Advertisement

WAWANCARA: Reformasi Militer Berjalan Konsisten

Perspektif Baru
Senin, 02 Juli 2018 - 07:19 WIB
Sugeng Pranyoto
WAWANCARA: Reformasi Militer Berjalan Konsisten Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto seusai rapat pimpinan TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2018). - Suara/Erick Tanjung

Advertisement

Salam Perspektif Baru,

Narasumber kali ini adalah Andi Widjajanto, pakar dalam bidang pertahanan dan keamanan yang menjabat sebagai Analis Senior Kelompok Kerja (Pokja) Delapan.

Advertisement

Menurut Andi Widjajanto, salah satu keberhasilan demokratisasi yang dilakukan secara konsisten dari 1998-1999 membuat militer kembali ke ranah profesionalnya. Saat ini reformasi militer masih berjalan konsisten. Itu karena Indonesia memiliki dua UU yaitu UU Pertahanan yang diresmikan pada 2002 dan UU TNI pada 2004. Kedua UU ini memberikan panduan bagi bagaimana menjalankan reformasi militer, memperkuat kerangka supremasi sipil, memperkuat peran dari Kementerian Pertahanan misalnya, dan memberi arah yang jelas bagi TNI untuk melakukan modernisasi dirinya.

Pada 2018 kita ada 171 pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Pada depan, 2019,  akan ada pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Dalam Pilkada serentak 2018, terdapat calon dari latar belakang militer, tetapi jumlahnya hanya belasan. Mengapa jumlahnya hanya belasan saja?

Salah satu penjelasannya adalah karena kita sudah melaksanakan reformasi militer secara konsisten sejak 2004, sejak ada Undang-Undang (UU) No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam UU TNI tersebut Indonesia sudah mencabut doktrin Dwifungsi, doktrin Sospol, dan sudah tidak lagi mengenal tugas kekaryaan. 

Militer tidak lagi mempunyai bisnis militer. Militer tidak bisa lagi bekerja di luar 10 instansi pemerintah yang terkait dengan tugas pertahanan. Dengan aturan-aturan ini maka militer cenderung mengarah ke militer yang profesional, yang melakukan tugas-tugas TNI yang ada di dalam UU TNI. Hal itu tidak memungkinkan bagi perwira militer untuk menyiapkan dirinya untuk masuk ke ranah politik atau ekonomi seperti di masa Orde Baru. 

Kalau zaman Orde Baru kita mengetahui semua gubernur di Jawa, kecuali DIY, harus memiliki pangkat minimal bintang tiga dan merupakan militer aktif. Beberapa provinsi utama pun demikian. Itu semua tidak ada lagi, dan kecenderungan ini berlanjut terus. 

Salah satu keberhasilan demokratisasi yang kita lakukan secara konsisten dari 1998-1999 membuat militer kembali ke ranah profesionalnya. Walaupun masih ada, mungkin tidak sampai 3% yang setiap pilkada mengajukan diri. Mungkin nanti saat pemilu legislatif (pileg) saya yakin juga tidak akan sampai 3%, tapi sebagian besar purnawirawan TNI normalnya tidak akan lagi masuk ke ranah politik aktif.

 

Dalam UU Pemilu memperbolehkan militer untuk ikut mencalonkan asalkan sudah berstatus purnawirawan atau mengundurkan diri. Apa yang menjadi penyebab utama mereka tidak mau memanfaatkan adanya peluang itu?

Pertama, secara struktural militer tidak lagi mempunyai mesin jejaring teritorial, dan intelijen networking yang mereka bisa kapitalisasi untuk mendukung manuver-manuver politiknya. Kedua, dari sisi karier seorang militer, biasanya mereka berkarier selama 20-30 tahun di instansi militer dimana mereka akan terus-menerus berpindah-pindah. Tour of duty mereka sangat sering. 

Pengalaman saya pribadi, yaitu ayah dan ibu saya keduanya adalah militer Angkatan Darat. Ayah saya pensiunan bintang dua, Ibu saya pensiunan mayor. Rumah saya yang sekarang adalah rumah yang ke-22. Saya berpindah-pindah terus. Saya pernah di satu provinsi, Jawa Timur, pindah rumah sampai tujuh kali. Saya pernah sekolah hanya dua bulan karena ayah saya sudah pindah tugas lagi. 

Tour of Duty yang sangat sering dan tidak ada logika politiknya. Tour of Duty itu benar-benar untuk kepentingan organisasi, tidak membuat seorang perwira mampu untuk membangun konstituen politiknya di suatu tempat. Jadi tidak bisa putra daerah membangun konstituen politik di suatu daerah untuk kemudian kembali dan membangun daerah. 

Ayah saya dari Bugis, dia tidak bisa membangun konstituen politik di Bugis sehingga ketika dia pensiun dan ingin menjadi calon kepala daerah, tidak bisa mencalonkan diri di sana. Ayah saya yang lahir di Makassar tidak pernah sekalipun bertugas di sana. Itu yang membuat konstituen politik tidak bisa dibangun.

 

Pada masa Orde Baru supremasi sipil itu nihil. Setelah reformasi, supremasi sipil dan militer kembali kepada tugas fungsi profesionalnya. Jadi kita melihat jabatan publik  banyak diisi oleh orang-orang sipil. Bagaimana supremasi sipil bisa berjalan bagus di Indonesia?

Pertama, kita memiliki dua UU yaitu UU Pertahanan yang diresmikan pada 2002 dan UU TNI pada 2004. Kedua UU ini memberikan panduan bagi kita bagaimana menjalankan reformasi militer, memperkuat kerangka supremasi sipil, memperkuat peran dari Kementerian Pertahanan misalnya, dan memberi arah yang jelas bagi TNI untuk melakukan modernisasi dirinya.

Kita memiliki suatu rencana kerja yang tidak putus sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu pembangunan kekuatan pertahanan minimum sampai 2024, yang di masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap dilanjutkan dan pencapaian targetnya juga sesuai dengan yang diharapakan. 

Misalnya, kalau dilihat dari modernisasi, kemarin saya baru kembali dari PT PAL, diundang untuk melihat perakitan kapal selam keempat kita. Kapal selam itu merupakan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan yang dibuat di Korea Selatan. Teknisi kita terlibat dalam pembuatannya, lalu 100% dirakit di PT PAL dan akan siap diluncurkan mungkin satu sampai satu setengah bulan. 

Nanti untuk kapal selam kelima 100% dibuat di Indonesia dan dibuat di PT PAL. Itu sudah menunjukkan bahwa modernisasi bukan saja berhasil, tapi juga disertai dengan transfer teknologi yang advanced. Transfer teknologi itu akan memperkuat industri pertahanan. Itu merupakan satu sisi dari bagaimana transformasi pertahanan ini kita jalankan. 

Sisi yang lain adalah terjadi re-organisasi dari gelar militer. Misalnya, baru-baru ini Presiden dan Panglima TNI meresmikan keberadaan komando-komando utama baru. Ada Divisi Tiga Kostrad di Sulawesi Selatan, ada Pasukan Marinir Tiga di Papua Barat, ada Armada Tiga juga di Papua Barat, dan ada Komando Operasi Angkatan Udara Tiga di Papua Barat. 

Ini menunjukkan bahwa gelar teritorial TNI tidak lagi ditujukan dengan logika membayangi jejaring pemerintahan sipil seperti masa Orde Baru, dan juga tidak lagi dengan logika untuk politik elektoral tertentu. Namun betul-betul melihat bahwa Indonesia mempunyai tiga alur laut kepulauan. Jadi keberadaan Divisi Satu, Dua, dan Armada Satu, Dua, Tiga memang disesuaikan dengan kebutuhan pertahanan kita. Hal ini membuat TNI juga menjadi makin profesional karena sudah ada alat yang baru, ada alutsista yang baru, dan ada gelar yang semakin relevan. 

Ketiga, yang paling penting adalah kesejahteraan prajurit dan perwiranya meningkat drastis. Tidak seperti di masa Orde Baru yang gajinya minim, sehingga dia harus memiliki tambahan melalui jejaring ekonomi abu-abunya. Sekarang tidak perlu lagi karena 100% pendapatan bisa ditopang oleh APBN dan dalam skala yang sedikit lebih baik dari misalnya gaji-gaji yang diterima oleh PNS lain.

 

Apakah tiga faktor itu akan membuat kita tenang bahwa militer tidak akan masuk lagi ke ranah sipil?

Kalau dilihat dari tren statistik menunjukkan bahwa tidak ada pembalikkan sejarah militer yang sudah kita dorong melakukan reformasi, kemudian berbalik menuju cenderung militer arah Orde Baru. Misalnya di Pilkada 2018, kita memang masih melihat beberapa purnawirawan militer yang maju seperti Edy Rahmayadi, yang masih aktif sebagai Pangkostrad, maju sebagai calon Gubernur Sumatra Utara. Namun pada saat maju, dia kemudian pensiun dini dan keluar dari kemiliteran. Selain itu, ada juga TB Hasanuddin, dan Sudrajad yang maju. Tetapi dilihat dari persentase sangat jauh, sangat kecil, dan terus menerus kelihatan persentasenya menurun. 

Hal yang sama kalau dilihat, misalnya militer yang masuk ke partai politik. Di masing-masing partai kita akan susah menemukan lima orang perwira tinggi yang bergabung dalam partai politik, apalagi kalau kita kemudian mencari yang menduduki jabatan signifikan di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai. 

Dulu yang menjadi Ketua Umum partai ada Wiranto, tapi kini Wiranto sudah diganti oleh Oesman Sapta Odang. Yang menjabat sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) partai sekarang tinggal Sekjen Golkar yaitu Lodewijk Freidrich. Yang menjadi ketua DPP partai mungkin hanya Supiadin A Saputra di Nasdem. Itu saja yang bisa muncul secara mudah, tapi itu menunjukan bahwa politik praktis militer mengalami penurunan signifikan kalau kita melihatnya jauh ke belakang di masa Orde Baru. 

 

Satu atau dua tahun lalu Presiden Jokowi mau mengarahkan TNI untuk membantu ketahanan pangan. Artinya mau menarik TNI terlibat lagi dalam hal-hal di luar tugas dan fungsinya secara profesional. Apakah itu akan berbahaya nantinya dan bagaimana Anda melihatnya?

Iya, itu betul-betul harus dikaji dan kemudian dikawal dengan menggunakan dua UU yang ada yaitu UU Pertahanan dan UU TNI. Memang kelihatan bahwa pemerintah kesulitan untuk mengaplikasikan ide-ide untuk melibatkan TNI kalau tidak langsung terkait dengan pertahanan, misalnya tentang kedaulatan pangan.

 

Yang akhirnya terjadi adalah Koramil dan Babinsa dilakukan dengan “nyantol” ke pasal 8, 9, dan 10 yang ada di UU TNI tentang pemberdayaan sumber daya pertahanan. Yang mereka lakukan juga hanya sekadar pelaporan untuk memastikan bahwa logistik yang ada di daerah itu bisa dihitung dan dikalkulasi sehingga aman atau tidak untuk ketahanan pangan di daerah. Namun mereka tidak terlibat aktif, misalnya seperti pada saat Orde Baru yaitu melakukan penyuluhan pertanian.

Mereka juga tidak lagi terlibat aktif dalam distribusi benih dan pupuk karena tidak ada rujukan untuk itu. Begitu tidak ada rujukan UU tentang itu, maka konsekuensinya adalah program kerjanya tidak bisa dianggarkan. Anggarannya tidak bisa dialokasikan oleh Kementerian Keuangan ke Kementerian Pertahanan, kemudian ke Mabes TNI.

Begitu program kerjanya tidak bisa dibuat dan alokasi anggarannya tidak bisa dialokasikan, maka program ini tidak bisa dijalankan. Keketatan semacam itu sekarang muncul karena kita sudah melaksanakan reformasinya secara konsisten.

 

Salah satu bidang kajian Anda adalah reformasi militer dan transformasi pertahanan. Saat ini yang saya dengar hal itu sedang dikaji oleh Pokja 8 yang didalamnya ada Anda sebagai Analis senior. Bagaimana sebenarnya kerja Pokja 8 mengenai reformasi militer?

Kami buat Pokja 8 terutama untuk menjembatani dua generasi analis militer. Saya dengan para analis seperti Edy Prasetyono, Makmur Keliat, Kusnanto Anggoro, Ikrar Nusa Bhakti, Rizal Sukma, Munir (almarhum) adalah generasi keempat dari analis militer di Indonesia. Di atas kami ada Juwono Sudarsono, Salim Said, dan lain-lain. 

Kami melihat mulai muncul generasi kelima yaitu teman-teman terutama yang baru pulang dari pendidikan doktoral yang mempelajari tentang industri pertahanan, ekonomi pertahanan, intelijen, kontra teror, dan sebagainya. Jadi kami berusaha menjembatani supaya kami tidak putus ke bawah. 

Jadi sekarang kami mendirikan Pokja 8 dengan Edy Prasetyono sebagai ketuanya. Sedangkan saya sebagai analis senior. Namun yang benar-benar leading sekarang ada dua Doktor baru yaitu Cory Maharani, lulusan Cranfield, Inggris, spesialisasinya ekonomi pertahanan dan satu lagi adalah Yandri Kurniawan spesialisasinya tentang National Security lulusan Freiburg, Jerman. Di bawahnya ada researcher-researcher yang juga baru pulang dari pendidikan S2 atau S3.

Spesialisasi kami di pertahanan, keamanan, intelijen dalam dan luar negeri. Sekarang kami berinteraksi dengan pihak pemerintah terutama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) Deputi V Jaleswari Pramodhawardani. Jadi sekarang kami membantu kalau ada kajian-kajian khusus dimana pelibatan dari komunitas epistemik pertahanan dibutuhkan. Terakhir kami memberikan masukan tentang turunan Perpres pelibatan TNI yang diinginkan dari hasil revisi UU Anti Terorisme.

 

Bagaimana hasil kajian tersebut?

Pendapat dari kajian kami di Pokja 8 adalah UU Anti Terorisme pada dasarnya menempatkan aksi terorisme sebagai tindak pidana atau tindak kejahatan. Karena ditempatkan sebagai tindak pidana, penjurunya harus penegak hukum yaitu polisi. Kalau memakai UU Anti Terorisme sebagai rujukan, pelibatan TNI pasti perbantuan dan polisi yang menentukan kebutuhan pelibatan TNI seperti apa. 

Namun kita memiliki peluang untuk melibatkan TNI langsung kalau aksi terorismenya dianggap sebagai ancaman. Yang digunakan bukanlah UU Anti Terorisme tetapi UU TNI Pasal 7 dan itu sudah kita pakai selama ini. Saya selalu mencontohkan ada tiga kejadian terorisme yang langsung melibatkan TNI atas perintah presiden yang saat itu Densus 88 tidak berperan dan tidak relevan. 

Pertama, kasus sandera di Somalia. Saat itu kita mengirim Satgas Merah Putih yang penjurunya adalah Marinir. Kedua, pembebasan sandera yaitu reporter Metro TV Meutya Hafid di Irak, yang dikirim adalah BIN, BAIS, dan 81. Ketiga, pembebasan sandera Abu Sayyaf di Filipina Selatan, kembali kita melakukan operasi intelijen dari teman-teman terutama 81. 

Di situ Polri dan Densus 88 tidak relevan karena berada di luar wilayah yuridiksi nasional kita. Saat itulah Pasal 7 sudah diaktifkan langsung melalui keputusan politik presiden. Yang diinginkan di Perpres pelibatan TNI lebih mengatur secara detail bagaimana nanti pelibatan TNI yang langsung atau kalau ada pelibatan TNI yang merupakan terminologi yang dipakai adalah operasi imbangan terhadap Polri seperti kasus pelibatan Batalyon Raider untuk membantu Polri melakukan operasi penangkapan Santoso di Poso.

 

Terakhir, bagaimana arah reformasi militer kita ke depannya?

Reformasi militer selalu menghadapi ujian politik pada saat ada momentum pemilihan pimpinan nasional. Ujian politik berikutnya adalah di April 2019. Ujian politik secara formal institusional akan mudah dilewati karena pasti Panglima TNI, Kapolri, dan juga Kepala BIN akan mengeluarkan instruksi untuk menjaga netralitas. 

Yang akan menjadi problematika adalah kalau ada poros-poros politik militer yang mengelilingi presiden. Misalnya, di Tim Presiden Jokowi, kita tahu ada Wiranto, Moeldoko, Luhut B Panjaitan,  AM Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, dan sebagainya. Bagaimana caranya kita menjaga agar keberadaan jenderal-jenderal purnawirawan ini tidak membuat terjadinya manuver politik yang menggerakkan institusi militer. 

Di sisi lainnya tentu kita tahu Prabowo Subianto juga mempunyai poros militernya. Kita juga melihat SBY punya poros militernya. Ujian terberat dari reformasi militer adalah ketika ada calon-calon presiden yang dikelilingi oleh poros politik militernya. Namun dengan begitu banyaknya poros militer, akan sulit bagi TNI untuk terlibat dalam politik militer karena ini tidak satu atau monolit. Jadi netralitas TNI akan tetap menjadi pilihan terbaik yang bisa dilakukan oleh Mabes Cilangkap untuk mengarahkan bagaimana prajurit, perwira berpedoman dalam pemilu 2019.

 

       

Salam Perspektif Baru,

Narasumber kali ini adalah Andi Widjajanto, pakar dalam bidang pertahanan dan keamanan yang menjabat sebagai Analis Senior Kelompok Kerja (Pokja) Delapan.

Menurut Andi Widjajanto, salah satu keberhasilan demokratisasi yang dilakukan secara konsisten dari 1998-1999 membuat militer kembali ke ranah profesionalnya. Saat ini reformasi militer masih berjalan konsisten. Itu karena Indonesia memiliki dua UU yaitu UU Pertahanan yang diresmikan pada 2002 dan UU TNI pada 2004. Kedua UU ini memberikan panduan bagi bagaimana menjalankan reformasi militer, memperkuat kerangka supremasi sipil, memperkuat peran dari Kementerian Pertahanan misalnya, dan memberi arah yang jelas bagi TNI untuk melakukan modernisasi dirinya.

Pada 2018 kita ada 171 pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Padadepan, 2019, akan ada pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Dalam Pilkada serentak 2018, terdapat calon dari latar belakang militer, tetapi jumlahnya hanya belasan. Mengapa jumlahnya hanya belasan saja?

Salah satu penjelasannya adalah karena kita sudah melaksanakan reformasi militer secara konsisten sejak 2004, sejak ada Undang-Undang (UU) No.34/2004 tentangTentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam UU TNI tersebut Indonesia sudah mencabut doktrin Dwifungsi, doktrin Sospol, dan sudah tidak lagi mengenal tugas kekaryaan.

Militer tidak lagi mempunyaibisnis militer. Militer tidak bisa lagi bekerja diluar 10 instansi pemerintah yang terkait dengan tugas pertahanan. Dengan aturan-aturan ini maka militer cenderung mengarah kemiliter yang profesional, yang melakukan tugas-tugas TNI yang ada di dalam UU TNI. Hal itu tidak memungkinkan bagi perwira militer untuk menyiapkan dirinya untuk masuk ke ranah politik atau ekonomi seperti di masa Orde Baru.

Kalau zaman Orde Baru kita mengetahui semua gubernur di Jawa, kecuali DIY, harus memiliki pangkat minimal bintang tiga dan merupakan militer aktif. Beberapa provinsi utama pun demikian. Itu semua tidak ada lagi, dan kecenderungan ini berlanjut terus.

Salah satu keberhasilan demokratisasi yang kita lakukan secara konsisten dari 1998-1999 membuat militer kembali ke ranah profesionalnya. Walaupun masih ada, mungkin tidak sampai 3% yang setiap pilkada mengajukan diri. Mungkin nanti saat pemilu legislatif (pileg) saya yakin juga tidak akan sampai 3%, tapi sebagian besar purnawirawan TNI normalnya tidak akan lagi masuk ke ranah politik aktif.

 

Dalam UU Pemilu memperbolehkan militer untuk ikut mencalonkan asalkan sudah berstatus purnawirawan atau mengundurkan diri. Apa yang menjadi penyebab utama mereka tidak mau memanfaatkan adanya peluang itu?

Pertama, secara struktural militer tidak lagi mempunyai mesin jejaring teritorial, dan intelijen networking yang mereka bisa kapitalisasi untuk mendukung manuver-manuver politiknya. Kedua, dari sisi karier seorang militer, biasanya mereka berkarier selama 20-30 tahun di instansi militer dimana mereka akan terus-menerus berpindah-pindah. Tour of dutymereka sangat sering.

Pengalaman saya pribadi, yaitu ayah dan ibu saya keduanya adalah militer Angkatan Darat. Ayah saya pensiunan bintang dua, Ibu saya pensiunan mayor. Rumah saya yang sekarang adalah rumah yang ke-22. Saya berpindah-pindah terus. Saya pernah di satu provinsi, Jawa Timur, pindah rumah sampai tujuh kali. Saya pernah sekolah hanya dua bulan karena ayah saya sudah pindah tugas lagi.

Tour of Duty yang sangat sering dan tidak ada logika politiknya. Tour of Duty itu benar-benar untuk kepentingan organisasi, tidak membuat seorang perwira mampu untuk membangun konstituen politiknya di suatu tempat. Jadi tidak bisa putra daerah membangun konstituen politik di suatu daerah untuk kemudian kembali dan membangun daerah.

Ayah saya dari Bugis, dia tidak bisa membangun konstituen politik di Bugis sehingga ketika dia pensiun dan ingin menjadi calon kepala daerah, tidak bisa mencalonkan diri disana. Ayah saya yang lahir di Makassar tidak pernah sekalipun bertugas disana. Itu yang membuat konstituen politik tidak bisa dibangun.

 

Pada masa Orde Baru supremasi sipil itu nihil. Setelah reformasi, supremasi sipil dan militer kembali kepada tugas fungsi profesionalnya. Jadi kita melihat jabatan publik banyak diisi oleh orang-orang sipil. Bagaimana supremasi sipil bisa berjalan bagus di Indonesia?

Pertama, kita memiliki dua UU yaitu UU Pertahanan yang diresmikan pada 2002 dan UU TNI pada 2004. Kedua UU ini memberikan panduan bagi kita bagaimana menjalankan reformasi militer, memperkuat kerangka supremasi sipil, memperkuat peran dari Kementerian Pertahanan misalnya, dan memberi arah yang jelas bagi TNI untuk melakukan modernisasi dirinya.

Kita memiliki suatu rencana kerja yang tidak putus sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu pembangunan kekuatan pertahanan minimum sampai 2024, yang di masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap dilanjutkan dan pencapaian targetnya juga sesuai dengan yang diharapakan.

Misalnya, kalau dilihat dari modernisasi, kemarin saya baru kembali dari PT PAL, diundang untuk melihat perakitan kapal selam keempat kita. Kapal selam itu merupakan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan yang dibuat di Korea Selatan. Teknisi kita terlibat dalam pembuatannya, lalu 100% dirakit di PT PAL dan akan siap diluncurkan mungkin satu sampai satu setengah bulan.

Nanti untuk kapal selam kelima 100% dibuat di Indonesia dan dibuat di PT PAL. Itu sudah menunjukkan bahwa modernisasi bukan saja berhasil, tapi juga disertai dengan transfer teknologi yang advanced. Transfer teknologi itu akan memperkuat industri pertahanan. Itu merupakan satu sisi dari bagaimana transformasi pertahanan ini kita jalankan.

Sisi yang lain adalah terjadi re-organisasi dari gelar militer. Misalnya, baru-baru ini Presiden dan Panglima TNI meresmikan keberadaan komando-komando utama baru. Ada Divisi Tiga Kostrad di Sulawesi Selatan, ada Pasukan Marinir Tiga di Papua Barat, ada Armada Tiga juga di Papua Barat, dan ada Komando Operasi Angkatan Udara Tiga di Papua Barat.

Ini menunjukkan bahwa gelar teritorial TNI tidak lagi ditujukan dengan logika membayangi jejaring pemerintahan sipil seperti masa Orde Baru, dan juga tidak lagi dengan logika untuk politik elektoral tertentu. Namun betul-betul melihat bahwa Indonesia mempunyai tiga alur laut kepulauan. Jadi keberadaan Divisi Satu, Dua, dan Armada Satu, Dua, Tiga memang disesuaikan dengan kebutuhan pertahanan kita. Hal ini membuat TNI juga menjadi makin profesional karena sudah ada alat yang baru, ada alutsista yang baru, dan ada gelar yang semakin relevan.

Ketiga, yang paling penting adalah kesejahteraan prajurit dan perwiranya meningkat drastis. Tidak seperti di masa Orde Baru yang gajinya minim, sehingga dia harus memiliki tambahan melalui jejaring ekonomi abu-abunya. Sekarang tidak perlu lagi karena 100% pendapatan bisa ditopang oleh APBN dan dalam skala yang sedikit lebih baik dari misalnya gaji-gaji yang diterima oleh PNS lain.

 

Apakah tiga faktor itu akan membuat kita tenang bahwa militer tidak akan masuk lagi ke ranah sipil?

Kalau dilihat dari tren statistik menunjukkan bahwa tidak ada pembalikkan sejarah militer yang sudah kita dorong melakukan reformasi, kemudian berbalik menuju cenderung militer arah Orde Baru. Misalnya di Pilkada 2018, kita memang masih melihat beberapa purnawirawan militer yang maju seperti Edy Rahmayadi, yang masih aktif sebagai Pangkostrad, maju sebagai calon Gubernur Sumatra Utara. Namun pada saat maju, dia kemudian pensiun dini dan keluar dari kemiliteran. Selain itu, ada juga TB Hasanuddin, dan Sudrajad yang maju. Tetapi dilihat dari persentase sangat jauh, sangat kecil, dan terus menerus kelihatan persentasenya menurun.

Hal yang sama kalau dilihat, misalnya militer yang masuk ke partai politik. Di masing-masing partai kita akan susah menemukan lima orang perwira tinggi yang bergabung dalam partai politik, apalagi kalau kita kemudian mencari yang menduduki jabatan signifikan di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai.

Dulu yang menjadi Ketua Umum partai ada Wiranto, tapi kini Wiranto sudah diganti oleh Oesman Sapta Odang. Yang menjabat sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) partai sekarang tinggal Sekjen Golkar yaitu Lodewijk Freidrich. Yang menjadi ketua DPP partai mungkin hanya Supiadin A Saputra di Nasdem. Itu saja yang bisa muncul secara mudah, tapi itu menunjukan bahwa politik praktis militer mengalami penurunan signifikan kalau kita melihatnya jauh ke belakang di masa Orde Baru.

 

Satu atau dua tahun lalu Presiden Jokowi mau mengarahkan TNI untuk membantu ketahanan pangan. Artinya mau menarik TNI terlibat lagi dalam hal-hal di luar tugas dan fungsinya secara profesional. Apakah itu akan berbahaya nantinya dan bagaimana Anda melihatnya?

Iya, itu betul-betul harus dikaji dan kemudian dikawal dengan menggunakan dua UU yang ada yaitu UU Pertahanan dan UU TNI. Memang kelihatan bahwa pemerintah kesulitan untuk mengaplikasikan ide-ide untuk melibatkan TNI kalau tidak langsung terkait dengan pertahanan, misalnya tentang kedaulatan pangan.

 

Yang akhirnya terjadi adalah Koramil dan Babinsa dilakukan dengan “nyantol” ke pasal 8, 9, dan 10 yang ada di UU TNI tentang pemberdayaan sumber daya pertahanan. Yang mereka lakukan juga hanya sekadar pelaporan untuk memastikan bahwa logistik yang ada di daerah itu bisa dihitung dan dikalkulasi sehingga aman atau tidak untuk ketahanan pangan di daerah. Namun mereka tidak terlibat aktif, misalnya seperti pada saat Orde Baru yaitu melakukan penyuluhan pertanian.

Mereka juga tidak lagi terlibat aktif dalam distribusi benih dan pupuk karena tidak ada rujukan untuk itu. Begitu tidak ada rujukan UU tentang itu, maka konsekuensinya adalah program kerjanya tidak bisa dianggarkan. Anggarannya tidak bisa dialokasikan oleh Kementerian Keuangan ke Kementerian Pertahanan, kemudian ke Mabes TNI.

Begitu program kerjanya tidak bisa dibuat dan alokasi anggarannya tidak bisa dialokasikan, maka program ini tidak bisa dijalankan. Keketatan semacam itu sekarang muncul karena kita sudah melaksanakan reformasinya secara konsisten.

 

Salah satu bidang kajian Anda adalah reformasi militer dan transformasi pertahanan. Saat ini yang saya dengar hal itu sedang dikaji oleh Pokja 8 yang didalamnya ada Anda sebagai Analis senior. Bagaimana sebenarnya kerja Pokja 8 mengenai reformasi militer?

Kami buat Pokja 8 terutama untuk menjembatani dua generasi analis militer. Saya dengan para analis seperti Edy Prasetyono, Makmur Keliat, Kusnanto Anggoro, Ikrar Nusa Bhakti, Rizal Sukma, Munir (almarhum) adalah generasi keempat dari analis militer di Indonesia. Di atas kami ada Juwono Sudarsono, Salim Said, dan lain-lain.

Kami melihat mulai muncul generasi kelima yaitu teman-teman terutama yang baru pulang dari pendidikan doktoral yang mempelajari tentang industri pertahanan, ekonomi pertahanan, intelijen, kontra teror, dan sebagainya. Jadi kami berusaha menjembatani supaya kami tidak putus ke bawah.

Jadi sekarang kami mendirikan Pokja 8 dengan Edy Prasetyono sebagai ketuanya. Sedangkan saya sebagai analis senior. Namun yang benar-benar leading sekarang ada dua Doktor baru yaitu Cory Maharani, lulusan Cranfield, Inggris, spesialisasinya ekonomi pertahanan dan satu lagi adalah Yandri Kurniawan spesialisasinya tentang National Security lulusan Freiburg, Jerman. Di bawahnya ada researcher-researcher yang juga baru pulang dari pendidikan S2 atau S3.

Spesialisasi kami di pertahanan, keamanan, intelijen dalam dan luar negeri. Sekarang kami berinteraksi dengan pihak pemerintah terutama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) Deputi V Jaleswari Pramodhawardani. Jadi sekarang kami membantu kalau ada kajian-kajian khusus dimana pelibatan dari komunitas epistemik pertahanan dibutuhkan. Terakhir kami memberikan masukan tentang turunan Perpres pelibatan TNI yang diinginkan dari hasil revisi UU Anti Terorisme.

 

Bagaimana hasil kajian tersebut?

Pendapat dari kajian kami di Pokja 8 adalah UU Anti Terorisme pada dasarnya menempatkan aksi terorisme sebagai tindak pidana atau tindak kejahatan. Karena ditempatkan sebagai tindak pidana, penjurunya harus penegak hukum yaitu polisi. Kalau memakai UU Anti Terorisme sebagai rujukan, pelibatan TNI pasti perbantuan dan polisi yang menentukan kebutuhan pelibatan TNI seperti apa.

Namun kita memiliki peluang untuk melibatkan TNI langsung kalau aksi terorismenya dianggap sebagai ancaman. Yang digunakan bukanlah UU Anti Terorisme tetapi UU TNI Pasal 7 dan itu sudah kita pakai selama ini. Saya selalu mencontohkan ada tiga kejadian terorisme yang langsung melibatkan TNI atas perintah presiden yang saat itu Densus 88 tidak berperan dan tidak relevan.

Pertama, kasus sandera di Somalia. Saat itu kita mengirim Satgas Merah Putih yang penjurunya adalah Marinir. Kedua, pembebasan sandera yaitu reporter Metro TV Meutya Hafid di Irak, yang dikirim adalah BIN, BAIS, dan 81. Ketiga, pembebasan sandera Abu Sayyaf di Filipina Selatan, kembali kita melakukan operasi intelijen dari teman-teman terutama 81.

Di situ Polri dan Densus 88 tidak relevan karena berada di luar wilayah yuridiksi nasional kita. Saat itulah Pasal 7 sudah diaktifkan langsung melalui keputusan politik presiden. Yang diinginkan di Perpres pelibatan TNI lebih mengatur secara detail bagaimana nanti pelibatan TNI yang langsung atau kalau ada pelibatan TNI yang merupakan terminologi yang dipakai adalah operasi imbangan terhadap Polri seperti kasus pelibatan Batalyon Raider untuk membantu Polri melakukan operasi penangkapan Santoso di Poso.

 

Terakhir, bagaimana arah reformasi militer kita ke depannya?

Reformasi militer selalu menghadapi ujian politik pada saat ada momentum pemilihan pimpinan nasional. Ujian politik berikutnya adalah di April 2019. Ujian politik secara formal institusional akan mudah dilewati karena pasti Panglima TNI, Kapolri, dan juga Kepala BIN akan mengeluarkan instruksi untuk menjaga netralitas.

Yang akan menjadi problematika adalah kalau ada poros-poros politik militer yang mengelilingi presiden. Misalnya, di Tim Presiden Jokowi, kita tahu ada Wiranto, Moeldoko, Luhut B Panjaitan, AM Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, dan sebagainya. Bagaimana caranya kita menjaga agar keberadaan jenderal-jenderal purnawirawan ini tidak membuat terjadinya manuver politik yang menggerakkan institusi militer.

Di sisi lainnya tentu kita tahu Prabowo Subianto juga mempunyai poros militernya. Kita juga melihat SBY punya poros militernya. Ujian terberat dari reformasi militer adalah ketika ada calon-calon presiden yang dikelilingi oleh poros politik militernya. Namun dengan begitu banyaknya poros militer, akan sulit bagi TNI untuk terlibat dalam politik militer karena ini tidak satu atau monolit. Jadi netralitas TNI akan tetap menjadi pilihan terbaik yang bisa dilakukan oleh Mabes Cilangkap untuk mengarahkan bagaimana prajurit, perwira berpedoman dalam pemilu 2019.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ratusan Juta Rupiah Dicairkan BPJS Ketenagakerjaan buat Pekerja di Kulonprogo

Kulonprogo
| Rabu, 01 Mei 2024, 22:27 WIB

Advertisement

alt

Aghniny Haque Tertantang Perankan Dua Karakter di Film Barunya Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

Hiburan
| Rabu, 01 Mei 2024, 16:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement