Advertisement

Literasi Bisnis dan Nasib Buku di Era Digital

Wahyu T. Setyobudi
Sabtu, 20 Mei 2023 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
Literasi Bisnis dan Nasib Buku di Era Digital Wahyu T. Setyobudi - JIBI

Advertisement

Entah kapan terakhir kali saya membeli buku, sulit mencari jejak memorinya. Mungkin sudah lebih dari tiga atau lima tahun sejak terakhir berkunjung ke toko buku. Dulu, semasa kuliah, berkunjung ke toko buku merupakan aktivitas mingguan yang ditunggu-tunggu.

Belanja buku, atau bahkan jika hanya sekadar berjalan menyusuri selasar rak pajangan, selalu membawa kebahagiaan tersendiri. Jajaran beraneka sampul buku yang berjejeran adalah festival ide yang menghibur nalar sederhana kita waktu itu. Bau buku yang khas, memompa dopamine untuk para pembaca yang memang haus inspirasi dan hiburan.

Advertisement

Namun, lain zaman, lain pula ceritanya. Aura perbukuan tampaknya telah jauh dari anak muda masa kini. Bagi mereka, mode pencarian informasi utama tidak lagi melalui buku. Serbuan teknologi digital melalui gim dan konten-konten visual bergerak yang lebih memanjakan indra, telah menggerus peran buku. Buku dianggap monoton, tidak menarik, dan kuno. Minat dan kemampuan membaca pun kian hari makin rendah. Anak dan remaja cenderung menjadi headline reader, dan kurang pendalaman atas suatu masalah. Maka tak heran jika laman Kemenkominfo pernah menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan kedua paling bawah terkait minat baca, menyitir studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 61 negara.

Fakta ini diperparah dengan serbuan teknologi digital berbasis kecerdasan buatan yang makin gencar. Googling menjadi insting standar dalam mencari informasi, semenatara ChatGPT hadir dengan gegap gempita memeriahkan ruang belajar dan ruang kerja kita.

Personalisasi yang makin canggih, mendistraksi fokus belajar dengan menawarkan konten-konten belanja, hobi, dan gosip yang menggoda. Keberadaan berbagai teknologi ini tentu tidak salah, bahkan menjadi tuntutan zaman. Ledakan informasi, serta cepatnya muncul gagasan baru, memerlukan wahana serap yang juga mesti cepat dan efektif. Internet menawarkan kecepatan dan keakuratan menjawab problem spesifik yang sedang dicari oleh pembacanya.

Namun, di sisi lain, bak timbangan yang selalu mencari titik tengah, kecepatan itu harus dibayar dengan kedalaman. Seperti yang disampaikan oleh Tom Nichols dalam bukunya The Death Of Expertise, bahwa semakin hari kemampuan manusia untuk mendalami satu masalah dari berbagai perspektif semakin berkurang. Terbiasa berpikir instan, dan tidak terdorong untuk mengevaluasi suatu topik secara holistik.

Ruang kosong inilah yang justru menjadi sisi baik dari buku. Pembaca dibawa untuk sabar, mengikuti pola pikir penulis setahap demi setahap, lembar demi lembar. Aliran logika ditangkap dan dikritisi. Imajinasi bisa melayang, menciptakan dunia baru yang hanya bisa dimasuki oleh pikiran merdeka pembaca. Oleh sebab itu, sebagian besar film yang diangkat dari buku terasa lebih hambar. Karena sebaik apa pun produksi film, tak mampu mengalahkan imaji yang tak berbatas.

Dalam dunia bisnis, dilema lemahnya minat baca juga menjadi akar dari rendahnya literasi bisnis, yang dimaknai sebagai pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menciptakan model bisnis, mengelola aspek keuangan, operasi, pemasaran, dan sumber daya manusia untuk pengembangan bisnis. Literasi bisnis ini sangat menentukan kinerja saat ini, dan trajectory pengembangan di masa depan. Maka tak aneh jika kita kemudian menyimpulkan bahwa tingginya literasi bisnis, akan berdampak positif pada kinerja usahanya.

Literasi dan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Makin baik proses belajar akan mendorong literasi bisnis, demikian pula literasi bisnis yang tinggi akan memudahkan penyerapan pengetahuan baru. Pembelajaran didapat dari pengamatan atas pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, atau teori dan opini yang dituliskan dalam buku.

Di Hari Buku Nasional yang jatuh , 17 Mei 2023 lalu, baiknya kita melakukan otokritik. Seberapa banyak kita telah mengakrabi buku, menganggapnya sebagai teman bincang yang menyuntikkan ide-ide segar, membuka wawasan seluas horison dunia?. Atau buku terserak lusuh di dalam almari, tidak mendapat waktu kunjungan kita. Jika banyak problem yang tidak mampu diatasi, konflik yang tidak kunjung bisa kita urai, jangan-jangan jawabannya ada dekat di ujung jari.

Sebagai pemimpin usaha atau unit bisnis, peningkatan literasi bisnis melalui buku juga perlu kita dorong terus. Berbagai program perlu disiapkan untuk membuat karyawan menyenangi aktivitas membaca.

Langkah Tepat
Beberapa inspirasi langkah-langkah tepat yang bisa diusung perusahaan antara lain adalah, pertama, mengampanyekan manfaat membaca buku. Sebuah komunikasi internal terpadu untuk membangun sense of urgency mengenai mengapa penting meningkatkan pengetahuan secara mendalam. Program ini tak lain untuk membangun fondasi dan makna dalam aktivitas membaca. Kedua, memasukkan membaca buku sebagai bagian dari key performance indicators (KPI), khususnya pada aspek pengembangan diri. Karyawan dapat diminta untuk memilih buku-buku yang menarik sekaligus relevan dengan bidang kerjanya. Kemudian diwajibkan untuk membaca, meringkas, menganalisis, dan memberikan inovasi terkait aktivitasnya sehari-hari. Peran atasan sebagai pemandu dan teman diskusi menjadi kritikal dan akan menentukan kedalaman pemahaman atas konsep yang dibahas.

Ketiga, yang tak kalah pentingnya adalah budaya berbagi. Hasil pendalaman materi melalui bacaan, perlu dibagikan kepada rekan lain dalam satu tim, atau antar-tim di unit kerja lainnya. Aktivitas ini bisa berlaras ganda, memiliki multi dampak kepada invividu maupun tim.

Peningkatan pengetahuan yang juga berdampak pada bertambahnya self confidence melalui kemampuan public speaking. Inilah yang dalam bahasa Peter Senge disebut sebagai pendekatan team learning. Yang terakhir, untuk bisa memperluas wawasan meliputi apa yang aktual dan praktik-praktik terbaik di luar perusahaan, perlu juga sesekali didatangkan pakar dari eksternal untuk membedah buku tertentu. Insight baru ini merupakan bahan bakar dari inovasi, yang juga jantung bagi pertumbuhan. 

Wahyu T. Setyobudi
Dosen Global Business Marketing Binus Business School

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Sambut Pemudik dan Wisatawan Libur Lebaran 2024, Begini Persiapan Pemkab Gunungkidul

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 11:47 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement