Advertisement

OPINI: Amankah Level Utang Pemerintah?

Abdurohman, Kepala Pusat Kebijakan Eknomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Sabtu, 18 Juni 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Amankah Level Utang Pemerintah? Ilustrasi utang - Freepik

Advertisement

Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan utang pemerintah di hampir seluruh negara mengalami lonjakan tajam sebagai konsekuensi melebarnya defisit fiskal. Rasio utang pemerintah AS naik dari 108,8% PDB tahun 2019 ke 132,6% di tahun 2021, atau naik 23,8% PDB hanya dalam 2 tahun. Pada periode yang sama, utang pemerintah negara-negara di Uni Eropa rata-rata naik sebesar 12,5% PDB, sementara China mengalami kenaikan 16% dari 57,2% PDB menjadi 73,3%.

Bagaimana dengan Indonesia? Utang Pemerintah Indonesia juga mengalami kenaikan signifikan dari 30,2% PDB di tahun 2019 menjadi 40,7% PDB di tahun 2021, atau meningkat 10,5% PDB. Tambahan utang yang cukup besar mutlak diperlukan untuk membiayai pelebaran defisit APBN yang cukup dalam sebagai konsekuensi turunnya pendapatan negara akibat terhentinya aktivitas ekonomi, sementara pada saat yang sama kebutuhan belanja untuk penanganan krisis akibat pandemi melonjak tajam.

Advertisement

Tidak seperti krisis-krisis ekonomi sebelumnya, pada tahap awal krisis, Pemerintah sudah dihadapkan pada membengkaknya kebutuhan belanja untuk penanganan pandemi terutama dalam bentuk testing, tracing dan treatment untuk pencegahan meluasnya penyebaran virus Corona dan menekan jumlah korban jiwa. Pengadaan alat-alat kesehatan, obat-obatan dan sarana prasarana lainnya termasuk pengerahan tenaga kesehatan menjadi kebutuhan mendesak, termasuk diantaranya kebutuhan untuk perawatan penderita di rumah sakit dan program vaksinasi.

Kebutuhan besar lainnya adalah untuk mitigasi dampak yang timbul berupa program jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat miskin agar tetap dapat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasarnya serta penyelamatan dan pemulihan sektor usaha. Langkah-langkah extraordinary tersebut sangat diperlukan sebagai respon atas krisis yang terjadi untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar dan kerusakan permanen (permanent damage) pada perekonomian nasional.

Pertanyaan yang sering muncul di ruang publik adalah apakah utang pemerintah sebesar itu sudah membahayakan posisi fiskal dan perekonomian nasional secara keseluruhan? Seberapa besar utang Pemerintah masih dianggap sebagai level yang masih aman?

Berdasarkan literatur, ada beberapa batas aman utang Pemerintah. Maastricht Treaty saat awal berlakunya European Union menentukan batas aman utang Pemerintah pada level maksimum 60% PDB. Kemudian, studi yang dilakukan oleh Reinhart dan Rogoff (2011) yang mengkaji naiknya utang pemerintah pasca krisis keuangan global tahun 2009 menyimpulkan bahwa batas aman utang Pemerintah pada level maksimum 90% PDB. Sementara itu, Jepang yang memiliki utang Pemerintah di atas 200% PDB pun masih dianggap aman.

Sebagai perbandingan di Kawasan ASEAN, di tahun 2019, utang pemerintah Malaysia sudah mencapai 57,1% PDB, dan meningkat menjadi 69% di tahun 2021. Sementara itu, Filipina dan Thailand masing masing meningkat menjadi 57,5% dan 58% PDB di tahun 2021. Negara berkembang anggota G20 lainnya seperti Brazil dan India, akibat pandemic Covid-19, utang pemerintah mereka di tahun 2021 mencapai masing-masing 93,0% dan 86,8% PDB. Dari sisi rasio utang terhadap PDB, posisi utang Pemerintah Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga dan negara berkembang lainnya dengan skala ekonomi yang seimbang.

Aman tidaknya utang pemerintah juga dapat dilihat dari ukuran kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), yakni potensi kemampuan membayar kembali kewajiban pokok dan bunganya tanpa mengganggu prioritas kebijakan yang akan ditempuh. Pada kondisi normal, ukuran yang lazim digunakan adalah perbandingan antara tingkat bunga utang (yield) riil (r) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB riil, g). Bila tingkat bunga utang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonominya, maka utang pemerintah masih dinilai sustainable karena aktifitas ekonomi yang lebih tinggi akan menghasilkan pendapatan negara yang lebih besar sehingga kemampuan memenuhi kewajibannya juga meningkat. Saat ini laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali ke level pra-pandemi, mampu tumbuh 5,01% pada kuartal 1 2022, sementara suku bunga (yield) riil saat ini berada pada kisaran 3,5%.

Harap diingat juga bahwa penambahan utang pemerintah yang cukup signifikan di masa pandemi dapat dimaknai sebagai meningkatnya asset dari sisi masyarakat dan pelaku usaha, mengingat sekitar 75% dari utang Pemerintah berasal dari warga negara Indonesia. Meningkatnya belanja pembayaran bunga dengan demikian juga dapat diartikan sebagai meningkatnya transfer kepada masyarakat sehingga akan mendorong daya beli yang pada gilirannya akan mendukung penguatan konsumsi pada saat perekonomian berangsur-angsur mulai normal. Utang pemerintah yang digunakan untuk pembiayaan investasi publik (pembangunan infrastruktur, konektifitas, penguatan kualitas SDM, dll) akan mendorong produktifitas ekonomi sehingga akan meningkatkan kue ekonomi yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan negara atau dalam khasanah ilmu ekonomi publik dikenal sebagai ‘public investment would pay its own debt’.

Selain itu, arah kebijakan fiskal paska pandemi juga menjadi sinyal penting untuk melihat sustainabilitas utang Pemerintah. Respon kebijakan atas krisis (countercyclical policy) seharusnya bersifat temporer. Pelebaran defisit yang terus-menerus untuk mendukung stimulus fiskal pada akhirnya akan melemahkan posisi fiskal. Dalam hal ini, Pemerintah secara eksplisit telah menyampaikan rencana exit strategy untuk mengembalikan defisit fiskal di bawah batas amannya (3% PDB) di tahun 2023 sebagaimana tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023 yang saat ini sedang dalam pemabahasan di DPR.

Sebagai penutup, pelebaran defisit fiskal yang cukup signifikan dengan konsekuensi melonjaknya utang Pemerintah di masa pandemi merupakan keputusan yang cukup kritikal dari Pemerintah. Kebijakan tersebut ditempuh untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar serta kerusakan lebih parah dan permanen pada perekonomian nasional. Tentu saja, Pemerintah sudah berhitung secara matang terkait manfaat dan mudharatnya (biaya). Potensi ongkos sosial dan ekonominya terlalu besar apabila Pemerintah bersikap pasif dengan intervensi minimal untuk merespon krisis pandemic Covid-19 yang berdampak besar pada seluruh aspek kehidupan. Leadership yang kuat dari Pemerintah untuk mengambil kebijakan besar dan krusial seperti ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dari seluruh masyarakat. Dan terbukti, saat ini Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang berhasil dalam penangan pandemi dan efektif mengembalikan pertumbuhan ekonominya ke level pra-pandemi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement