Advertisement

Promo November

OPINI: Silent Suffering dari Hustle Culture

Aloysia Desy Pramusiwi
Rabu, 15 Mei 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Silent Suffering dari Hustle Culture Aloysia Desy Pramusiwi - Dok. Pribadi

Advertisement

Pernahkah Anda merasa bersalah ketika akan beristirahat di saat seharusnya menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk? Pernahkah Anda merasa belum pantas untuk rehat karena belum memenuhi standar sukses dalam pekerjaan Anda? Atau pernahkah Anda menerima kritik dari rekan kerja saat mengambil cuti? 

Selamat datang di era di mana hustle menjadi mantra utama, di mana kesuksesan hanya dianggap dapat dicapai jika terus menerus bekerja keras. Hustle culture, budaya yang menglorifikasi pada bekerja selalu melebihi jam standar dan tidak kenal waktu, bekerja secara terus menerus tanpa rehat dan sering melupakan batasan antara pekerjaan, keluarga, dan kehidupan pribadi dapat menyebabkan masalah kesehatan baik secara fisik maupun mental.

Advertisement

Belakangan, budaya ini menjadi salah satu standar bagi sebagian orang untuk mengukur produktivitas seseorang. Namun, di balik glamor dan kecemerlangan, tersembunyi dampak gelap yang sering diabaikan, seperti burnout dan pola toxic productivity bagi karyawan.

Di tengah dunia bisnis yang semakin ketat dan kompetitif, hustle culture seringkali cenderung lebih diapresiasi. Beberapa alasan mengapa hustle culture  menjadi hal yang diglorifikasi saat ini, yaitu adanya narasi yang muncul bahwa kesuksesan seseorang dapat dirasih dari kerja keras tanpa mengenal lelah dan berdedikasi tinggi pada pekerjaan.

Adanya tekanan atau kesulitan ekonomi yang dialami individu, terdapat validasi dari lingkungan sosial masyarakat bahwa menjadi sibuk merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan profesional mereka, dan munculnya ekspektasi perusahaan pada karyawannya untuk memiliki dedikasi dan komitmen yang diukur melalui bekerja dengan jam kerja panjang. 

Budaya yang menempatkan pekerjaan pada pusat utama di kehidupan di mana jam kerja yang panjang bahkan lembur diglorifikasi dan waktu istirahat dipandang sebagai sebuah kemalasan. Padahal setiap individu tetap membutuhkan istirahat saat bekerja, bahkan terkadang sebagai layaknya manusia normal, tetap butuh untuk sama sekali tidak terhubung dengan pekerjaan sebagai bentuk memberi kesempatan otak kita untuk rileks. Istirahat tetap diperlukan karena mampu memicu burnout untuk gaya hidup hustle culture ini.

Job Burnout

Di era bisnis yang serba kompetitif ini, untuk dapat dianggap sukses dan berhasil, karyawan didorong untuk terus bekerja lebih keras, lebih lama dan mengorbankan waktu istirahat. Tentu dengan pola pikir yang diberikan perusahaan ke karyawan seperti ini akan menghasilkan output yang signfikan dalam jangka waktu yang pendek. 

Akan tetapi, hustle culture memiliki dampak negatif salah satunya job burnout yang dirasakan oleh karyawan. Menurut Maslach dan Leiter (2008) terdapat tiga dimensi dari Maslach Burnout Inventory untuk mengukur burnout, yaitu emotional exhaustion, depersonalization, dan personal accomplishment. 

Emotional exhaustion ditandai dengan tingkat emosional yang berlebihan dan kelelahan karena timbul dari pekerjaan di mana individu yang mengalami hal ini akan memiliki ketakutan tidak dapat memberikan tingkat kinerja yang tinggi seperti sebelumnya. Depersonalization merujuk pada sikap negatif, tidak bersimpati, dan terlalu menjaga jarak atau menjauhkan diri dari rekan kerja dan pekerjaan mereka, sehingga dapat memiliki kecenderungan individu akan meninggalkan tugas atau mangkir dari pekerjaan. 

Personal accomplishment merupakan munculnya perasaan gagal dari pribadi individu, inkompetensi, dan kurangnya prestasi yang dimiliki karyawan dari pekerjaannya. Dengan kata lain, job burnout merupakan perasaan kelelahan emosional, kehilangan minat untuk bekerja, dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas di mana menjadi semakin umum di tempat kerja saat ini. 

Berdasarkan data dari Deloitte, sebesar 77% orang pernah mengalami burnout dalam pekerjaannya dan sebesar 42% meninggalkan pekerjaannya karena merasakan burnout. Dampak ini muncul karena adanya tekanan psikologis dan emosional dari jam kerja yang berlebihan, menormalisasi lembur, serta usaha untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis bagi karyawan akibat adanya glorifikasi hustle culture yang berlebihan. 

Dengan kata lain, hustle culture tidak akan menguntungkan perusahaan maupun karyawan karena akan memicu muncul ketidakpuasan karyawan dan tidak produktif yang pada akhirnya akan meningkatkan intensi keluar karyawan. Pada akhirnya, perusahaan yang akan mengeluarkan kembali biaya materiel dan nonmateriel untuk melakukan proses rekrutmen dan seleksi karyawan untuk memenuhi tenaga kerja dalam menjalankan proses bisnisnya. 

Berkebalikan dari hustle culture, dilansir dari Forbes bahwa break culture menjadi opsi yang dapat diterapkan bagi perusahaan untuk dapat meningkatkan produktivitas karyawan, yaitu budaya yang mendorong istirahat kerja secara teratur dan memperhatikan work-life balance karyawan. Namun, dalam penerapannya tidaklah mudah karena perlu komitmen yang tinggi dari perusahaan dan adanya evaluasi praktik kerja hingga perubahan budaya kerja. 

Perubahan tersebut dapat dilakukan ketika pimpinan perusahaan memiliki komitmen untuk mengubahnya, sehingga perlu ada kesadaran secara menyeluruh dari dalam organisasi. Meskipun hustle culture dapat memberikan output yang cepat bagi perusahaan, namun dapat membahayakan dalam jangka panjang karena tidak berkelanjutan. Perlu adanya evaluasi kembali bagi perusahaan untuk dapat menyeimbangkan antara produktivitas karyawan dengan well-being karyawan. Hal ini tidak hanya menguntungkan bagi karyawan tetapi juga dapat meningkatkan resilensi dan produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

Jika hustle culture ini memang cocok bagi generasi tertentu atau beberapa individu, apakah jika generasi lain atau individu lain yang sudah memiliki perbedaan tujuan utama yang ingin dicapai dalam hidupnya menjadi salah untuk tidak melakukan budaya ini? Di dunia yang terus berpacu, jangan sampai hustle mengantarkan kita pada burnout. Keseimbangan antara produktivitas dan well-being menjadi kunci.

Aloysia Desy Pramusiwi

Dosen Departemen Manajemen Fakultas Bisnis dan EkonomikaUniversitas Atma Jaya Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prakiraan Cuaca Jogja dan Sekitarnya Jumat 1 November 2024: DIY Hujan Ringan

Jogja
| Jum'at, 01 November 2024, 05:37 WIB

Advertisement

alt

Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan

Hiburan
| Selasa, 29 Oktober 2024, 06:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement