Advertisement

NGUDARASA: Jurnal Predator bagi Pemburu Gelar Aspal

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Senin, 15 Juli 2024 - 06:52 WIB
Maya Herawati
NGUDARASA: Jurnal Predator bagi Pemburu Gelar Aspal Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Gambar Harian Jogja - Hengky Kurniawan\\r\\n\\r\\n

Advertisement

Membanjirnya jumlah profesor (juga doktor) dari kalangan non-akademik ternyata membuka peluang membeludaknya produksi jurnal predator (predatory journal) yang mendukung terciptanya figur guru besar abal-abal di dunia nyata sebagaimana terjadi belakangan ini.

Akhir-akhir ini, kita tentu sering menjumpai tokoh politik dan pengusaha yang namanya tetiba ketambahan beraneka titel akademik, bahkan tak jarang yang menyandang gelar profesor.

Advertisement

Terlebih mereka yang sedang mengincar posisi eksekutif di pelbagai tingkatan, dari bupati, wali kota, hingga gubernur. Kesemuanya menginginkan di depan dan belakang namanya terdapat embel-embel beraroma akademik yang sebenarnya tidak benar-benar mereka jalani.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk memperoleh gelar akademik tanpa menjalani bot-repot-nya perkuliahan, cukup menyediakan sejumlah lembaran rupiah berdenominasi besar saja. Selebihnya, jreeng.., dia tinggal mengikuti formalitas akademik berupa sidang terbuka untuk mempertahankan disertasi yang cenderung bersandiwara itu.

Atau, seseorang pengincar gelar aspal alias asli tapi palsu itu tetiba dikukuhkan sebagai guru besar bidang tertentu setelah membacakan pidato ilmiah—yang nilai keilmiahannya layak dipertanyakan—dan keesokan harinya dia sudah menyandang gelar tertinggi di dunia akademik, yakni profesor.

Mereka yang bertanya-tanya tentang kapan ngajarnya seseorang itu kok tiba-tiba di depan namanya bertengger gelar “Prof.” pasti bakal kesulitan memperoleh jawaban pasti mengenai hal itu.

Khusus untuk gelar doktor—yang dianggap setara lulusan S3, dengan titel  Ph. D. alias doctor of philosophy—kini menjadi komoditas yang laris bagaikan membeli pisang goreng. Salah seorang doktor beneran pernah bercerita kepada saya bahwa dia bersama sejumlah kawan doktornya dari sebuah perguruan tinggi ternama di Jawa Barat pernah memperoleh ‘kontrak’ dari seorang calon kontestan pemimpin eksekutif tertinggi di negeri ini.

Seluruh pekerjaan penyiapan disertasi, tutur rekan tadi, dipersiapkan dengan baik oleh tim yang dikoordinasikannya, termasuk simulasi sidang untuk mempertahankan disertasi. Untungnya, sang calon tersebut memang memiliki otak yang lumayan, dan cepat belajar. Walhasil, sang calon tadi sukses meraih suara tertinggi dan menjadi seperti yang diinginkannya. “Meskipun tidak melakukan kegiatan riset sendiri, karena dikontrakkan kepada tim saya itu, ketika maju sidang lumayan juga lho dia. Cukup menguasai persoalan dan berhasil mempertahankan disertasi dengan memuaskan atau bahkan cum laude kalau saya tidak salah ingat,” ujar rekan doktor beneran tadi mengenang pengalaman belasan tahun silam.

Masyarakat di negeri ini, sebagian besar, ternyata memang masih silau dan mudah terpukau dengan gelar akademik seseorang. Fenomena inilah yang memicu seorang calon pengincar posisi eksekutif—juga legislatif maupun yudikatif—rela merogoh kantung dalam-dalam untuk memperoleh deretan gelar akademik tersebut, kendati kapasitas riil yang bersangkutan mungkin tidak sepadan dengan gelar yang perolehnya itu.

Manisnya bisnis gelar akademik ini ternyata memicu kebangkitan bisnis pendukungnya, termasuk di antaranya produksi jurnal akademik kelas picisan atau yang dikenal sebagai predatory journal alias jurnal predator.

Dengan jurnal predator ini, pembuat skripsi, tesis, hingga disertasi dapat dengan leluasa memperoleh kutipan beraroma akademik pula seusai selera yang bersangkutan. Dengan demikian, akan mudah bagi yang bersangkutan untuk membuat karya akademik berbasis jurnal predator tersebut yang tentu saja dihasilkan oleh penerbit predator.

Penyesatan Ilmiah

Cendekiawan dan penerbit terkemuka dari sejumlah negara telah menyepakati definisi penerbitan predator ini, yakni sebagai entitas yang mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan rujukan ilmiah dan dicirikan dengan informasi yang salah atau menyesatkan. Jurnal predator merupakan penyimpangan dari editorial dan publikasi terbaik.

Jurnal predator juga dikenal sebagai jurnal palsu atau abal-abal, menyamar sebagai publikasi ilmiah yang sah sambil melakukan praktik yang meragukan. Jurnal-jurnal ini merusak integritas penelitian ilmiah dan menimbulkan tantangan besar bagi penulis dan pembaca.

Sejumlah tanda bahaya yang menunggangi jurnal predator dapat dilihat dari berbagai hal seperti (1) klaim palsu. Mereka salah menggambarkan praktik penerbitannya, sering kali menjanjikan layanan tinjauan sejawat (peer) dan editorial yang ketat namun, biasanya tidak terbukti. Selain itu, penerbit jurnal predator melakukan (2) permintaan secara agresif: Penulis atau kontributor jurnal menerima email yang isinya mengundang mereka untuk mengirimkan artikel dan sering kali disertai dengan permintaan biaya publikasi yang selangit. Ada pula ciri jurnal predator yang mencolok yakni (3) sains berkualitas rendah. Artikel yang diterbitkan di jurnal predator mungkin kurang mendapat pengawasan tepat, sehingga menghasilkan penelitian di bawah standar.

Anatomi penerbitan jurnal predator dapat ditilik dari model berbasis biaya. Jurnal predator biasanya membebankan biaya pemrosesan artikel yang besar kepada penulis tanpa memberikan layanan editorial yang sebenarnya. Biaya tersebut merupakan sumber pendapatan utama untuk jurnal tersebut.

Tidak seperti jurnal dengan reputasi baik, jurnal predator hanya meninjau kontribusi ‘naskah ilmiah’ secara dangkal, jika memang ada. Tinjauan sejawat (peer) seringkali tidak ada atau tidak memadai. Dapat dikatakan bahwa pemeriksaan kualitas jurnal sangat minimal. Jurnal predator seringkali memanipulasi faktor ukuran (seperti faktor dampak) agar tampak kredibel. Penulis jurnal predator tidak memverifikasi faktor ukuran dalam jurnal yang mereka hasilkan melalui database yang andal.

Berbagai hal tersebut tentu saja berdampak pada hasil penelitian yang mengutip jurnal predator tersebut. Dapat dikatakan bahwa jurnal predator membanjiri dunia ilmiah dengan artikel-artikel berkualitas rendah, sehingga semakin sulit untuk menemukan penelitian yang dapat diandalkan. Dengan merujuk jurnal predator itu, peneliti yang sesungguhnya cuma membuang-buang waktu untuk memilah-milah penelitian yang tidak relevan atau cacat.

Jurnal predator sering kali mencantumkan pakar palsu atau bahkan sebenarnya tidak ada. Bagi mereka yang kurang ‘bergaul’ dengan dunia ilmiah, adalah hal yang sangat berbahaya menggunakan rujukan dari jurnal predator tersebut. Karena hasil penelitian, kajian, maupun analisisnya dapat dipastikan abal-abal pula. Peneliti yang sah dapat dipastikan menghindari mengutip karya semacam itu.

Untuk menghindari jurnal predator, seorang akademisi sejati perlu memeriksa reputasi sebuah jurnal antara lain dengan menggunakan sumber daya seperti Beall’s List (dibuat oleh pustakawan Jeffrey Beall) untuk mengidentifikasi penerbit predator potensial. Disarankan pula untuk menyelidiki situs web jurnal, dewan editorial, dan proses peer review (tinjauan sejawat) yang diterapkan oleh sebuah jurnal.

Selain itu, masyarakat ilmiah dapat tetap mengandalkan database yang bereputasi baik (misalnya PubMed, Scopus) untuk mengukur kualitas sebuah jurnal. Jurnal predator mengeksploitasi ekosistem penerbitan dan ‘memangsa’ penulis yang tidak menaruh curiga. Peneliti harus tetap waspada, mengutamakan kualitas, dan berkontribusi pada jurnal bereputasi dan menjunjung standar ketat. Dengan melakukan hal ini, kita menjaga integritas pengetahuan ilmiah.

Tanda-tanda umum jurnal predator dapat ditilik dari bagaimana mereka secara keliru mengklaim tinjauan sejawat yang ketat, menyembunyikan informasi tentang biaya pemrosesan artikel, ataupun salah mengartikan kebijakan dewan redaksi. Beberapa penulis jurnal pernah menghadapi situasi serupa kejahatan dunia maya, termasuk tuntutan pembayaran ganda, komunikasi yang tiada henti, dan bahkan ancaman fisik dari perwakilan jurnal. Kalangan akademisi diharapkan untuk selalu memverifikasi kredibilitas senuah jurnal dan menghindari jebakan penerbit predator.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal DAMRI ke Pantai Baron Gunungkidul, Parangtritis Bantul, Candi Prambanan dan Borobudur, Cek di Sini

Jogja
| Minggu, 08 September 2024, 05:27 WIB

Advertisement

alt

PROJEK-D VOL.3 Siap Guncang DeTjolomadoe Akhir Pekan Ini

Hiburan
| Sabtu, 07 September 2024, 20:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement