Advertisement

OPINI: Pelajaran Bencana Alam Dubai

Ibrahim Khalilul Rohman
Sabtu, 27 April 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Pelajaran Bencana Alam Dubai Ibrahim Khalilul Rohman - JIBI

Advertisement

Jika orang masih merasa skeptis terhadap isu perubahan iklim, tahun 2023 memberikan banyak sekali pembelajaran bagi kita semua. Secara total terdapat 240 bencana alam dalam skala yang cukup besar. Mulai dengan kebakaran hutan di Hawaii dan Yunani, banjir di Kongo, Chili, dan California, gempa Bumi di Turki dan Maroko, dan badai di Myanmar, Yunani, dan Libya.

Bencana-bencana umumnya menimbulkan kerusakan fisik dan korban jiwa dengan biaya ekonomi yang sangat mahal. Dengan frekuensi yang makin sering, Bank Dunia pada 2016 sudah memprediksikan bahwa bencana alam dapat mengakibatkan kerugian ekonomi global sekitar US$520 miliar per tahunnya.

Advertisement

Lebih parahnya, rentetan bencana alam yang tidak termitigasi bisa mendorong sekitar 26 juta orang ke dalam kemiskinan setiap tahun. Bencana hujan badai dan banjir yang baru-baru ini terjadi di Dubai bisa menjadi wake-up call yang penting bagi Indonesia.

Di negara yang sangat modern dengan early warning yang maju tiba-tiba mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 75 tahun terakhir yang membawa kerusakan ekonomi akibat badai yang merusak kendaraan, properti, dan infrastruktur publik lainnya.

Upaya meningkatkan kesadaran ini makin relevan bagi Indonesia, terutama karena kita memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) nasional pada 26 April. Peringatan ini diharapkan melahirkan perubahan terkait manajemen kebencanaan.

HKB yang merupakan salah satu implementasi UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana harus menimbulkan transformasi sikap baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana untuk lebih berfokus pada tindakan proaktif daripada reaktif.

Indonesia memiliki pengalaman kebencanaan pada saat terjadinya gempa Bumi dan tsunami Aceh pada 2004. Bencana tersebut menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp51,4 triliun (US$3,5 miliar), sedangkan anggaran negara yang dialokasikan untuk manajemen risiko bencana pada saat itu hanya berkisar antara Rp3 triliun hingga Rp10 triliun per tahun. Bahkan proyeksi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai 0,66% hingga 3,45% dari PDB pada 2030 jika langkah-langkah yang memadai tidak dilakukan sejak dini.

Manajemen Kebencanaan
Bagi Indonesia, manajemen kebencanaan menjadi lebih penting karena munculnya dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung mencakup kerugian langsung akibat bencana itu sendiri, baik berupa kerugian materi maupun korban jiwa, sedangkan dampak tidak langsung mengacu pada efek selanjutnya setelah terjadinya bencana pada jangka menengah dan panjang.

Misalnya, bencana alam berkontribusi pada kenaikan harga pangan, terutama untuk makanan pokok seperti beras. Kekeringan yang disebabkan oleh fenomena seperti El Nino dapat menyebabkan gagal panen, menyebabkan kelangkaan pasok dan menaikkan harga. Menyadari pentingnya persiapan menghadapi bencana alam di Indonesia, IFG Progress melakukan studi untuk memetakan kabupaten-kabupaten di Indonesia menurut kerentanannya terhadap bencana alam berdasarkan data dari Sensus Potensi Desa 2018 yang dilakukan oleh BPS.

Data ini mencakup 83.931 desa/kelurahan dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi dengan kategori bencana alam, meliputi tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa Bumi, tsunami, gelombang pasang, siklon, letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dan kekeringan.

Dengan membuat indeks keparahan komposit mulai dari 0 hingga 100 dari frekuensi dan jumlah korban akibat bencana yang disebutkan di atas, studi ini mengidentifikasi 24 kabupaten atau kota dengan indeks bencana alam melebihi 75.

Mayoritas wilayah tersebut berada di Provinsi Jawa Barat, antara lain Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya. Kajian ini juga mencatat keberadaan kabupaten lain dengan indeks bencana alam melebihi 75 yang tersebar di berbagai provinsi, seperti Aceh, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara, meskipun tidak sebanyak di Jawa Barat.

Melalui pengujian ekonometrik, studi ini juga berusaha mengidentifikasi bahwa untuk setiap peningkatan 1% dalam jumlah desa yang dilengkapi dengan sistem peringatan dini dan sinyal telekomunikasi yang cukup, wilayah tersebut berpotensi menghemat Rp200 miliar—Rp300 miliar Produk Domestik Bruto dengan secara efektif mengurangi dampak bencana dari bencana tersebut. Fokus kebijakan manajemen kebencanaan di Indonesia harus pada inklusivitas dan inovasi dalam mitigasi risiko bencana. Hal ini bisa dicapai dengan menerapkan sistem peringatan dini yang luas dan skema asuransi bencana untuk mencegah dampak keparahan lebih lanjut. 


Ibrahim Khalilul Rohman
Senior Research Associate, Indonesia Financial Group (IFG) Progress

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Help Desk Pendaftaran Calon Independen untuk Pilkada Bantul Sepi Peminat

Bantul
| Senin, 06 Mei 2024, 18:57 WIB

Advertisement

alt

Chord dan Lirik Lagu Kupu-Kupu - Tiara Andini: Wahai Cinta Beri Pertanda

Hiburan
| Senin, 06 Mei 2024, 09:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement