Advertisement

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite

Joko Riyanto
Rabu, 27 Maret 2024 - 06:37 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite Joko Riyanto - JIBI

Advertisement

Setelah sekitar dua tahun terkatung-katung, kini wacana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite (RON 90) mencuat lagi.Pemerintah berencana membatasi penyaluran BBM Pertalite pada 2024 ini. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan keputusan tersebut akan disahkan melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Dengan demikian, BBM bersubsidi diharapkan akan lebih tepat sasaran. Rencana ini juga sebenarnya sejalan dengan sejumlah aturan turunannya, seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P/20/menlhk/setjen/kum.1/3/2017.

Advertisement

Dalam kebijakan tersebut disebutkan bahwa sebenarnya BBM dengan tingkat oktan 90 tidak boleh digunakan karena punya dampak negatif terhadap kendaaran maupun lingkungan. Rencananya, melarang semua kendaraan roda empat pelat hitam mengonsumsi Pertalite. Selanjutnya, pembatasan BBM Pertalite melalui spesifikasi CC mesin mobil.

Kendaraan yang masih boleh membeli Pertalite yakni mobil dengan kriteria mesin di bawah 1.400 cubicle centimeter (cc), dan juga motor di bawah 250 cc. Dengan demikian, kendaraan di atas cc tersebut tidak diperbolehkan mengisi BBM Pertalite.

Sebenarnya pemerintah tidak perlu buru-buru melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi jenis Pertalite. Sebaiknya pemerintah memikirkan hal ini dengan jernih. Apakah rencana itu cukup realistis dan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi dampak terus membengkaknya subsidi?

Ada baiknya pemerintah menggali berbagai cara yang tidak menimbulkan beban baru bagi masyarakat. Dari rencana tersebut, tampak pemerintah tidak ingin menanggung beban itu sendirian. Pemerintah ingin membaginya dengan masyarakat. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan?

Pemerintah kembali menekan masyarakat untuk hal yang sebenarnya secara fundamental menjadi kewajiban negara. Jika mengikuti arah kebijakan pemerintah, tampak jika konsumsi BBM bersubsidi akan terus dikurangi. Kita masyarakat beli BBM tunai, tapi katanya merugi. Itu artinya pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya alam yang ada dengan baik dan maksimal. Akan banyak terjadi pembatasan. Seperti waktu pemerintah mau menghilangkan minyak tanah maupun Premium (bensin) berganti Pertalite. Pembatasan Pertalite terkesan mengulang skema penghapusan Premium menjadi Pertalite yang akhirnya menambah beban subsidi negara karena nilai ekonominya lebih besar.

Berdasarkan RAPBN 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi Rp185,9 triliun atau naik 0,2% dari proyeksi realisasi tahun ini Rp185,4 triliun.

Bisnis BBM
Pembatasan BBM jenis Pertalite justru mendatangkan keuntungan bagi SPBU asing yang selama ini menjual Pertamax, seperti Shell (milik Inggris dan Belanda), Total (Prancis), dan Petronas (Malaysia). Sejak 2005, tiga perusahaan asing itu sudah menyiapkan kesiapannya untuk membangun SPBU di berbagai wilayah di Indonesia. Dirjen Migas ESDM sudah mencatat setidaknya 25% perusahaan swasta (lokal dan asing) sudah mendapat izin prinsip ataupun izin usaha untuk terlibat bisnis BBM.

Dua pemain asing utama, Shell dan Petronas, sudah membangun ratusan SPBU untuk menyambut potensi bisnis BBM itu: Shell tak kurang membangun 400 SPBU dan Petronas membangun 500 SPBU. Persoalan mendasarnya sebenarnya bukan pada aspek pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, tetapi lebih pada ketepatan alokasi subsidinya.

Anggaran kompensasi energi 2024 di pagu Rp126 triliun, turun 57% dari perkiraan pada 2023 sebesar Rp293,5 triliun. Turunnya anggaran kompensasi pada tahun ini diprediksi sebagai pertanda harga Pertalite berpeluang naik. Apa yang terjadi kalau kenaikan subsidi dan kompensasi ini dibayarkan di APBN 2024? Harga Pertalite bisa jadi naik.

Jadi kalau misal harga minyak naik lagi, otomatis akan ada penyesuaian dalam APBN, di mana yang diubah adalah anggaran kompensasinya, bukan anggaran subsidi. Pemerintah seharusnya menempuh upaya yang lebih signifikan, misalnya menggunakan lebih banyak produksi minyak mentah dalam negeri untuk diolah menjadi bahan BBM. Selain rencana strategis peningkatan produksi, pemerintah juga harus makin giat mendorong produksi bahan bakar alternatif. Jika energi alternatif pengganti BBM itu dapat direalisasikan, akan dapat menghemat dana yang cukup besar.

Selain itu, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Sejumlah negara sudah menerapkan pola penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan penghematan BBM, realisasinya tidak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat BBM pun berlalu.

Akhirnya, akankah pembatasan BBM bersubsidi Pertalite juga akan menakuti dan membingungkan rakyat? Jawabnya tentu tergantung pemerintah. Jika argumen yang mendasari bisa meyakinkan, tentu masyarakat bisa menerima, paling tidak memahami, sekalipun terasa pahit.

Sebaliknya, apabila arogansi kekuasaan lebih menonjol, bisa jadi malah menuai keapatisan, demo, ketidakpercayaan terhadap pengambil keputusan, dan hal lain yang kontraproduktif. Soal Pertalite akan tergantung pada kepentingan pemerintah. Menjaga kantong rakyat kelas menengah bawah atau menjaga resiliensi APBN? Namun, pilihan sulit tetap harus diambil sepanjang tidak membiarkan pembengkakan kuota dan anggaran subsidi BBM justru dinikmati oleh kalangan masyarakat yang kendaraannya tidak berhak “minum” Pertalite.

Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Joko Pinurbo Berpulang, Okky Madasari : Karyanya Akan Selalu Relevan

Bantul
| Sabtu, 27 April 2024, 15:37 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement