Advertisement

OPINI: Suara Pasar, Suara Rakyat?

Stevanus Subagijo
Selasa, 04 Desember 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Suara Pasar, Suara Rakyat? Calon Presiden dalam Pilpres 2019 Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Capres Prabowo Subianto di sela-sela pengambilan nomor urut pasangan calon untuk pemilihan Presiden 2019, di kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9/2018). - Reuters/Darren Whiteside

Advertisement

Pasangan calon pre­si­den dan calon wa­kil presiden Joko Wi­do­do-Ma’ruf Amin dan Pra­bowo Su­bianto-San­diaga S. Uno se­ma­kin sering hadir di te­ngah ke­ramaian pasar, baik pa­sar mo­dern/mal maupun pasar tra­di­sio­nal.

Seolah berlomba, keduanya menegaskan keberadaan, bahwa ‘saya ke pasar, maka saya ada’ meminjam istilah Descartes, ‘saya berpikir, maka saya ada (cogito ergo sum)’.

Advertisement

Makna utama dari fenomena ini adalah kehadiran.

Budayawan Mangunwijaya dalam mengatasi problem kemiskinan pernah memberi solusi agar jangan hanya teknis-bantuan saja, tetapi juga menuntut kehadiran di tengah-tengah orang miskin.

Hadir bukan secara hati-pikiran saja, tetapi juga secara fisik untuk memaknai kompleksitas pergumulan kemiskinan itu.

Berada di pasar bermakna capres-cawapres berempati, menempatkan diri dalam pikiran masalah pasar. Barang tersedia atau langka, harga naik atau murah.

Pasar bukan wilayah netral, tenang, dan damai, sebaliknya multiaktor, wilayah transaksi dinamis di mana kepentingan ekonomi, pemasok-pengepul, penjual-pembeli, jumlah-sediaan barang-jasa, kuasa harga, tarik-menarik pun intrik kepentingannya masing-masing.

Pasar butuh wasit yang adil. Hadirnya capres-cawapres di pasar membawa makna menjadi penengah atau mediasi. Ini sangat menenteramkan.

Capres-cawapres jika kelak terpilih ingin menempatkan dirinya berada di tengah-tengah jalan simpang pasar.

Itu berarti prinsip keadilan, pemerataan, sama-sama untung, menjadi jalan tengah yang paling mungkin dilakukan.

Tidak mungkin hanya menguntungkan pemasok atau penjual, misalnya, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pembeli.

Itu baru contoh sederhana, rantai ekonomi pasar dari hulu-hilir sampai pengguna akhir melalui jalan panjang, adu kepentingan, jalur distribusi, kondisi barang dan jasa, sensitivitas harga, biaya gudang dan transportasi termasuk stabilitas harga BBM.

Belum lagi tangan-tangan tak kelihatan yang menguasai pasar baik yang terbentuk alamiah maupun regulasi atau malah ‘mafia ekonomi’.

Keberanian pasangan capres-ca­wa­pres hadir di pasar membuat rak­­yat memiliki persepsi aman da­­lam soal ekonomi. Kedua pa­sang­an akan mengawal pasar se­­ba­­gai jantung ekonomi rakyat.

Na­mun, hal itu tetap harus dicermati ka­re­na keadilan sosial seperti sila ke­li­ma tetap harus menjadi pondasi yang utama dalam eksistensi pasar.

Wa­lau­pun kehadiran keduanya itu tak bisa dielakkan muncul juga per­sep­si bahwa pasar menjadi terbe­lah dua.

Satu pasar dikatakan se­ba­gai pasar dengan harga-harga mu­rah, tersedia banyak barang, se­la­lu ramai, dan menguntungkan se­mua pihak.

Pasar lain dikatakan se­bagai pasar sedang, susah, merugi, langka barang, sepi pembeli, har­ga melambung, dan tempe ma­kin tipis.

Ada dikotomi pasar yang didekati kedua pasangan. Bagi petahana, pasar sekarang baik-baik saja, menimbulkan optimisme yang ingin ditingkatkan, tersirat ingin menunjukkan bukti keberhasilan petahana.

Sementara itu, bagi penantang, pasar sedang komplikasi kronis, pesimis, makanya harus direformasi dan dibenahi, jika kelak terpilih.

FAKTA & OBJEKTIVITAS

Boleh-boleh saja menyikapi kon­di­si pasar asalkan didasarkan pa­da fakta dan objektivitas.

Logika eko­nomi pasar tidak bisa disepuh de­ngan pencitraan dan kemasan.

Pa­sar mempunyai hukum-hukumnya sendiri, sumber pasokan, alur ba­rang dan jasa, permintaan-penawar­an, fluktuasi harga, dan tak bi­sa dilupakan persepsi masyarakat ter­ha­dap harga, berbanding dengan man­fa­at yang didapat dari barang-jasa.

Dinamika pasar terus berubah. Namun, pasar tetap bertumpu pada ‘ke­se­hatannya yang utama’ yakni harus untung. Minimal secara wa­jar yang jadi ketok palu dalam me­nyi­kapi pasar seperti apa. Pasar ver­si petahana atau versi penantang.

Pasar mempunyai banyak faktor sehingga janji kepada pasar tidak mungkin bisa 100% memuaskan semua pihak.

Pasar mempunyai titik keseimbangan relatif, ada yang diuntungkan lebih banyak dan dirugikan sedikit, tetapi masih bisa menjadi pasar yang sehat dan dinamis.

Kehadiran capres-cawapres di pasar tidak boleh larut pada optimisme buta, juga perlu pesimisme sehat.

Pasar dalam tekanan efek perang dagang global-regional harus diakui realistis, bertahan, mencari harapan pemulihan ekonomi.

Hanya berkutat pada pesimisme pasar akan memperkeruh kondisi tanpa ikhtiar dan mencari pemulihan lebih baik. Keduanya diperlukan pasar karena harmoni pasar adalah seni untuk meniti di tali yang bergerak oleh berbagai sebab.

Kepandaian menari di titian inilah yang membuat pasar relatif win-win solution bagi banyak pemangku kepentingan.

Suara pasar yang mendukung pe­tahana atau penantang adalah sua­ra rakyat?

Selalu ada rakyat pa­sar yang diuntungkan dan dirugi­kan re­la­tif dalam keadilan ekonomi. Ti­dak ada keadilan yang 100% adil se­ca­ra matematis.

Pasar pada ne­ga­ra demokratis sifatnya sebetulnya tu­­na politik, meski pasar tetap bi­sa mem­­pe­ngaruhi dan dipengaruhi po­li­tik, kecuali pada negara di mana pa­sar dikontrol penuh pe­nguasa.

Jadi, apapun pemahaman petahana atau penantang tentang pasar, op­ti­mis atau pesimis, pasar dari sa­nanya mempunyai kelenturan terhadap kondisi yang ada.

Tak heran rakyat pasar yang terbelah pada ke­dua kandidat tidak serta-merta di­si­kapi sebagai sikap yang mutlak ka­ku tetapi dinamis dan relatif.

Pasar yang terbelah secara si­kap politis bisa saja bermuara pa­da kepentingan ekonomi jangka pendek.

Ada pameo pedagang ha­rus bisa ditekak-tekuk karena kon­disi ekonomi itu sendiri elastis dan me­nuntut fleksibilitas dalam me­nyi­kapi faktor-faktornya yang ada.

Ke­dua persepsi pasar petahana dan pe­nan­tang bagus untuk menguji pa­sar itu sendiri makin ideal sekali­gus realistis.

Motor antusiasme tran­saksi di mata pendukung pe­ta­hana dan kritik konstruktif pasar yang tidak beres di mata pendukung penantang.

Suara rakyat bukan hanya suara pasar saja. Masih banyak suara rakyat yang harus didatangi capres-cawapres.

Jika pasar adalah sentra ekonomi, pusat budaya seperti sanggar-sanggar, pementasan budaya juga perlu didengarkan keluh kesahnya.

Suara rakyat juga ada di komunitas agama/kepercayaan. Suara rakyat juga ada di kerumunan sosial terminal, stasiun, halte, paguyuban se-Nusantara.

Capres-cawapres hadir disana-sini bukan hanya menyosialisasikan program kandidat, tetapi juga mendengar jeritan dan isakan terlirih sekalipun dari mulut rakyat.

Apa problem rakyat hari ini di pasar, terminal, sekolah/kampus, puskesmas/rumah sakit, sawah, pantai/laut, bahkan di rumah atau pabrik majikan asing bagi TKI/TKW di luar negeri, karena mereka juga anak bangsa ini. Termasuk mendengarkan jeritan flora-fauna dan lingkungan, seperti masalah mikroplastik di laut, dan kebakaran hutan.

Mendengarkan dan memulihkan apa yang menjadi problem ji­ka kelak kepemimpinan nasional di­pe­ro­leh, inilah yang harus dibukti­kan, nyata, terukur, sesegera mung­kin, mulai dari wong sing pa­ling cilik (orang yang paling miskin). Cilik segala-galanya, miskin ma­te­ri, pengetahuan, posisi sosial, pun kenyamanan hidupnya.

*Penulis adalah Peneliti Center for National Urgency Studies.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement