Advertisement
OPINI: Suara Pasar, Suara Rakyat?
Advertisement
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga S. Uno semakin sering hadir di tengah keramaian pasar, baik pasar modern/mal maupun pasar tradisional.
Seolah berlomba, keduanya menegaskan keberadaan, bahwa ‘saya ke pasar, maka saya ada’ meminjam istilah Descartes, ‘saya berpikir, maka saya ada (cogito ergo sum)’.
Advertisement
Makna utama dari fenomena ini adalah kehadiran.
Budayawan Mangunwijaya dalam mengatasi problem kemiskinan pernah memberi solusi agar jangan hanya teknis-bantuan saja, tetapi juga menuntut kehadiran di tengah-tengah orang miskin.
Hadir bukan secara hati-pikiran saja, tetapi juga secara fisik untuk memaknai kompleksitas pergumulan kemiskinan itu.
Berada di pasar bermakna capres-cawapres berempati, menempatkan diri dalam pikiran masalah pasar. Barang tersedia atau langka, harga naik atau murah.
Pasar bukan wilayah netral, tenang, dan damai, sebaliknya multiaktor, wilayah transaksi dinamis di mana kepentingan ekonomi, pemasok-pengepul, penjual-pembeli, jumlah-sediaan barang-jasa, kuasa harga, tarik-menarik pun intrik kepentingannya masing-masing.
Pasar butuh wasit yang adil. Hadirnya capres-cawapres di pasar membawa makna menjadi penengah atau mediasi. Ini sangat menenteramkan.
Capres-cawapres jika kelak terpilih ingin menempatkan dirinya berada di tengah-tengah jalan simpang pasar.
Itu berarti prinsip keadilan, pemerataan, sama-sama untung, menjadi jalan tengah yang paling mungkin dilakukan.
Tidak mungkin hanya menguntungkan pemasok atau penjual, misalnya, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pembeli.
Itu baru contoh sederhana, rantai ekonomi pasar dari hulu-hilir sampai pengguna akhir melalui jalan panjang, adu kepentingan, jalur distribusi, kondisi barang dan jasa, sensitivitas harga, biaya gudang dan transportasi termasuk stabilitas harga BBM.
Belum lagi tangan-tangan tak kelihatan yang menguasai pasar baik yang terbentuk alamiah maupun regulasi atau malah ‘mafia ekonomi’.
Keberanian pasangan capres-cawapres hadir di pasar membuat rakyat memiliki persepsi aman dalam soal ekonomi. Kedua pasangan akan mengawal pasar sebagai jantung ekonomi rakyat.
Namun, hal itu tetap harus dicermati karena keadilan sosial seperti sila kelima tetap harus menjadi pondasi yang utama dalam eksistensi pasar.
Walaupun kehadiran keduanya itu tak bisa dielakkan muncul juga persepsi bahwa pasar menjadi terbelah dua.
Satu pasar dikatakan sebagai pasar dengan harga-harga murah, tersedia banyak barang, selalu ramai, dan menguntungkan semua pihak.
Pasar lain dikatakan sebagai pasar sedang, susah, merugi, langka barang, sepi pembeli, harga melambung, dan tempe makin tipis.
Ada dikotomi pasar yang didekati kedua pasangan. Bagi petahana, pasar sekarang baik-baik saja, menimbulkan optimisme yang ingin ditingkatkan, tersirat ingin menunjukkan bukti keberhasilan petahana.
Sementara itu, bagi penantang, pasar sedang komplikasi kronis, pesimis, makanya harus direformasi dan dibenahi, jika kelak terpilih.
FAKTA & OBJEKTIVITAS
Boleh-boleh saja menyikapi kondisi pasar asalkan didasarkan pada fakta dan objektivitas.
Logika ekonomi pasar tidak bisa disepuh dengan pencitraan dan kemasan.
Pasar mempunyai hukum-hukumnya sendiri, sumber pasokan, alur barang dan jasa, permintaan-penawaran, fluktuasi harga, dan tak bisa dilupakan persepsi masyarakat terhadap harga, berbanding dengan manfaat yang didapat dari barang-jasa.
Dinamika pasar terus berubah. Namun, pasar tetap bertumpu pada ‘kesehatannya yang utama’ yakni harus untung. Minimal secara wajar yang jadi ketok palu dalam menyikapi pasar seperti apa. Pasar versi petahana atau versi penantang.
Pasar mempunyai banyak faktor sehingga janji kepada pasar tidak mungkin bisa 100% memuaskan semua pihak.
Pasar mempunyai titik keseimbangan relatif, ada yang diuntungkan lebih banyak dan dirugikan sedikit, tetapi masih bisa menjadi pasar yang sehat dan dinamis.
Kehadiran capres-cawapres di pasar tidak boleh larut pada optimisme buta, juga perlu pesimisme sehat.
Pasar dalam tekanan efek perang dagang global-regional harus diakui realistis, bertahan, mencari harapan pemulihan ekonomi.
Hanya berkutat pada pesimisme pasar akan memperkeruh kondisi tanpa ikhtiar dan mencari pemulihan lebih baik. Keduanya diperlukan pasar karena harmoni pasar adalah seni untuk meniti di tali yang bergerak oleh berbagai sebab.
Kepandaian menari di titian inilah yang membuat pasar relatif win-win solution bagi banyak pemangku kepentingan.
Suara pasar yang mendukung petahana atau penantang adalah suara rakyat?
Selalu ada rakyat pasar yang diuntungkan dan dirugikan relatif dalam keadilan ekonomi. Tidak ada keadilan yang 100% adil secara matematis.
Pasar pada negara demokratis sifatnya sebetulnya tuna politik, meski pasar tetap bisa mempengaruhi dan dipengaruhi politik, kecuali pada negara di mana pasar dikontrol penuh penguasa.
Jadi, apapun pemahaman petahana atau penantang tentang pasar, optimis atau pesimis, pasar dari sananya mempunyai kelenturan terhadap kondisi yang ada.
Tak heran rakyat pasar yang terbelah pada kedua kandidat tidak serta-merta disikapi sebagai sikap yang mutlak kaku tetapi dinamis dan relatif.
Pasar yang terbelah secara sikap politis bisa saja bermuara pada kepentingan ekonomi jangka pendek.
Ada pameo pedagang harus bisa ditekak-tekuk karena kondisi ekonomi itu sendiri elastis dan menuntut fleksibilitas dalam menyikapi faktor-faktornya yang ada.
Kedua persepsi pasar petahana dan penantang bagus untuk menguji pasar itu sendiri makin ideal sekaligus realistis.
Motor antusiasme transaksi di mata pendukung petahana dan kritik konstruktif pasar yang tidak beres di mata pendukung penantang.
Suara rakyat bukan hanya suara pasar saja. Masih banyak suara rakyat yang harus didatangi capres-cawapres.
Jika pasar adalah sentra ekonomi, pusat budaya seperti sanggar-sanggar, pementasan budaya juga perlu didengarkan keluh kesahnya.
Suara rakyat juga ada di komunitas agama/kepercayaan. Suara rakyat juga ada di kerumunan sosial terminal, stasiun, halte, paguyuban se-Nusantara.
Capres-cawapres hadir disana-sini bukan hanya menyosialisasikan program kandidat, tetapi juga mendengar jeritan dan isakan terlirih sekalipun dari mulut rakyat.
Apa problem rakyat hari ini di pasar, terminal, sekolah/kampus, puskesmas/rumah sakit, sawah, pantai/laut, bahkan di rumah atau pabrik majikan asing bagi TKI/TKW di luar negeri, karena mereka juga anak bangsa ini. Termasuk mendengarkan jeritan flora-fauna dan lingkungan, seperti masalah mikroplastik di laut, dan kebakaran hutan.
Mendengarkan dan memulihkan apa yang menjadi problem jika kelak kepemimpinan nasional diperoleh, inilah yang harus dibuktikan, nyata, terukur, sesegera mungkin, mulai dari wong sing paling cilik (orang yang paling miskin). Cilik segala-galanya, miskin materi, pengetahuan, posisi sosial, pun kenyamanan hidupnya.
*Penulis adalah Peneliti Center for National Urgency Studies.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem
Advertisement
Advertisement
Advertisement