Advertisement

Promo November

Melalui Nimbus, Google Sponsori Genosida Palestina?

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Minggu, 01 September 2024 - 23:37 WIB
Arief Junianto
Melalui Nimbus, Google Sponsori Genosida Palestina? Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan

Advertisement

Di sejumlah media internasional, banyak pihak sedang mempersoalkan keterlibatan Google dan Amazon—melalui Project Nimbus—yang dianggap memfasilitasi Israel sehingga kaum Zionis itu dengan mudahnya melakukan genosida terhadap bangsa Palestina. Berbekal sarana supermodern tersebut, hanya dalam tempo kurang dari 2 bulan, Israel terbukti muncul sebagai pembantai lebih dari 40.000 jiwa bangsa Palestina dalam sebuah situasi asymmetric warfare.

Peperangan asimetris atau asymmetric warfare adalah jenis konflik militer di mana kekuatan yang tidak seimbang antara dua pihak terlibat. Salah satu pihak biasanya jauh lebih lemah dalam hal sumber daya, teknologi, dan kekuatan militer secara konvensional. Namun, pihak yang lebih lemah dapat menggunakan taktik-taktik yang tidak konvensional untuk mengimbangi kelemahan mereka.

Advertisement

Berbagai contoh taktik berperang yang sering digunakan dalam peperangan asimetris adalah perang gerilya yang menggunakan strategi penyergapan atau ambush dan serangan cepat (blitzkrieg) untuk mengganggu pasukan musuh yang berjumlah lebih besar dam lebih kuat. Selain itu, termasuk dalam perang asimetris ini adalah aksi terorisme, perang propaganda, dan perang inormasi. Nah, Israel dengan dukungan penuh sejumlah sekutunya—dipimpin Amerika Serikat—menggunakan teknologi informasi yang a.l. dapat untuk menyebarkan disinformasi dan mengganggu komunikasi musuh.

Dalam konflik Israel-Palestina, kaum Zionis tersebut menggunakan strategi berbasis teknologi paling maju—termasuk melibatkan teknologi informasi (IT) dan bahkan kecerdasan buatan/artificial intelligence (IA)—sedangkan Palestina dengan keterbatasan sumer daya mereka hanya menggunakan taktik perlawanan sipil konvensional.

Asymmetric warfare seringkali menimbulkan tantangan bagi pihak yang lebih kuat, karena mereka harus beradaptasi dengan taktik-taktik yang tidak konvensional dan seringkali sulit diprediksi. Terlihat dari serangkaian pemberitaan media internasional, betapa perlawanan yang dilakukan oleh Hamas, Otoritas, dan rakyat Palestina kemudian memperoleh dukungan dari sejumlah elemen di Timur Tengah.

Mereka yang terpanggil ikut menggempur Israel itu a.l. Garda Revolusi Iran, Kelompok Militan Hizbullah yang berbasis di Lebanon, Milisi Houthi Yaman, dan sejumlah milisi dari beberapa wilayah lainnya. Sejumlah milisi tersebut melihat ketimpangan yang terjadi pada konflik Palestina melawan Israel yang ibarat Timun mungsuh duren. Selain didukung penuh oleh AS, Israel juga memperoleh bantuan langsung maupun tidak langsung dari sejumlah pemerintahan di Eropa—a.l. Jerman, Inggris, dan Prancis—sehingga menjadikan kaum Zionis tersebut sangat kuat dan menangan, apalagi ditambah dengan dukungan dari Project Nimbus (nimbus dari kosa kata bahasa Latin, berarti awan) yang melibatkan raksasa internet Google dan Amazon.

Project Nimbus adalah sebuah proyek komputasi awan (cloud computing) yang melibatkan pemerintah Israel dan militer mereka. Pada April 2021, Kementerian Keuangan Israel mengumumkan kontrak ini dengan tujuan menyediakan "solusi awan yang mencakup seluruh pemerintahan, lembaga pertahanan, dan pihak lainnya." Kontrak senilai US$1,2 miliar ini melibatkan dua perusahaan teknologi besar: Google Cloud Platform dan Amazon Web Services.

Apa yang membuat Project Nimbus menarik perhatian dan kontroversial adalah karena perannya dalam menyediakan layanan awan, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk pemerintah Israel. Tahap pertama proyek ini melibatkan pembelian dan pembangunan infrastruktur awan lokal di Israel. Keberadaan sarana cloud ini memungkinkan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menyimpan data dan menjalankan operasi di dalam batas-batas wilayah pendudukan Israel dengan pedoman keamanan yang ketat.

Di sisi lain, Google Cloud Platform menyediakan alat-alat AI yang dapat digunakan oleh militer dan layanan keamanan Israel. Layanan ini termasuk deteksi wajah, kategorisasi otomatis gambar, pelacakan objek, dan analisis sentimen. Alat-alat semacam ini sebelumnya sukses digunakan oleh lembaga seperti U.S. Customs and Border Protection untuk pengawasan perbatasan.

Kontrak ini menuai kritik dan protes dari pemegang saham, karyawan, dan aktivis. Mereka khawatir bahwa teknologi yang disediakan oleh Project Nimbus dapat digunakan untuk lebih memperkuat pengawasan terhadap warga Palestina dan memfasilitasi ekspansi pemukiman ilegal Israel di tanah Palestina. Beberapa karyawan Google bahkan mengundurkan diri sebagai bentuk protes terhadap proyek ini.

Bagi warga Palestina, proyek ini berarti dukungan langsung maupun tidak langsung terhadap proses terjadinya genosida bagi bangsa tersebut. Betapa tidak. Dengan dukungan kedua raksasa Internet tadi, Zionis dengan relatif mudah melakukan kegiatan surveilans dan pengumpulan data. Teknologi ini memungkinkan surveilans lebih lanjut dan pengumpulan data secara ilegal terhadap warga Palestina. Dengan alat-alat canggih seperti deteksi wajah, pelacakan objek, dan analisis sentimen, teknologi ini dapat digunakan untuk memantau aktivitas warga Palestina dengan lebih intens. 

Perluasan Permukiman Ilegal

Dengan Project Nimbus itu, Israel juga dimudahkan untuk melakukan perluasan permukiman ilegal di tanah Palestina. Dengan teknologi yang disediakan oleh proyek ini, Israel dapat memperkuat kehadirannya di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina. Ini menjadi perdebatan yang sensitif karena permukiman ilegal dianggap melanggar hukum internasional dan menghambat proses perdamaian.

Beberapa pekerja Google dan Amazon telah melakukan demonstrasi dan protes menentang kontrak Project Nimbus. Bahkan beberapa teknisi Google Cloud dipecat karena menolak membangun teknologi yang mendukung pengawasan/surveilans dan potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Palestina.

Aksi protes ini dipimpin oleh kelompok bernama “No Tech For Apartheid,” yang sejak 2021 telah mengorganisir karyawan Google untuk melawan Project Nimbus. Para pekerja ini menuntut hak untuk mengetahui bagaimana produk teknologi yang mereka buat akan digunakan, dengan kekhawatiran bahwa teknologi tersebut dapat digunakan untuk tujuan yang merugikan.

Merebak pula kabar terdapat bahwa pasangan suami istri asal Indonesia yang bekerja di Google memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai bentuk protes terhadap keterlibatan Google dalam proyek ini. Namun, tidak dijelaskan identitas pasangat tersebut dengan alasan rahasia perusahaan.

Aktivis dan akademisi mempertanyakan penggunaan teknologi AI Israel untuk menargetkan warga Palestina. Beberapa ahli hukum juga menyatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan dalam perang melanggar hukum internasional. Proyek Nimbus menandai hubungan langsung perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat dengan pemerintah Israel. Meskipun perusahaan menyatakan kontrak ini tidak ditujukan untuk beban kerja yang sangat sensitif atau terklasifikasi, tetap ada kekhawatiran tentang dampaknya.

Sejak meletusnya konflik antara Palestina dan Israel pada 7 Juli 2024, jumlah korban tewas telah menjadi perhatian yang sangat serius. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah korban jiwa mencapai lebih dari 40.000 orang di Jalur Gaza sejak Israel melancarkan perang melawan Hamas. Jumlah ini mencakup pria, wanita, dan anak-anak, dan telah menciptakan situasi yang sangat tragis dan memilukan.

Sedangkan jumlah korban tewas di kalangan warga Israel jauh lebih rendah daripada korban di pihak Palestina. Data terkini mengenai jumlah korban tewas di pihak Israel tidak disebutkan secara spesifik dalam berbagai sumber.

Keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli silam di Den Haag yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina selama berpuluh tahun adalah ilegal dan karena itu harus diakhiri sesegera mungkin. Hal ini seharusnya memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks hukum internasional dan konflik antara Israel dan Palestina.

ICJ menegaskan bahwa Israel berkewajiban untuk segera menghentikan semua kegiatan permukiman baru dan mengevakuasi semua pemukim dari tanah Palestina yang diduduki. Selain itu, kebijakan dan praktik Israel, termasuk pembangunan permukiman baru dan pemeliharaan tembok pemisah antara wilayah Palestina, dianggap sebagai wujud pencaplokan sebagian besar wilayah pendudukan

Beberapa implikasi dari keputusan tersebut adalah menguatnya bobot hukum internasional. Meskipun pendapat yang dikeluarkan oleh ICJ tidak bersifat mengikat secara hukum, keputusan ini memiliki bobot hukum internasional. Ini berarti bahwa pendapat tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam kasus-kasus hukum lainnya dan memengaruhi interpretasi hukum internasional.

Keputusan ICJ juga dapat mengurangi dukungan terhadap Israel di arena internasional. Negara-negara dan lembaga internasional mungkin lebih berhati-hati dalam memberikan bantuan atau dukungan kepada Israel yang terkait dengan pendudukan wilayah Palestina. Selain itu, ICJ memerintahkan Israel untuk menghentikan pembangunan dan perluasan permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Ini dapat memengaruhi kebijakan Israel terkait pemukiman dan memperkuat tuntutan hukum terhadap pembangunan ilegal.

Keputusan ICJ tersebut menegaskan hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Ini dapat memperkuat posisi Palestina dalam perundingan dan upaya mereka untuk mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara merdeka. Keputusan ini juga merupakan pesan bagi negara-negara lain. ICJ menyatakan bahwa negara-negara tidak boleh memberikan bantuan atau dukungan dalam mempertahankan keberadaan Israel di wilayah Palestina. Ini menggarisbawahi pentingnya mematuhi hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dua Bus Listrik Trans Jogja Senilai Rp7,4 Miliar Segera Mengaspal

Sleman
| Kamis, 21 November 2024, 12:47 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement