Advertisement

OPINI: Gelombang PHK Industri TPT

Y. Sri Susilo
Kamis, 04 Juli 2024 - 06:37 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Gelombang PHK Industri TPT Y. Sri Susilo - Dok. Pribadi

Advertisement

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor unggulan manufaktur nasional. Selain menjadi penghasil devisa sejak beberapa dasa warsa terakhir, industri TPT menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja.

Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mencatat jumlah pekerja industri TPT mencapai 3,65 juta atau 18,79% dari total tenaga kerja industri manufaktur per tahun 2024.

Advertisement

Sebulan terakhir berita mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri TPT mengemuka di banyak media. Tahun lalu juga terjadi PHK yang sama. Sebenarnyaya PHK tersebut sudah terjadi sejak 2019. Mengapa PHK tersebut terjadi? Bagaimana solusinya? Jawaban kedua pertanyaan tersebut menjadi fokus tulisan ini.

Penyebab PHK tersebut karena beberapa perusahaan TPT produksinya menurun drastis sehingga memaksa mereka melakukan PHK atau merumahkan sementara pekerjanya. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat 49.206 pekerja di industri tekstil TPT terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak Januari 2024 hingga awal Juni.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan gelombang PHK di industri TPT 2024 paling banyak terjadi di lini industri antara (intermediate) yang mengolah bahan baku setengah jadi untuk memproduksi kain. Sepanjang Januari-Mei 2024, korban PHK di industri TPT sudah mencapai hampir 11.000 pekerja, angka tersebut meningkat cukup drastis dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan anjloknya permintaan di pasar-pasar ekspor utama produk TPT Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu maraknya PHK. Serbuan barang TPT impor, baik legal maupun ilegal, juga faktor penyebab. Kondisi tersebut mengikis pangsa pasar domestik bagi industri TPT.

Masuknya produk impor TPT dari China menjadikan produk domestik kalah bersaing. Dari berbagai sumber, kondisi di pasar TPT domestik saat ini bukan lagi sekadar dumping yang harus dihadapi oleh industri TPT dalam negeri, tetapi sudah mengarah pada persaingan tak sehat berupa prodatory pricing.
Strategi predatory pricing tersebut illegal karena menjual barang di bawah harga pasar. Hal tersebut merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli di pasar.

Kalangan industri TPT menyatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor menjadi penyebab membanjirnya produk TPT impor, khususnya dari China. Untuk diketahui, Permendag tersebut memberikan sejumlah kemudahan persayaratan produk impor yang masuk ke Indonesia.

Banjir produk impor TPT semakin menjadi-jadi semenjak diterbitkan Permendag tersebut yang merelaksasi atau memberikan kemudahan kegiatan impor tersebut.

Revisi Aturan

Melihat kondisi objektif tersebut maka seharusnya Permendag 8 Tahun 2024 direvisi dan diselaraskan dengan upaya peningkatan daya saing produk dalam negeri. Permendag tersebut dapat menurunkan optimisme pelaku industri dalam negeri, menghambat teknologi dan inovasi, serta meningkatkan ketergantungan pada produk impor. Akhirnya kebijakan Permendag tersebut melemahkan daya saing industri domestik, termasuk TPT.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk merespons terjadinya gelombang PHK di industri TPT. Informasi terakhir, pemerintah telah menyiapkan regulasi berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). BMTP adalah pungutan yang dapat dikenakan terhadap barang impor jika terjadi lonjakan jumlah barang impor yang secara absolut ataupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri sejenis atau barang yang dapat secara langsung bersaing.

BMAD adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian. Selanjutnya BMAD ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri dari persaingan tidak sehat dari pemasok produk impor yang sejenis.
Kedua kebijakan tersebut akan diimplementasikan dengan mengenakan tarif sebesar 100-200% terhadap produk impor.

Dalam kondisi saat ini, Pemerintah harus secepatnya menerapkan kebijakan tersebut. Dengan berlakunya regulasi tersebut diharapkan industri TPT secara bertahap bangkit dari keterpurukan. Pangsa pasar yang semula digerus oleh produk impor dapat direbut kembali.

Tahap selanjutnya dapat berproduksi dan memperkerjakan karyawannya kembali.
Di sisi lain, industri TPT domestik dari skala kecil, menengah dan besar harus meningkatkan produktivitasnya. Pencapaian produktivitas dapat dicapai bersamaan dengan melakukan efisiensi produksi. Dari capaian tersebut diharapkan produk TPT nasional mampu bersaing baik dari sisi harga dan kualitas. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa industri TPT tidak termasuk kategori industri yang sedang redup (sunset industry).

Catatan penutup, regulasi yang disusun Pemerintah untuk melindungi produk domestik tidak hanya dituntut baik dan lengkap di atas kertas. Regulasi tersebut juga harus ditegakkan secara optimal dalam implementasi di lapangan. Jika tidak optimal, kondisi tersebut menjadikan tujuan dan sasaran dari regulasi tidak tercapai.

Y. Sri Susilo
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY & Pengurus BPD Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

KPU Kota Jogja Pastikan Caleg DPRD Terpilih Telah Daftarkan LHKPN

Jogja
| Minggu, 07 Juli 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Tampil di Prambanan Jazz, Javier 'Lenon' Parisi Apresiasi Karya Musik Indonesia

Hiburan
| Minggu, 07 Juli 2024, 05:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement