Advertisement

OPINI: Kejar Swasembada Gabah, Lupa Mengurus Beras

Khudori
Jum'at, 17 Mei 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Kejar Swasembada Gabah, Lupa Mengurus Beras Khudori - JIBI

Advertisement

Dari sisi ekonomi, usaha tani padi masih menjanjikan. Selain menguntungkan (BPS, 2018), usaha tani padi juga berdaya saing kuat (Agustian, 2014). Masalah terjadi setelah padi atau gabah berubah jadi beras. Berbagai kajian menunjukkan, daya saing beras terus menurun yang menandai beras Indonesia tak punya daya saing di pasar dunia (Azahari dan Hadiutomo, 2013; Syahyuti, 2020).

Ini terjadi karena selama puluhan tahun pemerintah lebih fokus swasembada gabah, tapi melupakan beras. Industri padi/gabah dan industri beras sejatinya saling terkait erat dan saling memperkuat. Jika salah satu di antaranya melemah, kurang atau tak diurus, keduanya akan melemah atau tak terurus.

Advertisement

Harga beras, kualitas beras dan produktivitas beras tidak hanya ditentukan tingkat produktivitas (gabah kering giling/hektare) dan efisiensi pada tingkat usaha tani, tapi juga ditentukan oleh efisiensi pada tahap proses pengeringan gabah dan penggilingan padi. Dua tahapan pascapanen ini amat menentukan kualitas dan produktivitas beras, serta efisiensi yang dicerminkan pada harga beras.

Sialnya, di dua tahapan pascapanen itu kita amat lemah. Ini terkait dominasi penggilingan padi kecil dan sederhana. Merujuk data BPS (2020), jumlah penggilingan padi mencapai 169.789 unit, turun 12.000 unit dari 2012 (182.199 unit). Dari 169.000 unit, 95% tergolong penggilingan kecil, disusul penggilingan menengah 44,32% dan besar 0,62%.

Penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi (Sawit, 2014; Patiwiri, 2006). Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi.

Dominasi penggilingan padi kecil adalah hasil kebijakan era 1970-an, ketika konsumen masih memperlakukan beras sebagai komoditas homogen. Berbagai atribut kualitas pada beras, seperti butir patah, rasa, dan kepulenan, belum jadi isu penting. Masalahnya, lebih dua dekade terakhir telah terjadi perubahan drastis pada preferensi konsumen beras.

Dominasi penggilingan padi kecil menghambat upaya menekan kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan, rendemen giling rendah, dan mempersulit peningkatan kualitas beras. Akibatnya, biaya produksi membengkak dan harga beras mahal. By product (sekam, katul, menir) juga kurang bermutu. Ini membuat industri hilir perberasan, seperti rice bran oil, semen, dan kertas, tidak berkembang seperti di negara-negara lain di ASEAN.

Tidak Efisien
Betapa tidak efisiennya pascapanen padi di Indonesia tampak dari kehilangan saat panen dan pascapanen sebesar 10,82%. Rendemen giling hanya 62,74%, jauh lebih rendah dari Thailand (69,1%) dan Vietnam (66,6%) (Patiwiri, 2016). Potensi kehilangan hasil padi mulai dari proses pengeringan, penggilingan, dan rendemen giling pada 2018—2019 sebesar 2,75 juta ton gabah kering giling (GKG) per tahun atau setara Rp15,4 triliun (Sawit dan Burhanuddin, 2020).

Kehilangan tertinggi terjadi pada tahap pengeringan: Rp5,3 triliun. Ini karena penggilingan padi kecil rerata tak punya dryer. Dari total kehilangan itu, 80% atau Rp12,32 triliun disumbang oleh penggilingan padi kecil. Bila input usaha tani, seperti pupuk, pestisida, BBM, benih, dan pekerja juga dihitung maka kehilangan 2,75 juta ton GKG pemborosan yang luar biasa. Kalau potensi kehilangan hasil padi ini bisa ditekan, katakanlah 50%, ada peluang tambahan 0,86 juta ton beras. Apalagi bila bisa ditekan 100% akan ada tambahan 1,72 juta ton beras.

Tambahan ini akan mengurangi tekanan dari sisi produksi, yang mestinya naik terus dari tahun ke tahun. Masalahnya, kenaikan produksi itu tidak terjadi. Periode 2018—2023, produksi beras terus menurun dengan laju -1,82%. Pada 2018 produksi beras mencapai 33,94 juta ton, pada 2023 turun jadi 31,1 juta ton. Di sisi lain, konsumsi naik dari 29,56 juta ton jadi 30,62 juta ton. Akhirnya, surplus beras tahunan pun turun drastis.

Ke depan, pembiaran industri penggilingan seperti selama ini harus diakhiri. Respons pemerintah yang menganggap industri penggilingan saat ini baik-baik saja amat disayangkan. Ke depan, pertama, industri penggilingan padi harus diperkuat. Caranya, penggilingan padi kecil diintegrasikan dengan penggilingan padi besar agar tak saling kanibal, terutama dalam berebut bahan baku gabah. Penggilingan besar, terutama milik Bulog, diatur agar bisa menerima beras pecah kulit penggilingan kecil sebagai bahan baku. Penggilingan kecil diberi insentif agar melengkapi diri dengan alat/mesin sehingga mampu menghasilkan beras pecah kulit berkualitas. Kedua, cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog harus diubah dari kualitas medium ke premium. Ini akan memberi insentif penggilingan untuk memproduksi beras berkualitas dengan mengganti alat/mesin. 

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Bukan September, Bus Sekolah di Bantul Dipastikan Mengaspal Mulai 17 Agustus 2024

Bantul
| Sabtu, 27 Juli 2024, 09:27 WIB

Advertisement

alt

Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Jadi Pasangan Suami Istri, Presiden Jokowi Jadi Saksi Akad Nikah

Hiburan
| Jum'at, 26 Juli 2024, 18:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement