Advertisement

OPINI: Platform Pangan Strategis

Vina Eka Aristya
Kamis, 07 Maret 2024 - 07:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Platform Pangan Strategis Vina Eka Aristya - Dok. Pribadi

Advertisement

Penyediaan pangan bagi rakyat merupakan pekerjaan utama negara. Pangan memerlukan stabilitas stok, kemudahan akses, keterjangkauan harga, bermutu, dan jumlah mencukupi. Pangan strategis seringkali menyebabkan inflasi akibat kenaikan harga dan tipisnya ketersediaan di waktu krusial. Sokongan kebijakan yang mendukung upaya preventif menjadi langkah esensial agar pangan selalu cukup bagi mayarakat.

Cabai merupakan salah satu komoditas pangan utama. Produksi rempah pedas ini diperkirakan naik dengan laju pertumbuhan 8,96% yaitu 2,59 juta ton pada 2019, menjadi 3,97 juta ton di 2024. Perkiraan produksi yang dihasilkan dengan konsumsi yang dibutuhkan, masih terdapat kelebihan.

Advertisement

Saat ini Indonesia menjadi produsen cabai segar terbesar ketiga di dunia (2,7 juta ton), setelah Turki (3,1 juta ton) dan Tiongkok (33,5 juta ton). Produksi cabai nasional diperoleh dari area panen seluas 321.923 hektare (ha), setelah Tiongkok (1,5 juta ha), sedangkan Turki hanya 80.239 ha. Produktivitas cabai lokal masih sangat rendah (8,5 ton/ha), tiga kali di bawah Tiongkok (22,5 ton/ha) dan Turki (38,5 ton/ha).

Produksi dan distribusi komoditas hortikultura ini belum merata antarwaktu serta antarlokasi. Sering kali terjadi fluktuasi produksi antar waktu, yang menyebabkan munculnya bulan waspada. Saat produksi cabai petani sedang menurun, permintaan justru meningkat dan sulit terpenuhi, misalnya menjelang Lebaran.

Permasalahan cabai ialah kestabilan harga sulit dicapai. Saat pasokan langka, kenaikan harga sangat signifikan dan meresahkan konsumen. Fluktuasi harga cabai terjadi hampir setiap tahun dan sangat volatile, artinya perubahan harga bisa begitu tajam naik atau turun. Tidak heran, cabai menjadi salah satu komoditas langganan pencetus inflasi.

Kendala cabai juga meliputi tidak meratanya infrastruktur pendukung pertanian cabai dan tingginya biaya produksi. Budi daya cabai menghadapi dinamika perubahan iklim, yang tidak dapat dihindari dan memperparah kekeringan berkepanjangan atau curah hujan tinggi.

Kekeringan berdampak pada tidak optimalnya pertumbuhan tanaman, terjadi ledakan hama/penyakit, menurunkan kualitas dan kuantitas panen, serta melonjaknya biaya produksi untuk irigasi dan pestisida. Saat musim hujan, produksi cabai rendah, karena sebagian besar lahan ditanami padi. Petani enggan menanam cabai saat penghujan karena risiko gagal panen oleh meluasnya penyakit tanaman. Panen cabai juga harus tepat waktu agar tidak busuk oleh hujan.

Ancaman impor cabai terus bergulir. Indonesia akan menjadi negeri pengimpor cabai pada bulan-bulan tertentu, karena tidak dapat memenuhi kebutuhan cabai dengan harga terjangkau untuk masyarakat. Sementara pada bulan-bulan surplus, menyebabkan harga jatuh dan petani rugi. Ironi di negeri agraris.

Rendahnya produktivitas cabai nasional (8,5 ton/ha) disebabkan senjang hasil antarwilayah. Senjang hasil ini akibat belum meratanya infrastruktur pendukung budi daya, keterbatasan penerapan teknologi, serta kurangnya adopsi benih bermutu. Gap produksi cabai antarprovinsi berkisar 251 ton (Papua Barat) hingga 274.037 ton (Jawa Barat).

Permasalahan lain dalam pemasaran hasil pertanian ialah lemahnya infrastruktur, kurang memadainya informasi pasar, kecilnya skala pasar, kurangnya pengetahuan petani tentang grading dan handling, serta tingginya biaya transaksi. Faktor biaya transaksi yang tinggi disebabkan biaya transportasi, jauhnya jarak dari sentra produksi ke sentra konsumsi, kondisi jalan buruk, dan pembayaran pelayanan jasa kepada pedagang perantara.

Komoditas Strategis
Indonesia saat ini telah memiliki lebih dari 300 varietas unggul cabai serta terdapat sejumlah 1987 tanda daftar varietas lokal dan varietas hasil pemuliaan cabai. Adopsi varietas unggul oleh petani perlu dipacu agar dapat meningkatkan 40% produktivitas cabai.

Potensi produksi cabai besar varietas Biocarning Agrihorti tembus 12,34-40,37 ton/ha di dataran menengah hingga tinggi pada musim hujan. Cabai keriting varietas Kencana dapat memproduksi 12,1-22,9 ton/ha di dataran medium pada musim hujan atau kemarau basah. Cabai rawit Prima Agrihorti memiliki potensi 9,6-20,3 ton/ha di dataran tinggi.

Regulasi SNI 01-7005-2004 dan SNI 01-7006-2004 selama dua dekade turut mendukung peningkatan produktivitas cabai regional. Kedua aturan ini memerlukan update pemutakhiran bagi quality assurance benih cabai, baik hibrida atau bersari bebas, serta optimalisasi produktivitasnya.

Stabilitas produksi pun dapat didukung ecological engineering dalam teknis budi daya cabai. Upaya ini mampu menurunkan biaya produksi dan menjaga produktivitas domestik. Akselerasi produksi cabai on-farm dan off-farm menjadi langkah krusial.

Teknologi kultur teknis dan pestisida harus diperbaharui. Begitu juga proses pascapanen dan proses produk cabai. Riset pendukung tidak lagi secara parsial dan perlu melibatkan Internet of Thing dan Artificial intelligence yang secara komprehensif menyatukan faktor lingkungan dan genetik cabai dalam memacu produksi.

Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wilayah cabai, terlebih lagi tersedia banyak varietas lokal unggul yang disukai konsumen. Pulau Jawa menyumbang lebih dari 50% produksi cabai nasional dan Pulau Sumatra memiliki andil 40%. Penyumbang produksi cabai lain ialah Bali, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.

Luas panen cabai di Indonesia naik sepanjang tahun, dengan laju pertumbuhan 5,44% di Jawa dan 6,00% di luar Jawa. Ini menunjukkan pengembangan luas panen masih dapat dilakukan. Produksi cabai selama sepuluh tahun terakhir naik dengan laju kenaikan 7,84%. Di pulau Jawa kenaikan produksi mencapai 8,56%, sementara di luar Jawa naik 7,14%. Kenaikan produktivitas juga terjadi dalam lima tahun terakhir sebesar 5,02%.

Produksi cabai nasional yang surplus dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dapat dipandang sebagai peluang ekspor bernilai ekonomi tinggi. Produksi cabai lokal tahun lalu mencapai 3,02 juta ton, terdiri 1,476 juta ton cabai besar dan 1,544 juta ton cabai rawit. Sementara konsumsi cabai hanya 1,206 juta ton. Data surplus cabai (1,814 juta ton) jika didukung platform strategis dapat memajukan kesejahteraan petani.

Vina Eka Aristya
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Nobar Lesehan bareng Warga, Sultan Bilang Begini Usai Timnas Kalah di Semifinal Piala Asia U-23

Jogja
| Senin, 29 April 2024, 23:37 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu SPOT, Duet Zico dengan Jennie BLACKPINK yang Hebohkan BLINK

Hiburan
| Senin, 29 April 2024, 12:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement