Advertisement
OPINI: Puasa dan Syariah Islam di Indonesia
Advertisement
Kurang dari setahun, Pemilu 2024 akan digelar Rabu, 14 Februari 2024. Pada tanggal itu, umat Kristen akan melakukan ibadah Rabu Abu yang menandai perjalanan iman empat puluh hari masa sengsara Yesus Kristus sebelum perayaan hari Jumat Agung dan Paskah. Dalam ibadah itu, pastor atau pendeta memberikan tanda salib pada dahi dari setiap umat sebagai peringatan kefanaan manusia. Manusia berasal dari debu dan kembali kepada debu. Tahun ini, Paskah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan bulan suci Ramadan.
Ada beberapa prediksi yang telah beredar dalam masyarakat tentang akan terjadi kekacauan apabila Pemilu 2024 tidak bisa dilakukan. Putusan PN Jakarta Pusat mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satu yang dikabulkan adalah tuntutan menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut akan terjadi krisis konstitusional terkait dengan masa jabatan pejabat publik yang diisi melalui pemilu. Misalnya masa jabatan presiden/wakil dan kabinetnya yang akan selesai pada 20 Oktober 2024.
Advertisement
Sebagai seorang Kristiani, mengakhiri masa sengsara di mana umat Kristen juga berpuasa di minggu suci, saya ingin merefleksikan bagaimana kami semua bisa terhindar dari malapetaka itu yang harus dihadapi bukan sebagai takdir.
Kami semua sebagai rakyat Indonesia harus menghadapinya, bukan hanya masyarakat muslim yang nasionalis dan muslim yang Islamiah sebagai pendukung partai-partai berbasis syariah Islam.
Umat nonmuslim pun berperan dalam menjaga pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut saya, selain pentingnya dasar hukum dalam memastikan Pemilu 2024 adalah dengan mengerti bahwa syariah Islam sebagai cita-cita dalam berpolitik di Indonesia sudah dilakukan untuk melindungi hak-hak beragama umat muslim maupun nonmuslim.
Ketakutan yang beredar baik di kalangan muslim maupun nonmuslim, Indonesia akan berubah menjadi negara Islam apabila partai-partai Islamiah menang pemilu.
R.E Elson menulis tentang Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945, menyebutkan bahwa Muhammad Hatta ketika memfasilitasi kepentingan umat Kristen dalam perumusan ayat pertama dari Pancasila mengatakan bahwa konstitusi negara harus mengakomodasikan hak-hak seluruh warga negara.
Penerapan syariah Islam dapat dilakukan dalam turunan hukum negara. Baru sesudah gerakan reformasi, pandangan hukum dari Muhammad Hatta terpenuhi. Di bawah naungan dari UUD 1945 dan perundangan otonomi daerah, setiap daerah bisa menetapkan peraturan daerah yang berbasis syariah Islam.
Evaluasi 20 tahun gerakan reformasi, ada perubahan dalam pandangan tentang penerapan syariah Islam terutama untuk memastikan bahwa hak-hak kesetaraan dari warga negara muslim secara gender maupun nonmuslim terwakili. Kesetaraan itu bukan karena mereka minoritas sehingga mesti dilindungi oleh warga mayoritas. Jadi warga nonmuslim dalam konsep tata kenegaraan Indonesia bukan “dzimmi”.
Pemikiran hukum Muhammad Hatta bisa dilihat dalam persiapan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia.
Koperasi Griya Jati Rasa beranggota pelaku UMKM yang saya fasilitasi di Yogyakarta terdiri dari nonmuslim pun diberikan kesempatan untuk terlibat dalam menyediakan produk-produk yang dikonsumsikan oleh warga muslim.
Bahkan kaum muslim dan muslimah terlibat menjadi penyelia halal dalam memastikan kemurnian produk halal dari seorang pelaku usaha nonmuslim.
Upaya umat Muslim Indonesia untuk menjalankan syariah Islam tidak berbeda dengan umat-umat lain yang juga dibimbing dalam ajaran agama mewujudkan keselamatan kepada sesama dan alam semesta. Dukungan umat nonmuslim untuk Indonesia menjadi pusat industri halal harus disebarkan ke luar Indonesia. Karena pandangan politik dunia yang masih membangun prasangka dan struktur ekonomi yang tidak adil diarahkan kepada negara berekonomi syariah Islam.
Kebijakan industri halal ini mestinya juga memberikan inspirasi bagi penerapan nilai syariah Islam dalam produk hukum lainnya yang diproduksi oleh pemerintah maupun legislator.
Sebelum pandemi Covid-19, Universitas Gadjah Mada Press menerbitkan buku yang sangat penting dalam sejarah umat muslim dunia sesudah nabi Muhammad SAW wafat. Buku yang aslinya diterbitkan dalam bahasa Arab dan Inggris ini diterjemahkan dan diperluaskan dengan melibatkan pemikir muslim dan Kristen di Indonesia untuk menulis bersama dalam buku yang disebut Kata Bersama antara muslim dan Kristen.
Buku yang aslinya adalah undangan 138 tokoh muslim dunia menanggapi pidato dari Paus Benediktus XVI di Regensburg, 13 September 2006 bisa menguatkan pandangan syariah Islam dari tokoh-tokoh bangsa, bahwa ajaran Islam dan Kristen adalah kasih kepada Allah dan kepada sesama. Ajaran ini memungkinkan umat muslim dan kristiani dipanggil untuk memikirkan tentang pandangan umat lain di Indonesia yang secara bersama-sama berkomitmen untuk mengasihi Tuhan dan sesama dalam membangun bangsa dan negara.
Farsijana Rohny Cootje,
Antropolog, teolog, dan aktivis akar rumput; Dosen Magister Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024
Advertisement
Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement