Advertisement

OPINI: Penghormatan pada Eks Ibu Kota

Prof Arissetyanto Nugroho
Selasa, 18 Juni 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Penghormatan pada Eks Ibu Kota Prof Arissetyanto Nugroho - JIBI

Advertisement

Habis manis, sepah dibuang. Pepatah itu sungguh berlaku universal. Begitu pun yang terjadi pada eks pusat pemerintahan Indonesia yang lebih populer disebut ibu kota negara ini. Wajah kotanya lebih banyak menjadi coreng-moreng. Lebih banyak meninggalkan luka dan goresan sejarah yang nyaris dilupakan.

Bagi sebagian pelajar, mahasiswa, dosen, birokrat, bahkan politisi belum tentu tahu sejak era perjuangan kemerdekaan hingga era kemerdekaan diproklamirkan tercatat enam kali Indonesia berpindah lokasi ibu kota negara. Semua perpindahan-nya memiliki latar belakang politik yang berbeda-beda.Terakhir ini ibu kota negara bernama Nusantara yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser di Kalimantan Timur. Nusantara menjadi ibu kota negara keenam memiliki kisah berbeda dari ‘kakak’-nya.

Advertisement

Nusantara sebagai lanskap ibu kota yang lebih terencana lahir dalam dinamika politik yang relatif stabil dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Meski penuh pergulatan dan penolakan dari berbagai kalangan, namun Presiden Joko Widodo tak bergeming. Memilih terus melanjutkannya. Layaknya sebuah negara yang merdeka, keberadaan pusat pemerintahan memiliki peran strategis. Bukan sebatas sebagai pusat pemerintahan yang memproduksi berbagai kebijakan publik, ibu kota negara juga sebagai simbol kemakmuran, kemajuan dan keagungan suatu bangsa.

Dalam perjalanannya, Indonesia mengalami perpindahan ibu kota negara untuk beberapa kali. Terutama selama masa perjuangan kemerdekaan. Tepatnya sepanjang 1945–1949. Kini ibu kota negara kembali berpindah. Dalam naskah akademik tentang pemindahan ibu kota yang disusun Bappenas pada 2020, mencatat sejumlah alasan perpindahan. Pertama jumlah penduduk yang tak terkendali, kerusakan lingkungan, kenyamanan hidup yang menurun serta disparitas pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta. Atas dasar itulah kemudian disusun Undang-Undang No.21/2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Sehingga secara yuridis ibu kota negara pindah ke kota Nusantara, Kalimantan.

Momentum Khusus

Pindah ibu kota negara bukanlah hal baru. Setidaknya tercatat 15 negara pernah melakukan pindah ibu kota, di antaranya Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Jepang, Brasil, Pakistan hingga Myanmar. Australia misalnya, memindah ibu kota dari Melbourne menjadi Canberra. Melalui polling yang dilakukan secara terbuka dan dinamika politik yang juga cukup tajam, pada 1913 Australia resmi menempatkan Canberra sebagai ibu kota negara. Malaysia juga memindahkan ibu kota, dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya pada 1999 dengan proses kajian yang mendalam dan keterlibatan berbagai pihak. Kemudian Myanmar juga berpindah ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005.

Menariknya perpindahan ibu kota yang dilakukan sejumlah negara itu tidaklah seekstrem Indonesia. Karena negara-negara tersebut berpindah ibu kota pada wilayah atau daerah yang relatif berdekatan. Atau setidaknya relatif mudah terjangkau melalui jalur darat. Sementara Indonesia memindahkan ibu kota berbeda pulau. Butuh dua jam penerbangan dari Jakarta sampai tiba ke Kota Nusantara. Itu pun dengan kondisi lahan dipersiapkan dari ‘nol’.

Dengan kata lain hanya Indonesia yang memindahkan ibu kota dengan jarak paling jauh dan berbeda pulau. Tentu saja perpindahan ibu kota negara merupakan peristiwa bersejarah yang perlu terus dikenang. Bukan semata pada makna pemindahan secara geografis, tetapi latar belakang perpindahan yang multidimensi menjadi bekal pengetahuan yang perlu dijaga.

Perpindahan ibu kota negara ke Bukittinggi dan Jogjakarta merupakan upaya strategi perjuangan menjaga kedaulatan negara. Mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Hasilnya, perpindahan ibu kota negara itu mampu menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara merdeka. Perjuangan diplomasi melalui berbagai perundingan berhasil mendapat pengakuan atas kemerdekaan.

Sedangkan perpindahan ibu kota ke Nusantara, memiliki dimensi perjuangan berbeda. Dengan meminjam kajian akademik Bappenas 2020, perpindahan ibu kota lebih kental pada muatan peningkatan kesejahteraan negara. Kendati pembuktian kajian itu belum dapat dilihat secara instan.

Terlepas dari semua itu, esensi pemindahan ibu kota negara tidak pantas diabaikan begitu saja. Melewati waktu dan dinamika kehidupan bangsa tanpa pemaknaan mendalam. Perpindahan ibu kota perlu disematkan dalam monumen, artefak atau simbol tertentu. Pilihan monumen, artefak atau simbol yang unik di lokasi eks ibu kota negara tidak sebatas penanda sejarah. Keberadaan monumen, artefak atau simbol yang unik itu bisa menjadi pintu masuk peningkatan kunjungan wisata dalam dan luar negeri.

Keberadaan monumen, artefak atau simbol yang unik ini memperkaya destinasi sejarah sekaligus menambah daya tarik kota. Karena tidak semua wilayah memiliki sejarah sebagai eks ibu kota negara. Keunggulan itulah yang memberikan pemikat wisatawan secara khusus. Harapannya keberadaan monumen, artefak atau simbol tertentu pada eks ibu kota negara menjadi penyambung pengetahuan. Sekaligus penguat tali sejarah dari generasi ke generasi. Agar tidak seperti pepatah habis manis, sepah dibuang. Semoga. 

Prof Arissetyanto Nugroho
Dekan Pariwisata Universitas Pancasila

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Demi Lolos PPDB Jalur Zonasi, Banyak Orang Tua di Gunungkidul Siasati Titik Tagging

Gunungkidul
| Rabu, 26 Juni 2024, 19:47 WIB

Advertisement

alt

Film Dokumenter Karier Bermusik Penyanyi Rossa Segera Diluncurkan

Hiburan
| Selasa, 25 Juni 2024, 23:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement