Advertisement

OPINI: Menjaga Pilar Perkawinan demi Anak

Aloysia Endang SSS
Selasa, 11 Desember 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Menjaga Pilar Perkawinan demi Anak Ilustrasi anak dan orang tua. - Reuters

Advertisement

Andi (bukan nama sebenarnya) usianya 10 tahun, diantar oleh ibunya ke klinik psikologi. Sang ibu mengeluh betapa susahnya mengatur anak laki-laki satu-satunya ini. Perilakunya jauh dari yang ia harapkan. Andi selalu membantah, berkata kasar dan tidak mau belajar.  Setiap hari orang tua merasa pusing dengan kelakuan anaknya ini

Demikian juga halnya dengan Ana (juga bukan nama sebenarnya), ibunya bingung karena Ana sekarang sering mengurung diri di kamar, berkali-kali tidak mau berangkat sekolah, dan terpaksa orang tuanya harus selalu memberikan alasan kepada sekolah mengapa Ana tidak masuk sekolah.

Advertisement

Masih banyak Andi dan Ana yang lain, yang kesemuanya menjadi keluhan orang tua mereka, karena mereka membuat orang tua sedih, bingung, marah dan perasaan negatif lainnya. Anak anak itu dianggap sangat jauh dari harapan  mereka.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan anak-anak itu? Mereka tidak memiliki kelemahan dalam hal fisik. Materi dan hampir semua fasilitas terpenuhi. Orang tua “merasa” sudah memenuhi kewajibannya dengan memberikan semua yang dibutuhkan anak. Orang tua bekerja dengan sangat keras agar anaknya bahagia. Namun ternyata anak itu  dianggapnya membuat uah dan membuat lelah orang tuanya, sampai menguras energi psikologisnya.

Dalam wawancara dengan para orang tua (yang sebagian besar adalah para ibu, karena ternyata para bapak sebagian masih merasa bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab ibu), mereka  merasa sangat lelah sekali dan seolah ingin memasrahkan sepenuhnya kepada psikolog untuk mengubah anaknya. Para orang tua ini mengharapkan  psikolog klinis yang mereka datangi dapat menjadi seperti tukang sulap yang bisa langsung mengubah anak-anak mereka menjadi seperti yang diinginkan. Pernah tersiratkah dalam benak kita, apa yang sebenarnya diharapkan anak-anak dari kita sebagai orang tua? Pernahkah sedikit saja kita berpikir, jangan-jangan kita memiliki andil sehingga anak-anak ini memiliki masalah?

Dalam perjalanan serangkaian pemeriksaan psikologi banyak terungkap, ternyata para orang tua ini memiliki masalah yang cukup besar dan serius dalam perkawinannya. Mereka sibuk dengan permasalahan mereka sendiri.

Tidak sedikit pasangan suami istri yang mengantarkan anak mereka untuk “diperiksakan” karena dianggap bermasalah, ternyata  memiliki permasalahan pribadi dalam perkawinannya, entah yang secara nyata terlihat maupun yang terselubung, atau yang pura-pura baik baik saja.

Beruntung ketika para orang tua ini segera menyadari di awal permasalahan muncul pada anaknya, dan segera introspeksi diri. Namun tidak sedikit juga yang menyadari ketika semuanya sudah sangat terlambat dan sulit untuk memperbaikinya. Pada akhirnya, masing-masing orang tua saling menyalahkan. Bahkan ada seorang ibu yang menjadi sangat membenci anaknya, karena bersikap sangat negativistik terhadap setiap orang yang ditemui, terutama terhadap dirinya.

Hal yang dilakukannya adalah menyalahkan suami bahkan orang tuanya sendiri sebagai penyebabnya. Pada saat seperti ini, sang ibu  menyodorkan anaknya kepada psikolog untuk “diperbaiki”. Ia sudah merasa lelah, karena anaknya tidak bisa diperbaiki. Sang ibu sama sekali tidak menyadari bahwa perilakunya yang sangat tidak menghargai suami, bahkan dianggap menginjak injak harga diri suami, kemudian setiap pagi berteriak teriak meminta anak-anaknya mengikuti aturannya, adalah merupakan contoh nyata yang kemudian “ditiru” oleh anaknya dalam bentuk yang relatif sama.Sang ibu tidak menyadari bahwa dirinya memiliki masalah pribadi yang serius.

Keluarga

Data dari Pusat Layanan Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PLKSAI) Kabupaten Klaten 2017 menyebutkan 138 anak bermasalah yang sudah ditangani. Anak yang bermasalah tersebut 80% disebabkan karena pola asuh orang tua yang membiarkan, membebaskan, tidak peduli terhadap anaknya, sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dari sekitar lebih 100 pasien selama toga bulan terakhir (Agustus, September, dan Oktober 2018) pasien  anak yang berunjung di Klinik Psikologi RSJD dr RM Soedjarwadi, ada sekitar 30% yang merupakan anak-anak bermasalah. Sebanyak 80% dari anak-anak yang bermasalah tersebut ternyata memiliki orang tua yang sedang dalam kondisi kurang harmonis

Ketika kita menganggap bahwa perkawinan yang bahagia itu akan datang begitu saja seperti saat pertama kali menikah, atau ketika kita berharap pasangan kita memenuhi semua yang kita inginkan tanpa kita peduli apakah kita sudah juga memenuhi keinginannya, dan ketika masing masing berharap rumah tangganya baik baik saja tanpa masing-masing memperjuangkannya, maka bisa dipastikan perkawinan akan menjadi hambar, tidak ada lagi greget di dalamnya dan terancam memiliki masalah serius yang sulit dipecahkan, apalagi ketika masing-masing tidak segera menyadari dan memperbaikinya. Belum lagi bila masing masing atau salah satu pasangan menganggap bahwa perkawinan hanyalah perkara sebuah surat nikah.

Dalam Undang Undang Perkawinan disebutkan dengan jelas sekali bahwa perkawinan adalah ikatan batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami dan sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga  (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi tidak sekedar status bahwa “saya sudah menikah”

Perkawinan yang harmonis dan bahagia perlu diperjuangkan. Dalam perkawinan, setiap pasangan dituntut untuk bisa saling menyesuaikan diri, karena adanya perbedaan latar belakang keluarga, pendidikan, kebiasaan, adat istiadat, keinginan serta berbagai tantangan dan godaan hidup yang nyata. Pasangan suami istri secara esensial memang berbeda. Perspektif, pengalaman dan kebutuhan serta nilai-nilai yang dianut juga berbeda. Sehingga ketika masing-masing masih mempertahankan egonya dan sibuk dengan kebutuhan masing-masing, maka porsi untuk memahami dan memikirkan buah hati mereka menjadi sangat kurang. 

Pilar Perkawinan

Oleh karena itu, kembali mengingat, memahami serta berusaha menjalankan empat pilar perkawinan adalah hal yang sangat penting.

Pilar yang pertama adalah cinta kasih tulus dan rasa hormat antar pasangan. Ketika suami dan istri saling mencintai dengan tulus, dan menghormati satu sama lain, maka perselisihan yang mungkin terjadi pasti akan bisa mendapatkan titik temunya. Anak-anak juga akan belajar menyayangi orang lain dari orang tua mereka. Orang tua juga akan memancarkan kasih sayang mereka bagi anak, sehingga kebutuhan emosional anak akan dapat terpenuhi. Kebutuhan emosional yang terpenuhi dengan baik, maka kemampuan anak akan berkembang dengan lebih optimal

Pilar kedua adalah keterbukaan berdasar kesepakatan yang dibicarakan pada saat awal pernikahan. Ketika masing-masing tetap menjaga keterbukaan sesuai kesepakatan di awal, maka rasa saling percaya akan tumbuh dengan kuat, sehingga ketika salah satu melakukan sedikit kesalahan maka tidak ada pikiran negatif dari masing-masing. Pikiran positif, perilaku positif dan kepercayaan antar pasangan ini membuat iklim yang sangat nyaman bagi anak.

Pilar ketiga adalah penyesuaian dalam kehidupan seksual dengan upaya untuk memperoleh kondisi wellbeing (kenyamanan psikoseksual) antar-pasangan. Hubungan suami istri yang terjalin diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi kedua pihak dan tidak ada keterpaksaan dan justru memunculkan semangat dan energi untuk bersama sama membangun sebuah rumah tangga yang bahagia

Pilar yang keempat adalah kebersamaan dalam aktivitas spiritual. Ketika seluruh anggota keluarga melakukan aktivitas spiritual bersama-sama dan menjadi suatu kebiasaan, maka hal ini sebenarnya upaya memperkokoh fondasi yang sudah ada. Orang tua juga mendidik anak dalam menjalankan ibadahnya.

Ketika empat pilar benar-benar menjadi dasar dalam membangun rumah tangga, maka mendidik anak akan menjadi lebih mudah. Anak-anak akan memiliki lingkungan yang baik. Anak-anak juga akan memiliki dasar yang baik sebagai bekal untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya. Oleh karena itulah, tugas kita sebagai orang tua untuk selalu menjaga dan memperkokoh pilar pilar tersebut. Di saat paling kritis pun harus selalu ingat untuk selalu menjaganya jangan sampai roboh. Ketika roboh, akan sangat sulit untuk membangunnya kembali dengan tegak dan kokoh seperti semula. Di samping itu akan membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Mari kita bangun pilar pilar perkawinan yang kokoh dan menjaganya sampai akhir hayat kita.

*Penulis adalah psikolog klinis madya di RSJD dr. RM Soedjarwadi Jawa Tengah, tinggal di Jogja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Masuk Awal Kemarau, BPBD DIY Pastikan DIY Tidak Perpanjang Status Siaga Darurat Bencana Hidrometeorologi

Jogja
| Rabu, 08 Mei 2024, 22:47 WIB

Advertisement

alt

Film Petualangan Kingdom of the Planet of the Apes Tayang di Bioskop Mulai Hari Ini

Hiburan
| Rabu, 08 Mei 2024, 21:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement