Advertisement

Promo November

OPINI: Investasi ESG di Indonesia

Ryan N Kiryanto
Senin, 17 Juli 2023 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Investasi ESG di Indonesia Ryan N Kiryanto - JIBI

Advertisement

Pertanyaan pembuka yang relevan adalah bagaimana investasi ESG (environmental, social, governance) dapat melayani pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan lebih baik?

Maklum, batas waktu untuk memenuhi target tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030 makin dekat, tetapi banyak negara tidak berada di jalur tepat untuk mencapainya. Kesenjangan antara rencana anggaran dengan peluang ketersediaan dana yang bisa dihimpun untuk membiayai SDGs terus melebar.

Advertisement

Biaya untuk memenuhi target SDGs tepat waktu telah meningkat mendekati 135 triliun dolar AS, dan jumlah ini terus bertambah. Di sinilah sektor swasta (non-government sector) dapat membantu menutup kesenjangan pembiayaan, tepat pada saat munculnya investasi berbasis lingkungan, sosial, dan tata Kelola (ESG) yang secara teoritis dapat membantu.

Terdapat fakta yang memprihatinkan, dimana 2022 lalu adalah tahun kemunduran bagi ESG karena implementasinya yang tidak optimal dengan beberapa hambatan sebagai penyebabnya. Maka, agar ESG dapat membantu negara-negara mencapai target SDGs, perlu ada lebih banyak kejelasan dan kesepakatan dari para pihak yang terlibat, antara lain, pemerintah, regulator atau otoritas, pelaku sektor swasta, perguruan tinggi, lembaga think tank, dan juga BUMN.

Investasi Berkelanjutan

Memobilisasi modal sektor swasta untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan prioritas pada ESG adalah masuk akal mengingat kebutuhan pembiayaan yang besar. Secara global, dengan 500 manajer aset teratas yang memegang sebesar 131,7 triliun dolar AS dalam asset under management (AUM) dan kapitalisasi pasar gabungan dari sepuluh perusahaan global teratas yang mencapai lebih dari US$10 triliun pada 2022, sektor swasta berada pada posisi terdepan untuk berkontribusi.

Selain itu, investasi berkelanjutan, sebagian besar dalam energi terbarukan, adalah tema investasi asing langsung (FDI) dengan pertumbuhan tercepat pada 2021—dengan 70% diarahkan ke negara-negara berkembang. Hingga 2021, pasar keuangan juga mengalami pergeseran besar menuju investasi berkelanjutan, dengan penerbitan dana ESG meningkat sebesar 53% menjadi US$ 2,7 triliun pada 2021, sementara pasar obligasi hijau (green bond), sosial (social bond), dan berkelanjutan (sustainable bond) meningkat US$ 1 triliun, sehingga mampu meraih 10% pangsa pasar utang global.

Perusahaan yang berorientasi pada keberkelanjutan juga mengeluarkan US$ 48 miliar dalam ekuitas baru, sementara pinjaman berkelanjutan mencapai kisaran US$ 717 miliar dalam bentuk pinjaman. Misalnya, di Indonesia, terdapat sebuah anak perusahaan BUMN yang bergerak di sektor energi geotermal ditengarai ingin menerbitkan obligasi hijau untuk membantu mengembangkan bisnisnya tetapi juga memfasilitasi transisi ke energi bersih.

Ada juga perusahaan food and beverage berskala global telah mengalihkan dana untuk mendukung proyek iklim dan air di negara-negara berkembang dalam upaya melestarikan atau mengisi kembali sebanyak 50% dari air yang mereka habiskan melalui kegiatan operasional mereka, termasuk rantai pasokan pertanian.

Hambatan Berinvestasi ESG

Keuangan berkelanjutan menghadapi tantangan pada 2022 lalu karena meningkatnya pengawasan peraturan global dan standar ESG yang berbeda yang menyebabkan penurunan investasi ESG. Kantor berita Reuters melaporkan bahwa pada 2022 investasi berkelanjutan berbalik arah untuk pertama kalinya dalam satu dekade, dengan penjualan obligasi berkelanjutan turun 30% dan obligasi hijau turun 23%. Secara keseluruhan, kinerja ESG menurun hampir 9%, karena investasi internasional dalam ESG, terutama perubahan iklim, menurun.

Beberapa sekuritas berlabel ESG diturunkan peringkatnya karena kriteria yang bertentangan dengan lembaga-lembaga pemeringkat utama, sementara persyaratan yang bertentangan atau terlalu preskriptif menyebabkan penurunan dukungan untuk proposal pemegang saham terkait ESG dan penarikan beberapa anggota industri keuangan dari aliansi ESG regional.

Dengan lebih dari 600 penyedia data ESG secara global, tidak mengherankan kurangnya konsistensi dan standardisasi membuat investor bingung tentang risiko dan imbalan sebenarnya dari investasi berkelanjutan.
Peraturan global untuk ESG juga telah memperumit investasi berkelanjutan lintas batas, yang berpotensi mengarah pada peningkatan biaya kepatuhan dan pengurangan jumlah dana berkelanjutan yang memenuhi syarat untuk perusahaan.

Meskipun kerangka kerja di yurisdiksi Eropa, Inggris, dan AS yang mengatur ESG memiliki tujuan yang sama, namun pendekatan terhadap investasi berkelanjutan bervariasi di antara peraturan yurisdiksi dan otoritas atau badan pengawas, terutama seputar pelabelan dan pelaporan.

Langkah ke Depan

Untuk membantu memenuhi SDGs, Bank Dunia baru-baru ini mengumumkan pembuatan peta jalan yang berfokus pada tiga tujuan utama, termasuk meningkatkan pendanaan sektor swasta, meningkatkan keterlibatan dan analisis tingkat negara, dan membangun taksonomi global untuk instrumen investasi berkelanjutan.

Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa “SDGs akan gagal tanpa sektor swasta, karena aktor sektor swasta dapat berinvestasi dalam transisi yang diperlukan untuk mempercepat kemajuan pembangunan dan mengembalikan SDGs ke jalurnya. Sektor swasta tidak hanya memiliki kapasitas keuangan, tetapi juga komitmen, untuk mendorong investasi berkelanjutan, meskipun masih dihadapkan pada beberapa hambatan.

IMF dan Bank Dunia memiliki peluang luar biasa untuk mengatasi tantangan investasi ESG saat ini. Peta jalan Bank Dunia adalah langkah pertama yang penting, tetapi lebih banyak akan diperlukan untuk memastikan standar dan data yang konsisten secara global untuk ESG.

Dengan banyak perusahaan telah memanfaatkan data IMF dan Bank Dunia, maka menciptakan kerangka kerja formal akan mendorong perluasan dan peningkatan pembiayaan ESG sektor swasta untuk daerah-daerah yang sangat membutuhkan pendanaan alternatif di luar sektor perbankan. 

Ryan N Kiryanto
Ekonom dan Co-Founder Institute of Social, Economic and Digital/ISED

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jelang Pemungutan Suara Pilkada, Fraksi Gerindra DIY Serukan Tindakan Tegas Praktik Money Politik

Jogja
| Minggu, 24 November 2024, 14:27 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement