Advertisement

Promo Desember

NGUDARASA: Kembali ke Pangan Nontransgenik

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Minggu, 22 Desember 2024 - 23:07 WIB
Arief Junianto
NGUDARASA: Kembali ke Pangan Nontransgenik Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan

Advertisement

Sebuah perusahaan meluncurkan benih non-transgenik yang digadang-gadang mampu mengatasi krisis global dan penduduk dunia memandangnya sebagai ‘manfaat yang revolusioner', karena mendorong kembali penggunaan bahan pangan yang cenderung natural, bukan hasil transgenik (genetically modified organism—GMO). Debat panjang tentang manfaat dan mudharat bahan pangan transgenik maupun non-transgenik tampaknya akan berlangsung lama.

Perusahaan benih Corteva Inc. diketahui telah mengembangkan benih gandum hibrida yang tidak dimodifikasi secara genetik yang dapat meningkatkan hasil biji-bijian sebesar 10%. Ketika kekeringan dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya menjadi lebih sering terjadi di dunia yang memanas, perusahaan seperti Corteva memainkan peran penting dalam meningkatkan pasokan makanan.

Advertisement

Corteva mengatakan kepada Bloomberg pekan silam, 19 Desember, dari hasil uji coba awal yang dilakukan, benih gandum baru mereka tidak memerlukan lahan atau sumber daya tambahan dan dapat menghasilkan hingga 20% lebih banyak dibandingkan tanaman “elit” di daerah yang menghadapi kelangkaan air.

Perusahaan ini mereplikasi proses yang digunakan perusahaan benih lainnya, sekitar 100 tahun lalu, untuk membuat jagung hibrida, dan kini menjadi salah satu tanaman paling popular di dunia. Selama Dust Bowl—periode kekeringan parah dan badai debu yang melanda wilayah Great Plains Kansas, Oklahoma, Texas, dan Colorado—di AS pada 1930-an, permintaan jagung hasil persilangan itu meroket karena kegagalan panen gandum ketika itu, sehingga menyebabkan kelaparan meluas.

Meskipun hasil panen jagung di AS kini jauh melampaui komoditas bahan roti-rotian itu, Corteva mengatakan hasil gandum akan segera menyusul komoditas jagung, berkat varietas gandum baru tersebut.

“Pioneer memperkenalkan jagung hibrida pada 1920an, dan sejak itu teknologi kami telah membantu mencapai peningkatan hasil rata-rata lebih dari 600%,” ujar Sam Eathington, kepala tim teknologi dan digital Corteva, kepada Bloomberg. “Kami kini juga siap untuk memberikan manfaat revolusioner dan potensi hasil hibridisasi pada tanaman inti lainnya.”

Perusahaan yang memperkenalkan jagung hibrida pada 1920-an adalah Hi-Bred Corn Company yang didirikan oleh Henry A. Wallace, seorang tokoh terkemuka di bidang pertanian dan politik Amerika. Dia bereksperimen dengan pemuliaan jagung dan mengembangkan hibrida dengan hasil tinggi yang disebut ‘Copper Cross’ pada 1923.  

Pada 1926, ia mendirikan Hi-Bred Corn Company untuk mengkomersialkan benih jagung hibrida. Perusahaan ini kemudian dikenal sebagai Pioneer Hi-Bred, pemain utama dalam industri bioteknologi pertanian.

Pelbagai riset di bidang pangan juga dilakukan oleh kalangan industri maupun akademisi Indonesia, meskipun hasilnya hingga kini belum optimal. Indofood, sebagai salah satu perusahaan makanan terbesar di Indonesia, misalnya, pernah menginisiasi upaya pengembangan budidaya gandum di dalam negeri. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum dan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Namun, hingga saat ini, upaya untuk membudidayakan gandum dalam skala besar di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari upaya ini antara lain karena gandum merupakan tanaman yang lebih cocok tumbuh di daerah beriklim sedang dengan musim dingin yang cukup dingin.

Indonesia beriklim tropis yang lebih cocok untuk tanaman padi dan palawija lainnya. Kondisi tanah dan curah hujan yang tidak merata di banyak wilayah Indonesia juga kurang mendukung pertumbuhan gandum yang optimal. Gandum lebih cocok tumbuh di daerah beriklim sedang dengan musim dingin yang cukup dingin.

Tapi, dengan terobosan seperti yang dilakukan Corteva Inc. tersebut, bukan tidak mungkin kelak ditemukan pula jenis gandum yang cocok di tanam di wilayah tropis, sehingga memungkinkan negeri ini menghasilkan sendiri komoditas gandum sebagai substitusi impor.

Selain itu, jenis tanah di Indonesia yang sebagian besar adalah tanah vulkanik, meskipun subur untuk tanaman pangan lainnya, belum tentu cocok untuk budidaya gandum yang membutuhkan jenis tanah tertentu. Di samping itu, tanaman gandum di Indonesia rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang spesifik, sehingga membutuhkan penanganan yang lebih intensif.

 

Rekayasa Genetika Jadi Solusi

Rekayasa genetika memang menjadi salah satu solusi yang potensial untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Dengan rekayasa genetika, para ilmuwan dapat mengembangkan varietas gandum yang lebih tahan terhadap suhu tinggi, kekeringan, hama, dan penyakit, sehingga lebih cocok tumbuh di kondisi tropis.

Para ilmuwan berusaha menciptakan varietas gandum yang memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap suhu tinggi, selain ikhtiar untuk pengembangan varietas gandum dengan potensi hasil panen yang lebih tinggi. Upaya lain juga ditempuh untuk meningkatkan kandungan nutrisi pada gandum, seperti protein dan vitamin.

Meskipun demikian, pengembangan varietas gandum transgenik juga menghadapi beberapa tantangan, misalnya proses pengembangan dan komersialisasi tanaman transgenik memerlukan regulasi yang ketat dan memakan waktu yang lama. Masyarakat juga masih memiliki kekhawatiran terhadap keamanan pangan dan lingkungan terkait dengan tanaman transgenik. Padahal, investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan varietas transgenik tentulah sangat besar dan melibatkan teknologi yang canggih pula.

Konsumsi gandum di Indonesia yang relatif tinggi itu terutama untuk membuat anek produk seperti roti, mi instan, dan kue. Akibatnya, Indonesia menjadi salah satu negara importir gandum terbesar di dunia. Sebagian besar gandum yang dikonsumsi di Indonesia didatangkan dari negara-negara penghasil gandum utama seperti Rusia, Kanada, Australia, dan Amerika Serikat.

Importasi gandum di Indonesia menunjukkan tren meningkat selama beberapa tahun terakhir. Volume impor gandum yang pada 2010 ‘baru’ sekitar 4,8 juta ton itu melonjak ke angka 7,41 juta ton pada 2015, dan melonjak ke angka 10,29 juta ton pada 2020. Tahun ini, hingga September, importasi gandum Indonesia mencapai 9,45 juta ton.

Kebijakan importasi gandum tersebut untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri makanan dan minuman, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Impor juga membantu menjaga stabilitas harga gandum di pasar domestik, meskipun harga di pasar internasional mengalami fluktuasi.

Menurut Departemen Pertanian AS, hasil budi daya gandum saat ini diperkirakan sekitar 3,5 ton per hektare. Saat gandum non-transgenik Corteva memasuki pasar dan produksinya ditingkatkan kelak, diharapkan dapat membantu mengatasi krisis pangan, termasuk yang di luar AS tentunya.

Ketika tekanan meningkat dalam perlombaan global untuk mengembangkan tanaman gandum yang tahan kekeringan, Bloomberg melaporkan bahwa Corteva berharap untuk memiliki varietas gandum di pasar Amerika Utara pada 2027. Tujuan utama perusahaan ini adalah menanam gandum musim dingin berwarna merah keras—biji-bijian paling ngetop di AS—menggunakan teknologi hibridanya.

Gandum tahan kekeringan tidak hanya akan menjaga pasokan pangan global, namun juga bermanfaat bagi iklim karena membutuhkan lebih sedikit air untuk tumbuh dan mengurangi konsumsi energi dalam produksi gandum, sehingga dapat menurunkan polusi terkait pertanian.

Para ilmuwan juga baru-baru ini meluncurkan beras tahan virus yang akan lebih melindungi stok pangan kita, dan peneliti lain terus membuat terobosan dalam produksi gandum yang tahan kekeringan. 

Plus-Minus komoditas Pangan Transgenik

Teknologi produksi jagung transgenik telah ditemukan dan dikembangkan sejak beberapa dekade lalu. Jagung transgenik adalah jagung yang telah dimodifikasi secara genetik dengan menambahkan gen dari organisme lain. Tujuannya adalah untuk memberikan sifat-sifat unggul pada tanaman jagung, seperti gen dari bakteri Bacillus thuringiensis yang ditambahkan untuk menghasilkan protein beracun bagi hama tertentu, sehingga mengurangi kebutuhan pestisida kimia.

Juga gen yang membuat tanaman tahan terhadap jenis herbisida tertentu ditambahkan, sehingga memudahkan pengendalian gulma serta gen tertentu sehingga beberapa jenis jagung transgenik diklaim mampu menghasilkan panen yang lebih tinggi dibandingkan jagung konvensional.

Proses pembuatan jagung transgenik secara umum adalah identifikasi gen, pengambilan gen, penyisihan gen, seleksi tanaman, dan uji coba lapangan. Para ilmuwan mengidentifikasi gen yang diinginkan, misalnya gen yang membuat tanaman tahan hama, kemudian gen tersebut diisolasi dari organisme asalnya.

Gen yang telah diisolasi disisipkan ke dalam genom jagung menggunakan teknik rekayasa genetika. Langkah berikutnya, terhadap tanaman jagung yang berhasil disisipkan gennya kemudian diseleksi untuk mendapatkan tanaman dengan sifat yang diinginkan. Tanaman transgenik yang lolos seleksi akan diuji coba di lapangan untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

Keuntungan jagung transgenik a.l. meningkatkan produktivitas, mengurangi penggunaan pestisida, dan meningkatkan pendapatan para petani. Jagung transgenik dapat menghasilkan panen yang lebih tinggi, sehingga dapat membantu mengatasi masalah kekurangan pangan, tahan hama sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia, sehingga lebih ramah lingkungan.

Kelemahan jagung transgenik juga tidak sedikit, misalnya dampak terhadap lingkungan, dampak terhadap Kesehatan, dan menciptakan ketergantungan kepada perusahaan benih. Hingga kini, sejumlah orang khawatir bahwa jagung transgenik dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti munculnya hama baru yang resisten terhadap pestisida alami.

Selain itu, terdapat pula kekhawatiran bahwa konsumsi jagung transgenik dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, meskipun hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung klaim tersebut. Perdebatan mengenai jagung transgenik masih terus berlangsung. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan potensi untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi dampak lingkungan. Di sisi lain, ada kekhawatiran mengenai dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan lingkungan.

Penting untuk diingat bahwa jagung transgenik adalah salah satu dari banyak teknologi pertanian yang terus dikembangkan. Setiap teknologi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, dan keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan jagung transgenik harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan komprehensif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Gempa Magnitudo 5,2 Guncang Sukabumi

Jogja
| Senin, 23 Desember 2024, 01:22 WIB

Advertisement

alt

Jarang Disorot Media, Ternyata Ini Tunangan Lady Gaga, Punya Kekayaan Capai Rp9,8 Triliun

Hiburan
| Jum'at, 20 Desember 2024, 21:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement