Advertisement

OPINI: Bekerja untuk Sejahtera

Syarifah Namira Fitrania
Rabu, 25 Agustus 2021 - 14:57 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Bekerja untuk Sejahtera Ilustrasi virus Corona

Advertisement

Horor peningkatan kasus Covid-19 akhir-akhir ini mengingatkan kembali bahwa sulit bagi perekonomian untuk sehat tanpa para pelakunya yang juga sehat. Disrupsi lanjutan terhadap pasar tenaga kerja tampaknya tak terhindarkan.

Namun, apakah ancaman ketenagakerjaan yang utama ada pada peningkatan angka pengangguran?

Advertisement

Menilik kembali dampak pandemi terhadap pasar tenaga kerja pada 2020 silam, bulan Agustus 2020 BPS mencatat tambahan 2,6 juta penganggur yang mendongkrak TPT (tingkat pengangguran terbuka) ke angka 7,1%. Namun, tanpa tingginya penciptaan kerja di sektor informal (5,7 juta) yang menahan laju pengangguran, TPT Indonesia akan menjulang lebih tinggi mengingat hilangnya enam juta pekerjaan formal.

Pergeseran ini perlu diwaspadai, pasalnya 62% pekerja baru di sektor informal tersebut adalah pekerja dengan status pekerja keluarga/tak dibayar. Pola yang sama pun masih terlihat pada Februari 2021 di mana sektor informal masih dominan menyangga dengan 67% dari tambahan pekerjanya adalah pekerja keluarga/tak dibayar.

Hal ini seakan mengingatkan kembali bahwa tujuan penciptaan kerja adalah kesejahteraan. Jika yang ditargetkan adalah angka pengangguran yang lebih rendah, maka banyak pemberi kerja mau menawarkan pekerjaan dengan tingkat upah yang rendah.

Namun, jika yang ditargetkan adalah peningkatan taraf hidup, maka jenis pekerjaan yang layak dengan upah yang juga layaklah yang diperjuangkan. Lingkaran kesejahteraan suatu negara dimulai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengkonsumsi barang dan jasa.

Seberapa besar tingkat kemampuannya akan sangat berkaitan dengan produktivitas individu maupun agregat. Setidaknya ada empat rekomendasi pokok untuk produktivitas pekerja yang lebih baik.

Sektor manufaktur masih merupakan titik masuk yang esensial. Alasannya karena kapasitas dalam menyerap banyak tenaga kerja berketerampilan rendah dan memberikan produktivitas yang relatif tinggi melalui tradabilitas dan cakupan difusi teknologinya. Namun akselerasi produktivitas pascagoncangan pandemi berpotensi terjadi jika perusahaan dapat melebarkan sayap, dan itu terjadi jika permintaan menguat.

Ini sejalan dengan studi kuantitatif pada publikasi saya bersama Chatib Basri yang menunjukkan untuk kasus Indonesia, permintaan lebih kuat memicu investasi dibandingkan dengan sebaliknya. Ekspektasi yang lemah terhadap konsumsi akan mengurangi hasrat untuk berinvestasi dan kebutuhan mempekerjakan lebih banyak pekerja.

Dengan demikian rekomendasi pertama ada pada program vaksinasi yang efektif untuk memulihkan kepercayaan konsumen dan pada kebijakan fiskal yang ekspansif untuk menjaga daya beli masyarakat rentan dan menengah sampai Indonesia sepenuhnya pulih.

Pandemi juga mendorong percepatan adopsi teknologi yang seringkali berujung pada proses produksi yang lebih hemat tenaga kerja. Oleh karenanya rekomendasi kedua menekankan pada pentingnya mendorong perusahaan untuk tidak hanya memfokuskan produktivitas pada efisiensi, tetapi juga pada perluasan dan pertumbuhan pendapatan di seluruh ekosistemnya. Dengan ini produktivitas yang didapatkan akan diinvestasikan kembali untuk permintaan yang lebih besar.

Merangkul Pekerja

Jika pada kenyataannya pemulihan ekonomi memerlukan waktu yang lebih lama, sektor informal masih berpotensi memainkan peran yang lebih besar dan oleh karenanya Indonesia perlu merangkul pekerjanya. Mayoritas pekerja informal dekat hubungannya dengan usaha rumah tangga dan UMKM, sehingga produktivitasnya pun erat dengan kinerja UMKM.

Rekomendasi ketiga ada pada meningkatkan penetrasi pasar dan kualitas UMKM dengan mendorong keterlibatan di dalam ekosistem pemain besar dan atau dengan memanfaatkan teknologi untuk berpartisipasi di dalam platform.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perlu mitra untuk berkembang, untuk membantu mengatasi tantangan pandemi dan digitalisasi.

Yang terakhir, pelatihan perlu lebih gencar dilakukan, baik yang bersifat reaktif (sesuai dengan kebutuhan) maupun proaktif (peningkatan kognitif secara keseluruhan). Sebagai rekomendasi keempat, agenda pelatihan perlu dirancang sesuai dengan karakteristik targetnya.

Contohnya, perlu dipetakan apa yang ingin dicapai dari dan pelatihan seperti apa yang lebih akomodatif untuk segmen populasi yang tumbuh cepat tetapi berpendidikan rendah, populasi muda yang berpendidikan tinggi, wanita, usia kerja secara luas, dan lainnya.

Bicara mengenai produktivitas pekerja di tengah kondisi resesi memang tidaklah mudah, tapi perlu. Ketika nanti masyarakat sudah semakin sehat kesejahteraan pun pantas kembali diperjuangkan dan agendanya dimulai dari sekarang.

Peningkatan penciptaan kerja memang merupakan pemantik yang diperlukan. Namun dalam hal ketenagakerjaan, pekerjaan rumah yang utama sesungguhnya ada pada produktivitas yang kuat. Tanpanya, sulit tercipta pertumbuhan dan perbaikan taraf hidup yang berkesinambungan pascapemulihan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

LKPJ Gubernur DIY 2023, DPRD Beri Catatan soal Penurunan Kemiskinan Belum Capai Target

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 13:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement