senin, 27 Maret 2023 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Populisme Ekologi

Advertisement

Selama ini banyak orang dipaksa untuk percaya bahwa isu yang berkaitan dengan ekologi tidak populis. Singkat cerita, isu ini dianggap tidak menarik karena tidak berpotensi secara elektoral untuk membawa kemenangan pada pemilihan umum (pemilu).

Padahal, isu ini kian lama makin menjadi perbincangan publik karena sifatnya yang begitu mendesak.

Advertisement

Faktanya, isu ekologi seperti halnya isu hutan, perubahan iklim, sampah dan banyak lainnya, sangat dekat dengan masyarakat. Lihat saja, masyarakat sangat akrab dengan urusan sampah, cuaca ekstrem, urusan banjir, kebakaran hutan, polusi udara, dan aneka persoalan ekologi lainnya.

Fakta menarik lain dari hal ini adalah nyatanya anak muda sangat peduli serta sadar akan persoalan ekologi. Hasil riset Yayasan Indonesia Cerah bersama Indikator Politik (2021) menyebutkan bahwa mayoritas atau 82% responden yakni anak muda (Gen-Z dan milenial) di Indonesia memiliki kesadaran atas perubahan iklim bahkan khawatir terhadap isu kerusakan lingkungan.

Terlebih lagi, jumlah anak muda yang terbilang besar yakni mendekati 60% atau sekitar 190 juta warga dari jumlah seluruh peserta pemilu pada Pemilu 2024 (prediksi CSIS), maka dapat disimpulkan jika isu ekologi sangat populis. Bayangkan, jika 190 juta pemilih dapat digaet dengan pemanfaatan isu ekologi, maka pemenang pemilu sudah pasti dapat ditentukan yakni kandidat yang berani menggunakan gagasan-gagasan ekologi. Ini tentu menguntungkan secara elektoral.

Walaupun dapat dikatakan sebagai isu yang populis, tidak serta merta membuat isu ekologi mudah untuk diaplikasikan sebagai bahan kampanye atau bahkan menjadi janji-janji politik para kandidat. Hal ini tentu menimbang banyaknya isu ekologi yang sangat sensitif sehingga dianggap dapat menjadi bumerang bagi kandidat yang menggunakannya.

Misalnya saja, terkait dengan laporan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebut bahwa sedikitnya ada aliran dana Rp1 triliun hasil kejahatan lingkungan ke anggota partai politik untuk pembiayaan Pemilu 2024, maka jika tidak matang menggunakan isu ekologi, isu ini lantas akan berbalik menyerang penggunanya.

Niatnya ingin menang dengan isu ekologi, malah jadinya merugi secara elektoral. Di mata para politisi, isu ekologi punya risiko yang besar walaupun keuntungan elektoralnya juga sangat sebanding. Namun, siapa politisi yang berani ambil risiko besar?

Kematangan dalam membuat narasi politik kampanye menjadi hal utama agar bisa menggunakan isu ekologi untuk menjaring suara pemilih apalagi bagi pemilih muda yang melek akan hal ini.

Satu hal yang tidak dapat disangkal adalah persoalan ekologi akan makin krusial untuk diperhatikan. Hal ini menimbang krisis ekologi adalah salah satu ancaman krisis iklim yang juga makin mengkhawatirkan.

Lantaran makin menjadi isu penting global saat ini, sorotan publik juga akan mengarah pada komitmen politik akan upaya mengatasi krisis ekologi. Alhasil, untuk menjaring suara pemilih maka kandidat politik butuh kematangan dari gagasan ekologi yang dibawanya.

Presiden terpilih Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva membuktikan kalau isu ekologi mampu membawanya menang dalam pemilihan. Dalam kampanyenya, Lula da Silva berulang kali menegaskan akan berusaha menekan deforestasi hutan Amazon juga mengatasi perubahan iklim dunia. Lula juga berjanji untuk membangun aliansi yang membantu negara berkembang seperti Indonesia dan Kongo memelihara hutan dan menekan negara maju untuk memberi dana pelestarian.

Lula da Silva memanfaatkan kelemahan Pemerintahan Bolsonaro yang dinilai lalai dalam menyelamatkan hutan Amazon. Alhasil, dengan memanfaatkan kondisi tersebut, Silva dalam setiap kampanyenya hadir sebagai tokoh yang menawarkan gagasan politik ekologis yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya saat ini.

STRATEGI POLITIK

Belajar dari kemenangan Lula da Silva, kandidat politik di Indonesia juga bisa menggunakan strategi politik ekologi yang sama untuk memenangi pemilihan. Hal ini tentu menimbang Brazil dan Indonesia memiliki kekuatan yang sama yakni sama-sama memiliki luasan hutan terbesar di dunia.

Untuk menang dengan isu ekologi, hendaknya partai politik bertransformasi menjadi partai politik yang bergagasan hijau. Hal ini bukan berarti partai politik meruntuhkan ideologinya lalu menjadi partai hijau, melainkan partai politik dapat berpedoman pada kepentingan ekologi dalam membuat arahan kebijakan politik partai. Misal, ketika membuat kebijakan tentang ekonomi, maka narasi yang digunakan adalah membangun ekonomi dengan memperhatikan nilai ekologi untuk menjaga keseimbangan.

Sedangkan politisi secara individu perlu untuk memasukkan isu-isu ekologi dalam bahan kampanyenya, misalnya, memperhatikan persoalan sampah, banjir, kerusakan lingkungan, perĀ­ubahan iklim, dan banyak aksi lainnya yang begitu dekat dengan masyarakat.

Namun, esensi dari populisme ekologi dalam kontestasi pemilihan umum adalah komitmen dan integritas untuk menjalankan setiap janji politik yang disampaikan kepada rakyat. Berjanji untuk menyelamatkan dan peduli terhadap lingkungan, benar-benar janji yang manis, tetapi akan menjadi pahit jika janji hanya tinggal janji.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Imunisasi Serentak IBI DIY untuk Memperluas Cakupan

Jogja
| Selasa, 23 April 2024, 12:47 WIB

Advertisement

alt

Queen of Tears Jadi Drama Korea yang Paling Banyak Dibicarakan Pekan Ini

Hiburan
| Senin, 22 April 2024, 11:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement